Ketukan boots merah bata dengan heels sedang milik Melissa terdengar teratur ketika ia melangkah santai di trotoar pinggir jalan pusat pertokoan kota. ‘De Lambert bread and cake shop’ milik keluarga Lambert adalah tujuan Melissa untuk makan cemilan di hari kamis siang. Tidak peduli dengan program diet yang sedang ia jalankan selama seminggu belakangan jika ia mampu menghabiskan beberapa potong roti dan kue dari toko Lambert. Hari ini—tanggal tiga di bulan ketiga—tanggal yang seharusnya sudah ia lupakan sejak dua tahun lalu, entah kenapa kembali mengusik gadis pemilik rambut cokelat gelap itu sejak pagi tadi. Dan cara terampuh untuk mengenyahkannnya—menurut Sabrina—adalah  dengan makan cokelat atau cemilan manis. Melissa akan membuktikan perkataan saudarinya itu sekarang. Jika tidak berhasil dan berat badan Melissa naik dengan sia-sia, ia akan memaksa Sabrina untuk ganti rugi atas saran yang ia berikan.
     Aroma khas roti dan kue menggiurkan yang baru saja keluar dari pembakaran menyusup memenuhi paru-paru Melissa ketika ia mendorong pintu kaca dan lonceng selamat datang berdenting di atasnya. Salah seorang gadis berwajah bulat dengan pipi tembam lantas membulatkan mata ketika Melissa menyeberangi toko dan berdiri di depan rak penyimpanan nampan serta gantugan penjepit roti lalu mengambil masing-masing satu benda itu. Ia tahu gadis itu adalah putri nomor dua Tuan Lambert, dan Melissa tidak perlu merasa heran jika ada anggota keluarga mereka merasa familiar dengan wajahnya, mengingat Sabrina memiliki hubungan dekat dengan dengan putra sulung Tuan Lambert dan pernah berkunjung ke sini beberapa kali. Gadis itu masih duduk di sekolah menengah atas—mungkin—dan mereka saling melempar senyum ketika Melissa kini sampai di depan etalase kaca yang membelakangi gadis itu.
“Ada rekomendasi menarik untuk siang ini? Hari ini adalah hari pertama aku berkunjung”.
Melissa tahu gadis itu dengan cepat menyembunyikan tatapan heran dan kerutan halus di keningnya dengan anggukan ketika ia membuka pembicaraan.
“Bagaimana kalau sandwich es krim cokelat dan seporong tiramisu cokelat seperti biasa? Uhm, kali ini ada tambahan caramel dan cokelat bubuk di roti dan kuenya”.
Seperti biasa? Gadis itu menggunakan dua kata ‘seperti biasa’ di akhir akalimat. Oh, apa Sabrina memang suka memesan makanan jenis itu dan tidak ingin mencoba yang lain? Well, mereka memang memiliki selera yang berbeda, dan menurut Melissa selera saudarinya yang ketagihan cokelat itu terlalu biasa dan sungguh membosankan.
Sebagai tanda kesopanan dan menghargai saran dari gadis itu, Melissa menarik kedua sudut bibirnya dan megangguk pelan sebelum menunduk dan kembali memandangi deretan roti dan kue di dalam etalase kaca.
“Roti jahe, kau harus mencoba itu”.
Suara itu mengalihkan perhatian Melissa ke seseorang yang berdiri di sebelah kanan dengan memegang nampan plastik melamin dan penjepit roti aluminium seperti yang tengah ia pegang. Pemandangan pertama yang ia temukan sedetik kemudian adalah seorang pria bermata sipit dengan kacamata berbingkai putih, mengenakan kemeja abu-abu gelap nyaris hitam yang lengannya dilipat sampai siku dan celana berbahan kain licin hitam serta sepatu pantofel hitam mengkilat. Rambut hitam model shagy, sedikit panjang dan sedikit menutupi kening namun masih terlihat rapi, aroma parfum maskulin yang kini menggantikan aroma roti dalam rongga pernapasan Melissa. Satu kebiasaan buruk gadis itu yang sudah mendarah daging entah sejak kapan adalah memperhatikan seseorang dari ujung kepala hingga ujung kakinya sedetail mungkin.
“Jim! Tumben sekali kau datang jam segini. Tidak sibuk?”. Gadis di belakang etalase itu—yang Melissa masih belum tahu namanya, padahal ia ingat Sabrina pernah menyebutnya satu kali, tapi ia lupa—berseru seolah mereka adalah teman akrab.
Pria berkacamata itu terkekeh. Melissa juga memberikan julukan ‘berkacamata’ pada Sabrina, karena saudarinya itu seperti tidak bisa hidup tanpa kacamata minus miliknya. “Begitulah, Karren. Aku juga baru melihatmu jam segini di toko”.
Ya, Karren. Melissa ingat sekarang.
Merasa tidak dihiraukan, Melissa mengembalikan niat untuk mengisi nampan yang masih kosong itu dengan beberapa potong roti dan kue.
“Kau harus mencoba rekomendasi Jim. Kue jahe ada di etalase sebelah sana, biar kutunjukkan”. Karren berpindah tempat ke sisi lain belakang etalase dan berhenti di depan susunan roti cokelat muda berbentuk persegi dan ujung yang membulat. “Oh, maaf, etalase sebelah sisni sedikit berbeda. Kau harus menggeser pintunya ke sebelah kanan”.
“Kue jahe di pertengahan musim semi, apa tidak salah?”. Melissa tidak sadar ia mengucapkan apa yang baru saja melintas di pikirannya. Dan ia sadar pria berkacamata tadi mengikuti dan berdiri di belakangnya.
“Roti itu luar biasa. Aku yakin sekali mencoba, kau akan jatuh cinta”. Pria itu berceletuk.
Karren mengangguk semangat. “Jim benar. Kau akan merasakan sensasi jahe yang hangat bersama roti manis dalam satu gigitan”.
“Baiklah”. Melissa menggeser pintu etalase kaca dan mengambil sepotong roti jahe lalu meletakannya ke atas nampan. Bisa tunjukkan dimana aku bisa mendapatkan cheesecake dan brownish strawberry?”.
“Di sebelah sini”.
Melissa mengikuti Karren setelah ia memberikan senyum dan mempersilahkan pria berkacamata untuk mengambil roti yang ia inginkan.
***
Toko kue itu berukuran luas dan dibagi menjadi dua bagian. Bagian petama adalah pintu yang langsung berhadapan dengan susunan etalase dan rak serta meja kasir, dan bagian kedua adalah deretan meja dan kursi makan berwarna pastel dengan kaca lebar pengganti tembok beton di tiga sisinya. Meja di sudut yang berdampingan dengan jalan menjadi pilihan Melissa. Ia menikmati cheesecake dan mocca-nya terlebih dahulu sambil memandangi pedestrian dan sesekali mengomentari pakaian mereka dalam hati jika ada yang menarik perhatiannya.
“Kau belum mencoba roti jahenya?”.
Melissa memindahkan pandangan dan menemukan Jim berdiri dengan kedua tangan memegang nampan di sisi kiri mejanya.
“Boleh duduk di sini?”.
Tidak ada alasan untuk mempersilahkan Jim duduk di hadapan Melissa sebab ia tidak mengenal pria itu. Breaking the ice dengan siapa saja memang hal yang mudah bagi Melissa, tapi berbicara dengan orang asing di saat yang tidak tepat—entah bisikan apa yang membuat Melissa lantas mengangguk.
“Jim Morton”. Jim menjulurkan tangan dan Melissa meraih tangan itu setelah menatapnya selama beberapa detik.
“Melissa”. Dahi Melissa mengedut saat matanya sekilas menangkap nampan Jim dan kini tidak mampu mengalihkan pandangan dari benda itu. Lima potong roti Jahe tergeletak manis di sana. Dan Jim hanya menunjukkan seringai dengan deretan gigi putih tersusun rapi ketika sadar dengan isi pikiran Melissa.
“Aku penggila roti jahe dan hari ini adalah hari ulang tahunku. Jadi, kurasa tidak salah memberikan hadiah untuk diri sendiri. Tidak ingin memberikan ucapan selamat untukku?”. Jim menjelaskan. Melissa juga memiliki sifat mudah bergaul dan terbuka seperti Jim. Tapi tidak tahu kenapa ia menjadi seperti Sabrina—stolid—di hadapan pria itu. Dan ulang tahun Jim kembali mengingatkan Melissa dengan hari ini. Tanggal tiga di bulan ketiga. mood Melissa berubah dalam sekejap.
“Selamat ulang tahun”. Melissa mengucapkannya tanpa ekspresi sebelum kemudian menyuap brownish strawberry dan sesekali menyesap minumannya.
“Terima kasih”. Senyum tulus tanpa dibuat-buat ketika mata Jim menutup dan timpul kerutan di sudutnya. “Kau tidak ingin menyicipi roti jahemu?”.
Mungkin iya, beberapa menit lalu dan ia akan memakannya paling akhir. Tapi sekarang tidak lagi ketika Jim tanpa sadar membuat suasana hati Melissa kembali buruk. Orang tua mereka atau Mary, kakaknya, tidak pernah mengajarkan Melissa untuk meninggalkan tempat sebelum makanan di hadapannya habis, dan ia tidak mungin melakukan itu demi menjaga image dan kesopanan di hadapan Jim. Yang akan dilakukan Melissa sekarang adalah memakan brownish-nya pelan-pelan karena tinggal sepotong dan menyesap mocca-nya lambat-lambat. “Kau berteman dekat dengan Karren, kurasa?”.
Jim mengangguk. Tidak berbicara sebab roti jahe memenuhi mulutnya. “Wah! Benar-benar enak. Ya, kantorku di ujung jalan itu dan mengetahui toko ini tahun lalu saat pulang kerja jam tujuh malam dan Karren bersama kakak laki-lakinya selalu berdiri di sana”.

