Kuatnya stigma negatif yang dilekatkan pada organisasi mahasiswa pecinta alam, khususnya di kampus UNM, turut dirasakan oleh Biro Kegiatan Mahasiswa (BKM) Marabunta. Organisasi kemahasiswaan termuda di kampus psikologi itu hingga kini belum diakui oleh pihak fakultas.
Bunglon (samaran), salah seorang pengurus BKM Marabunta, membenarkan kondisi tersebut. “Dekan Fakultas Psikologi itu sendiri memang tidak mendukung akibat stigma negatif yang telah berkembang ketika mendengar nama pecinta alam. Stigma negatif yang sudah terkenal dari mahasiswa pecinta alam yaitu perkelahian yang sering terjadi, minuman alkohol, tawuran dan ditambah lagi kasus kemarin yang terjadi di Fakultas Bahasa dan Seni mengenai ditemukannya ganja. Kemudian, kasus ini berdampak pada lembaga pencinta alam yang ada di fakultas lain termasuk di Psikologi.”
Permasalahan lama tentang adanya beberapa mahasiswi yang sering menghuni “sekretariat” Marabunta bahkan menginap di situ, hingga kini masih saja menjadi alasan kuatnya penolakan birokrasi terhadap BKM ini. Widyastuti, salah satu dosen Fakultas Psikologi mengutarakan kekecewaannya akan kondisi BKM marabunta kini. Dosen yang pada awalnya mendukung Marabunta kini justru merasa bahwa keberadaan organisasi tersebut bersifat kontraproduktif. Hal ini diungkapkannya saat ditemui di salah satu pusat perbelanjaan di kota Makassar, Sabtu (28/09). “Teman-teman membangun sekret yang di samping itu malah menjadi kontraproduktif, karena dibangunnya tidak sesuai dengan yang selayaknya. Jadi terkesan tempel sembarangan, belum lagi pakaian di sana sini, tersampir dengan semena-mena jadi lihatnya terkesan jorok, jadi tidak rapi”, ujarnya.
Setali tiga uang, akibat kuatnya stigma negatif terhadap lembaga mahasiswa pecinta alam, kini ada kekhawatiran terhadap wacana bahwa akan diadakan pembekuan lembaga pecinta alam di setiap fakultas dan mahasiswa yang masih mempunyai minat sebagai pecinta alam akan diarahkan ke tingkat universitas yang akan menaungi minat tersebut yakni UKM Sintalaras. Jika hal itu betul terjadi, kemungkinan besar mahasiswa akan semakin jauh dari aktivitas keorganisasian.
Imbas dari sikap birokrasi fakultas yang tidak peduli terhadap BKM Marabunta ialah sulitnya menggunakan fasilitas kampus. “Kendala yang dihadapi itu ketika akan melakukan kegiatan, otomatis ketika tidak diakui oleh birokrasi mereka juga tidak bertanggung jawab terhadap kegiatan yang kita buat, tidak dapat menggunakan fasilitas kampus, termasuk tanda tangan PD III, sulit juga keuangan, kecuali atas bantuan BEM. BEM yang meminjam dan Kita pinjam di BEM”, tutur Bunglon.
Melihat dari permasalahan BKM Marabunta dengan beberapa birokrasi, Ronny, Ketua BEM periode 2012-2013 beranggapan bahwa seluruh civitas psikologi, khusunya birokrasi fakultas, seharusnya melakukan proses assesmen dan analisis data secara mendalam dalam memandang keberadaan BKM Marabunta.
Lebih lanjut mahasiswa angkatan 2009 itu menuturkan bahwa seluruh elemen terkait harus peduli pada nilai-nilai ideal organisasi mahasiswa pecinta alam. “Marabunta idealnya merupakan wadah lahirnya generasi pemerhati dan pecinta keseimbangan alam. Maka menjadi tanggung jawab semua pihak untuk mengembangkan potensi-potensi konstruktif dari Marabunta” tegasnya.
Kondisi saat ini tidak lantas menghilangkan harapan terhadap BKM Marabunta. Besar harapan terhadap BKM Marabunta dapat terus eksis sebagai wadah aktualisasi diri mahasiswa Fakultas Psikologi UNM serta mampu memperlihatkan tampilan sebagai mahasiswa pecinta alam yang aktif berkegiatan di alam namun tetap baik dalam kegiatan akademik. Widyastuti ingin agar Marabunta kemudian tidak berputus asa dan tetap melakukan hal yang positif. “Do Something !” tegasnya. Adapun Ronny lebih menekankan pada komunikasi yang intensif antara Marabunta dengan BEM. (EH/NH)