Kegiatan Tudang Sipulung BEM Kema FPsi UNM di BM 102, Kamis (01/09/2016)
Sumber: Dok. LPM Psikogenesis

                              
Tak diragukan lagi, Lembaga Kemahasiswaan (LK) memang merupakan ajang untuk berdinamika bagi mahasiwa(i) yang ingin mengabdikan dirinya sebagai aktivis lembaga. Bukan hanya soal perumusan aturan ataupun pelaksanaan kaderisasi, integritas sebagai fungsionaris kelembagaan pun ikut dipertaruhkan utamanya ketika hal itu melibatkan jalinan emosional di antara kader dan sang pengader. Cita-cita kaderisasi yang dituang dalam bentuk program kerja dinilai akan menjadi "korban" dari ketidakmampuan pihak yang melanggar komitmen.
Nyatanya memang sulit menerima fakta bahwa manusia adalah makhluk sosial dengan dorongan id (baca: prinsip kesenangan) tanpa batas menyelimuti dirinya. Hal ini yang kemudian menjadi dilema ketika keputusan untuk menyikapi kasus jalinan asmara antara fungsionaris lembaga dengan mahasiswi yang masih berlabel "baru" sulit untuk ditentukan. Sayangnya, kasus ini benar terjadi di tataran kelembagaan Keluarga Mahasiswa (Kema) Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Negeri Makassar (UNM).

Miris, Komitmen Ada Untuk Dilanggar
Diketahui bahwa dua orang fungsionaris kelembagaan Kema FPsi UNM terlibat hubungan emosional dalam kasus ini pacaran, dengan dua orang mahasiswi baru (maba) angkatan 2016. Seolah tak menampik kodrat manusia, kasus ini dinilai bukanlah hal yang serius ketika hubungan ini memang memberikan dampak positif di antara keduanya. Hanya saja, komitmen untuk tidak menjalin hubungan rupanya telah disepakati di awal tepatnya saat Tudang Sipulung pada Kamis (01/09/16) lalu. Adanya pelanggaran komitmen ini pun yang dinilai merusak kesepakatan untuk mewujudkan cita-cita kaderisasi yang baik.
Muhammad Suharto selaku Staf Kementerian Pendidikan dan Pelatihan (Kemendiklat) BEM Kema FPsi UNM menuturkan bahwa salah satu hasil yang dilahirkan dari kegiatan Tudang Sipulung ialah aturan lisan untuk berkomitmen tidak menjalin hubungan asmara dengan mahasiswa(i) yang sedang dikader agar tidak mengganggu kerja-kerja kelembagaan khususnya kaderisasi. "Jadi kita bicara disitu (baca: Tudang Sipulung) tentang bagaimana lembaga kedepannya selama satu periode. Salah satu komitmen yang dibangun itu adalah tidak menjalin hubungan emosional pada maba yang masih baru," tuturnya.
Lebih lanjut, mahasiswa yang akrab disapa Atto ini mengungkapkan bahwa pelanggaran komitmen tersebut menjadi hal yang tidak etis dilakukan oleh fungsionaris kelembagaan. Ia menyayangkan komitmen yang telah dibentuk di awal tidak dapat dijaga dengan baik, tetapi justru dilanggar dengan begitu mudahnya. "Tidak etisnya itu ketika kita melanggar komitmen. Kalau misalnya tidak ada komitmen dari awal, boleh saja tapi bedakan ki persoalan dirimu (baca: perasaan pribadi) dengan mereka (baca: kader)," jelasnya.
Pendapat lain juga datang dari salah satu mantan Presiden Mahasiswa (Presma) BEM Kema FPsi UNM yang enggan disebutkan namanya. Ia menuturkan bahwa komitmen yang telah dibuat dan kemudian dilanggar bukanlah perkara biasa, hal tersebut sudah seharusnya ditanggapi secara serius guna menghindari terjadinya kesalahan yang sama berulang kali. "Itu sudah dibikinkan komitmen saat tudang sipulung. Masalahnya komitmen itu dilanggar. Saya sebenarnya tidak terlalu permasalahkan ada hubungan atau tidak tapi yang saya permasalahkan mereka sudah bikin komitmen diawal untuk tidak dekat secara emosional dan pacaran, dan itu dilanggar. Nah pelanggaran komitmen ini yang menurut saya perlu ditanggapi secara serius," terangnya.