Melissa mendengarkan.

“Bulan Maret. Waktu itu suasana hatiku buruk sekali dan aku lebih memilih mampir di tempat ini dari pada duduk minum di pub seberang. Pemuda bernama Hans memberiku roti jahe bahkan sebelum aku memesan. Dia bilang roti jahe memiliki kekuatan sihir merubah keadaan jiwa seseorang. Aku tertawa, ketika ia berkata sepeti itu mungkin karena melihat tampangku sangat kacau. Lalu benar-benar seperti terkena sihir. Roti itu membuatku jatuh cinta dan dengan mudah melupakan jika kenangan buruk mengangguku”.
     Apa pemuda itu sedang mengarang? Atau ia seorang cenayang?
“Kau harus mencoba roti jahe itu, Melissa”.
Dan di saat suapan terakhir brownish Melissa, ia tidak punya pilihan lain. Ia  meraih roti jahe—satu-satunya roti yang tersisa di nampannya—dan menyuapkannya ke dalam mulut. Rasa itu seperti asing di lidah Melissa tapi lama-lama ia menikmatinya. Sulit di jelaskan. Seperti terkena sentuhan kekuatan sihir dan detik itu juga, Melissa jatuh cinta. Mungkin ia akan membelikan masing-masing sepotong untuk Mary dan Sabrina setelah ini.
     Roti jahe dan Jim membuat Melissa melupakan tanggal di hari itu. Ia jatuh cinta pada roti jahe.

Karya: Delila Ayutami