Sumber: www.google.com
Membaca puisi yang kekini-kinian, sama halnya membaca ayat-ayat suci yang dikutip diatas mimbar ceramah, dan orasi kepartaian.Terlalu banyak fantasi, penuh tipu daya, dan hampir sepenuhnya rahasia, kalau ada yang sederhana paling-paling hanya dimengerti oleh lingkungan remaja patah hati dan baru saja putus cinta, atau penulisnya setidaknya.

Patah hati bukannya nda baik, bagus kok. Artinya kalau kamu masih bisa patah hati berarti kamu bukan meja dan kursi ruang kelas yang bertahun-tahun belum diganti meski uang kuliah telah lama naik, bukan juga ikan mas koki yang pasti amnesia tiap lima menit sekali. Itu amnesia atau napas, bung mas koki?. Patah hati itu manusiawi, tapi kalau dirayakan dengan hiks-hiks berhari-hari, kayaknya nda “sesuatu” banget deh kata syahrini sewaktu masih laris.

Indonesia masih darurat agraria, pesisir nyaris habis direklamasi, buruh pabrik dikriminalisasi karena demo minta kenaikan gaji, dan pendidikanmu tidak bisa lebih murah dari sehektar tanah, dan kamu masih gemar bersunyi-sunyi patah hati?. Mending ke bulan gih, bantu Ultraman menyelamatkan Bumi.

Puisi yang kekini-kinian kira-kira mirip dengan tafsir para sufi tentang kesunyian. Kalau ada yang menuduh para penyair hari ini terlalu sosialita, pasti dia belum membaca puisi yang kekini-kinian, bacalah. Disana kamu akan menemui kesunyian yang hilang makna dan suka mengaburkan kenyataan.
Kesepian yang sama kira-kira bisa kamu temukan di kampus yang kekinian, atau dalam lingkaran mahasiswa golongan aktipis yang hendak kekiri-kirian. Terlalu gemar bicara dalam bahasa langit, senang menyatakan pandangan dengan cara yang rumit, dan suka bermain peran jadi pahlawan. Oh iya, jangan ketawa dulu yah “saya bercandanya belum mulai.” Kalau nanti ternyata pas saya mulai bercanda dan kamu belum ketawa, berarti saya memang tidak punya bakat lawak macam badut di gedung parlemen.

Tahun ajaran baru nanti, amati kawan-kawan atau kakak kelas dan adik kelasmu di kampus. Apa yang dibicarakan dan dilakukan dengan dede-dede maba yang baru tamat SMA itu? apakah digebet dengan semangat? diceramahikah dengan bahasa-bahasa Martin Surajaya atau romo Marx? atau siapa saja, atau disuruh ini-itu yang nda tahu gunanya apa ?.

Ok, soal gebet-menggebet itu manusiawi. Toh terkadang memang beberapa senyuman dede maba itu memang memikat dan seperti ngajak berkembang biak. Nah soal mendidik dan mengader, kok yah kita semua lebih senang menggunakan bahasa langit yang hanya dimengerti oleh Ultraman seorang. Maksudku, bukannya kita bicara untuk berpesan ke orang-orang? Tentang kegelisahanmu pada lingkungan, tentang niatmu mewujudkan perubahan, tentang menjadi sebaik-baiknya selingkuhan, eh.
Jadi kalau kamu pernah dengar pepatah lama, yang saking lamanya barangkali sudah nyaris punah dari sejarah “Kejahatan lestari, karena orang baik-baik tidak mau bicara.” Kalau kamu menuduh lingkungan kampus semisal, sebagai golongan yang mencemooh gerakan, atau abai pada derita lingkungan. Coba diperiksa lagi, bahasa apa yang kamu gunakan sewaktu mengajarkan tentang gerakan ? sewaktu mengabarkan derita lingkungan?. Sepertinya perlu kita buka catatan (bagi yang punya) mengenai praktik bekerja massa.

Kalau kakak-kakak aktipis dan kakak-kakak penyair mengeluhkan soal popularitas yang kalah pamor dengan sinetron murahan, atau dangdut academy. Yah silahkan diadu, yang mana diantara seluruhnya yang memang bisa diterima dan disukai dengan mudah oleh orang-orang. Karena berbicara dengan orang lain dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh diri sendiri, apa bedanya toh dengan onani ? Berhentilah menyalahkan orang lain atas kesunyian yang kamu ciptakan sendiri. Toh, kita sepakat soal tafsir objektivitas, bahwa isi argumentasi yang dibawakan harus mengacu pada kontradiksi pokok pihak yang dipesankan.


Salam.

Muh. Shany Kasysyaf

Posting Komentar