Oleh : Muhammad Shany Kasysyaf (Mantan
Fungsionaris BEM Psikologi UNM)
Belum
genap beberapa bulan selang agenda tahunan Musyawarah Mahasiswa Fakultas
Psikologi (MUMPSI) yang menjadi penentu terkait pengesahan format baru lembaga
kemahasiswaan yang berubah nama menjadi Keluarga Mahasiswa (KEMA). Masih segar
pula di ingatan, beragam perdebatan alot yang terjadi di forum tertinggi
Mahasiswa Psikologi (MUMPSI) termasuk harapan mahasiswa Psikologi yang dititipkan
kepada Presiden Mahasiswa terpilih Mudassir Hasri Gani terkait kesediaannya
untuk tidak mengikuti KKN (Kuliah Kerja Nyata), bukan tanpa alasan mengingat
urgensi rekomendasi yang harus segera dituntaskan. Belum lagi mengingat
rentetan sejarah kelembagaan ini pertama kalinya ada Presiden terpilih yang berani mengambil
resiko meninggalkan lembaga yang secara struktur belum sempurna sebab masih
menunggu penyempurnaan status beberapa pengurusnya demi menuntaskan tugas
akademik yang idealnya masih dapat dituntaskan di tahun selanjutnya.
Untuk
menjawab kegelisahan masyarakat tentang keputusan keberangkatan sang induk
semang, maka ditawarkanlah beberapa solusi. Salah satunya adalah pemberlakuan shift yang mekanismenya telah
diterangkan di newsletter Psikogenesis edisi sebelumnya. Ini adalah sebuah
perjudian tentunya, nasib lembaga selama satu tahun ke depan adalah taruhannya.
Dua bulan bukan waktu yang sebentar bagi sebuah kelompok untuk ditinggal
pemimpinnya, bila mekanisme ini gagal maka seperti Bani Israil yang kembali
menyembah berhala setelah beberapa waktu ditinggalkan Musa, KEMA F.Psi UNM bisa
saja bernasib sama. Bila berhasil tentunya akan memberikan citra positif serta
dapat menjadi tawaran mekanisme yang solutif di masa mendatang. Namun perlu
diingat, tugas lembaga eksekutif bukan sebatas menuntaskan perencanaan yang
disusun dalam program kerja tapi juga menuntaskan ragam masalah (bukan malas
ah) kebangsaan secara kompleks yang termakhtub juga dalam amanah tri darma.
Pergantian
dekan, pergantian pemimpin bangsa, serta beragam isu yang menuntut pengawalan
bukan hal yang bisa dengan lama didiamkan kemudian dilupakan. Inilah tuntutan
sesungguhnya dari tanggung jawab yang diemban. Bukan menutup diri, dan unjuk
gigi di kandang sendiri. Sebagai masyarakat yang baik dan bertanggung jawab
tentunya bukan kesalahan bila mengingatkan pemangku amanah tentang tanggung
jawabnya atau sekedar mengkoreksi kekeliruan pimpinannya.
Masalah
belum selesai, di tubuh majelis yang idealnya menjadi penentu dari segala kebijakan
sekaligus pengawas serta idealnya sebagai
mandataris yang merepresentasikan masyarakat Psikologi secara utuh.
Meski terlihat baik-baik saja namun masih pekat tercium aroma perpecahan.
Adanya perbedaan pandangan tentang interpretasi konstitusi sempat terlihat
antara Ketua Umum Maperwa dengan beberapa komisionernya beberapa waktu yang
lalu di rapat kerja BEM menyiratkan pesan adanya pecah kongsi dan kuran
koordinasi . Kacaunya koordinasi dalam
tubuh majelis tentunya bukan hal baru, indikasi arogansi kerap diperlihatkan
oleh beberapa pimpinan sebelumnya dan terwariskan pada pimpinan selanjutnya.
Suara pimpinan seperti menjadi representasi dari seluruh delegasi di tubuh
majelis tanpa perlu lagi prosesi komunikasi antar komisi. Ini semua tentunya
akan berdampak pada perbedaan standar pengawasan dan penilaian bila
masing-masing pihak tetap bersikukuh pada interpretasi subjektif bukan
interpretasi yang secara paripurna ditetapkan bersama. Bila tetap diteruskan
bubarkan saja majelis sebagai lembaga, dan delegasi tak perlu ada, cukup
pimpinan saja. Meskipun hanya sebuah opini, tulisan ini tentunya diharapkan
dapat menjadi evaluasi bagi seluruh pengurus lembaga di periode ini. Mari
berbenah bersama demi impian yang serupa “menjadikan psikologi jaya hingga anak
cucu kita”.
Social Link