Sumber: Dok. Prbadi Mudassir Hasri Gani

     Mencintai tanpa harus memiliki dan tak harus juga meninggalkan. Begitulah perumpamaan untuk diri setiap mahasiswa ketika di hadapkan pada fungsi dan tugas sebagai starata tertinggi dalam bingkai intelektualitas. Masa muda adalah masa yang berapi-api begitulah sepenggal lirik lagu bang rhoma irama. Memang benar fase dimana berapi-api itu dimaksudkan sebagai masa dimana energy emosional yang membara untuk terus beraktivitas dan berinteraksi.
     Dalam menjalani hidup sebagai mahasiswa, kita akan selalu di hadapkan dengan dilematis antara akademik dan organisasi. Pilihan akan prioritas tampak sulit meski sebagian orang mengatakan itu adalah hal yang biasa saja jika sudah dibiasakan untuk diseimbangkan dan lain pula dengan yang belum membiasakan untuk menyeimbangkan. Prokrastinasi akademik pun bertebaran dengan alasan yang berbeda-beda dan salah satu alasannya adalah karena sibuk urus organisasi sehingga kuliah menjadi terbengkalai. Idealisme seseorang tidak dapat kita jadikan sebagai hal yang salah namun sebagai hal yang harus kita toleransi namun tidak untuk diikuti.
     Dunia kemahasiswaan akan terasa asing apabila kita tidak mengenal perangkat-perangkat yang ada di dalamnya. Seperti Maperwa, Bem, dan BKM. Ada sebagian orang akan berpikir dan berniat untuk menjajalkan diri memasuki pintu-pintu yang telah di beri label dengan bersyarat apabila ingin memasukinya. Waktu itu saya bertanya pada diri sendiri, sebenarnya apa point penting dalam berlembaga?Apakah kita ingin mencoba atau mencari pengalaman? Pertanyaan seperti itu sangat akrab di kedua kuping ini pada 5 tahun yang lalu.
      Fenomena saat ini, bisa saja bukan pertanyan seperti itu melainkan pertanyaan apa yang menarik dalam organisasi/lembaga tersebut?saya ingin berkontribusi namun tidak ingin terikat. Atas dasar kebutuhan tersebut, muncullah beragam komunitas yang menjual dan beriklan dengan tag line “anda ingin berkontribusi, silahkan tanpa harus menjadi anggota yang terikat”. Kurang lebih seperti itu perumpaan yang dapat tergambarkan dengan tingginya minat mahasiswa cenderung memilih komunitas daripada lembaga kemahasiswaan.
     Selain faktor yang tidak terikat, di dalam komunitas sendiri anda bisa menjumpai beragam orang dari kampus berbeda-beda, profesi/pekerjaan yang berbeda, hingga suasana berbeda yang jauh lebih menyegarkan daripada harus duduk di dalam ruangan sembari mengenakan atribut yang lengkap dengan lambing-lambang pertanda bahwa kami professional. Ironis memang ketika lembaga eksekutif dan yudikatif tidak lagi menjadi lirikan bagi para mahasiswa yang di kadernya.
       Tiap tahun akan hadir generasi-generasi baru yang kemudian akan meregenerasi setelah dikaderisasi untuk jangka waktu yang telah ditentukan untuk menjalankan kembali roda organisasi. Tiap tahun pula akan lahir pemimpin tiap-tiap kursi yang diperebutkan untuk diduduki demi menjalankan sector egosentris dan kepentingan kelompok. Regenerasi muncul tapi apakah akan muncul transformasi organisasi itu ?
       Kita telah mengetahui bahwa tiap manusia itu berbeda-beda, mulai dari perbedaan keyakinan, ras hingga karakter/sifat itu sendiri. Tapi kita mengetahui namun tetap menggunakan mekanisme yang sama untuk orang yang berbeda. Proses regenerasi haruslah melihat perkembangan zaman bukannya mencaplok kebiasaan terdahulu. Apakah memang ada kultur yang kuat dalam proses regenerasi sebelumnya yang dinilai cocok?ataukah hanya ketakutan untuk mencoba hal yang baru.
      Kembali lagi ke persoalan lembaga dan komunitas. Disini kita tidak melihat munculnya komunitas sebagai bentuk kesalahan namun munculnya komunitas sebagai bahan pelajaran bagi eksektutif dan yudikatif untuk melakukan transformasi organisasi. Tidak usah kita berpikir idealisme, toh realitasnya idealisme bukan jaminan banyak orang yang mengikut justru banyak orang yang akan menghindar mencari hal yang lebih enjoyable.
     Kalau kuantitas bukan hal utama dalam berlembaga, lalu apakah dengan jumlah sedikit sudah menghasilkan kualitas yang baik?adakah jaminan kualitas yang baik tersebut?tentu jawabannya kalau bukan tidak ada jaminan, ragu pasti hasilnya. Hal ini tentu berbeda dengan kuantitas, semua menjadi jelas angkanya. Angka yang semakin besar akan mempengaruhi kinerja organisasi menjadi lebih efektif. Dengan kuantitas pulalah harapan hidup organisasi akan semakin panjang.
     Lembaga perlu memiliki nilai jual yang lebih dari komunitas. Hal ini penting untuk mengangkat harkat dan martabat sebuah lembaga yang memiliki aturan yang jelas serta visi dan misi. Lembaga harus turun gunung untuk melihat langsung apa yang terjadi di laut. Karena gunung sangat kecil bila dibandingkan dengan luasnya lautan. Gunung memang tinggi namun tidak memiliki jumlah yang lebih besar dari lautan.
     Kembali lagi ke paragraph pertama tulisan ini yaitu faktor mencintai. Apakah kita betul-betul mencintai lembaga ataukah hanya pelarian saja. Karena kerja lembaga kemahasiswaan adalah kerja pengabdian bukan kerja mesin. Lembaga tidak berhak menyiksa anggotanya dengan kerja rodi sebab anggota tidak di gaji untuk itu. Hal ini menjadi wajar mengingat mahasiswa memiliki kehidupan yang kompleks yaitu mandiri dengan tidak menyusahkan orang tua atau orang lain, lulus tepat waktu dan memiliki kehidupan pribadi untuk sendiri dan menikmati serta bisa aktif bersosialisasi dalam kerja pengabdian.
      Akhir kata, lembaga kemahasiswaan perlu banyak belajar dan turun gunung apabila masih ingin eksis dan mendapatkan regenerasi, karena dari munculnya berbagai macam komunitas telah berhasil mencuri kesadaran untuk empati terhadap kehidupan sekitar. Sehingga tidak ada lagi alasan bahwa mahasiswa yang tidak berlembaga itu apatis. Mahasiswa perlu banyak action, bukan habis waktu dengan berpikir. Berpikir sangat wajar, namun jangan kelamaan berpikir.

Makassar, 25 Oktober 2016

Mudassir Hasri Gani

Posting Komentar