*Ilustrasi. aksi tawuran yang marak terjadi di Universitas Negeri Makassar
 Sumber : https://img.okezone.com)
Faradilla Firdaus
Muh. Nur Hidayat Nurdin
Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar

Tradisi perkelahian antar mahasiswa di Universitas Negeri Makassar (UNM) merupakan salah satu contoh ironi dalam sejarah perjalanan perguruan tinggi. PT seharusnya menjadi kancah pencetak calon-calon pemimpin di masyarakat, berubah menjadi ajang pertunjukan barbarianisme mahasiswa. Dalam kurun tahun 2012 saja terjadi 12 kali tawuran di UNM yang melibatkan mahasiswa Fakultas Teknik (FT) dan Fakultas Seni dan Desain (FSD) (Profesi, 2012). Hanya karena tersinggung ketika bersenggolan di tempat parkir. 

Tawuran 11 Oktober 2012 bahkan harus menelan 2 korban jiwa, dua gedung kuliah dibakar, dan 6 buah sepeda motor ikut rusak diamuk mahasiswa. Kasus perkelahian serupa juga terjadi sebulan sebelumnya di Universitas Muslim Indonesia (UMI), dan seorang mahasiswa bernama Ibrahim harus meregang nyawa di ujung badik teman sesama mahasiswa. Mengapa mahasiswa sebagai calon-calon pemimpin masa depan bangsa ini tega saling melukai dan membakar kampus tempat di mana mereka menuntut ilmu? Apakah mereka tidak memikirkan dampak dari perilakunya? Sungguh sebuah fenomena memilukan yang sulit untuk dinalar. Mengapa para mahasiswa yang dalam kehidupan sehari-hari biasanya sangat santun dan ramah, bisa berubah dan tiba-tiba menjadi buas dan merasa puas melihat teman mereka sesama mahasiswa menjadi korban. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Prima Pena, 2002), Tawuran  adalah perkelahian beramai-ramai atau perkelahian massal

Penelitian yang dilakukan mencoba untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut; apa motif para pelaku sehingga terlibat dalam aksi tawuran? Bagaimana persepsi mereka tentang tawuran? apa penyebab dari tawuran yang terjadi? Bagaimana perasaan mereka saat dan setelah tawuran terjadi? Dengan mengetahui persepsi, penyebab meletusnya aksi tawuran dan apa yang sebenanya dirasakan  dari aksi tawuran.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan wawancara pada pelaku  sebagai metode pengumpulan data yang utama. Subjek adalah 6 (enam) orang pelaku tawuran dari dua fakultas yang paling sering bertikai di UNM, yakni Fakultas Teknik (FT) dan Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS). Mahasiswa yang dipilih sebagai subjek adalah mahasiswa yang pernah terlibat salah satu peristiwa tawuran yang terjadi antara FBS dan FT UNM. Setiap sepasang subjek (1 dari FT dan 1 dari FBS) merupakan pelaku dari salah satu dari tiga peristiwa tawuran terbesar yang perah terjadi (10 Oktober 2012, 30 Agustus 2004 dan 6 Maret 2007).

Hasil dari penelitian ini menunjukkan alasan pelaku mengikuti tawuran di bagi menjadi dua kelompok, yaitu alasan pelaku pemula, yaitu alasan ketika mereka pertama kali ikut tawuran, dan alasan pelaku berulang, yaitu alasan mereka mengikuti tawuran dengan alasan yang terbagi atas tiga kategori, yaitu karena merasa terjebak situasi tawuran, rasa solidaritas, dan ajakan senior.

Subjek yang ikut tawuran dengan alasan terjebak dalam situasi adalah mahasiswa yang tidak tahu penyebab tawuran, namun karena merassa tidak mampu keluar dari tawuran maka mereka memutuskan untuk membela kelompok mereka, untuk mengalahkan lawan agar tawuran segera berakhir.

Alasan kedua adalah karena ingin menunjukkan rasa solidaritas. Pelaku dengan alasan ini biasanya adalah mahasiswa  yang merasa dekat dengan korban pencetus atau penyebab tawuran. Alasan ketiga adalah karena mengikuti senior. Berdasarkan data tersebut nampak bahwa pelaku pada awalnya hanya berperan sebagai penonton, namun karena identifikasi dengan pelaku maka mereka mudah diajak untuk tawuran. Sementara untuk yang selanjutnya, didasari oleh  keinginan pelaku menegakkan siri', balas dendam, dan ingin menghentikan perilaku kelompok yang dianggap merugikan kelompok mereka.

Hasil dari penelitian ini juga menunjukkkan bahwa tawuran terjadi bukan atas dasar permusuhan pribadi, tetapi permusuhan kelompok. Pelaku dari kedua kelompok memersepsi dirinya sebagai korban sehingga mengharuskan mereka untuk melawan. Mereka merasa wajib membalas setiap perlakuan tidak adil terhadap kelompok mereka untuk menegakkan harga diri kelompok dan membuat mereka jera kelompok lawan.

 Perilaku tawuran yang sering dilakukan, untuk membuktikan bahwa mereka solid. sesaat setelah tawuran, para pelaku ada kebanggan jika korban yang jatuh pada pihak lawan lebih banyak dari korban pada kelompok lawan. Namun setelah itu mereka cemas dan ketakutan karena menyakini bahwa lawan akan membalas dendam. Pembalasan yang dilakukan  kadang tidak di kampus namun bergerilya di luar kampus.


Pelaku yang telah lulus atau dikeluarkan dari Universitas dan tidak lagi bersama kelompok di fakultas, mengaku menyesali keputusan mereka mengikuti tawuran, karena dalam masyarakat ternyata mereka mendapatkan penolakan, demikian pula di dunia kerja. *Dimuat dalam Majalah LPM Psikogenesis Edisi 5