Hubungan Emosional Pemicu Bias Kaderisasi
Sebagai fungsionaris kelembagaan, profesionalitas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab khususnya dalam hal kaderisasi sangat dituntut demi terciptanya kader yang baik. Oleh karena itu, BEM Kema FPsi UNM membuat kesepakatan bersama di awal kepengurusan yakni komitmen untuk tidak terlibat dalam jalinan asmara (baca: pacaran) dengan kadernya yang tidak lain merujuk pada maba angkatan 2016. Alasan utama terbentuknya komitmen tersebut ialah untuk menghindari adanya bias kaderisasi.
Menurut pendapat salah satu mantan fungsionaris kelembagaan BEM Kema FPsi UNM, adanya hubungan emosional di antara kader dan sang pengader akan memicu munculnya bias dalam hal pemberian intervensi yang kemudian berdampak pada terganggunya program kerja. “Jadi konsep yang ingin diterapkan di maba dengan cita-cita sedemikian rupa itu nantinya bias. Karena bisa jadi akan ada perbedaan pemberian intervensi antara maba yang menjalin hubungan emosional dengan maba yang lainnya,” terangnya.
Pernyataan yang berkaitan juga disampaikan oleh Mudabbir sebagai salah satu mantan Presiden BEM Kema FPsi UNM Periode 2015-2016. Menurutnya, larangan fungsionaris kelembagaan dalam menjalin hubungan emosional dengan pihak yang dikader semata-mata untuk menghindari bias dari pengkaderan tersebut mengingat posisi fungsionaris sebagai pelaksana pengaderan. “Tidak ada masalah kalau berbicara kedekatan. Intinya kedekatan betul-betul diarahkan untuk mengikuti setiap jenjang-jenjang kaderisasi. Tapi kalau malah kedekatan itu menjadi boomerang atau dalam artian dia membocorkan treatment-treatment kaderisasi itu sudah bersifat merusak,” tuturnya.
Tak jauh berbeda dari Mudabbir, Sri Dian Fitriani selaku Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (Maperwa) Kema FPsi UNM mengatakan bahwa hal yang ditakutkan terjadi ketika hubungan emosional tersebut terjalin yakni terciptanya rasa ketidakpedulian dan acuh tak acuh pada pihak yang dikader karena merasa mendapatkan dukungan dari pihakpelaksana pengaderan. “Nah ini kan proses pendidikan, sewajarnya memang proses pendidikan itu membatasi hubungan emosional karena bagaimana caranya kita sampaikan sesuatu yang sifatnya substansial kalau misalnya yang mau menerima itu merasa bilang oke, saya acuh tak acuh saja karena saya punya dia. Seperti itu kondisinya,” jelasnya.

Kesalahan Yang Sama Kembali Terulang
Hubungan emosional antara fungsionaris kelembagaan dengan maba sebagai peserta kaderisasi nyatanya tak hanya terjadi dikepengurusan Kema FPsi UNM periode ini saja. Diketahui bahwa kasus yang sama pernah terjadi pada periode 2015-2016 yang menyebabkan fungsionaris yang terkait diminta agar melayangkan surat pengunduran diri oleh Presiden BEM Kema FPsi UNM.
Mudabbir selaku Presiden BEM Kema FPsi UNM yang menjabat pada saat itu menilai hubungan tersebut seharusnya tidak dilakukan mengingat statusnya sebagai fungsionaris kelembagaan. Untuk itu, di awal periode kepengurusan ia bersama anggota stafnya membuat komitmen untuk tidak menjalin hubungan dengan maba. “Saya sampaikan bahwa sebisa mungkin jangan dulu ada yang menjalin hubungan dengan adiknya. Kalau ada, silahkan memilih, mau tetap di kelembagaan ataukah memilih mengundurkan diri untuk menjalani hubungan yang lebih jelas. Itu kan sebuah komitmen dan tidak tertuang dalam sebuah aturan,” jelas mahasiswa angkatan 2013 ini.

Sikap Berbeda, Hasil Berbeda
Meskipun kasus yang sama kembali terjadi pada dua periode kepengurusan yang berbeda, tampaknya kedua kasus tersebut disikapi dengan cara yang berbeda pula. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari penyelesaian masalah dimana pada periode 2015-2016 ditangani segera sebelum kasus tersebut menyebar di kalangan lembaga, sedang pada periode ini nampaknya belum menemui titik terang dan masih menunggu kejelasan dari masalah sebelum keputusan diberikan.
Sebagai pihak yang memberikan keputusan saat kasus pada periode 2015-2016 terjadi, Mudabbir menilai bahwa memang ada beberapa kasus dengan cepat ditangani dan ada pula yang tidak sehingga muncul ke permukaan. “Ada beberapa memang tidak ditangani.Ini kan tergantung pengambil kebijakan pimpinannya toh. Kalau na anggap itu sah-sah saja, berarti dia mengambil tindakan sebagaimana mestinya. Kalau pemimpinnya menganggapi itu hal yang salah, jelas harus dieksekusi,” ujarnya.
Senada dengan Mudabbir, mantan fungsionaris BEM Kema FPsi UNM yang enggan dicantumkan identitasnya, mengungkapkan bahwa persoalan ini merupakan masalah yang serius sehingga harus disikapi secara serius pula. “Pelajaran apa yang bisa kau kasih ke generasi selanjutnya kalau ternyata memang ada komitmen yang gampang dilanggar dan tidak ditanggapi secara serius padahal itu berulang-ulang kembali kesalahannya,” jelasnya.

Ngambang, Titik Terang Tak Juga Nampak
Belum kuatnya data untuk kasus jalinan asmara yang terjadi di antara fungsionaris kelembagaan dengan maba menjadi penghambat untuk menyelesaikan masalah. Dian mengatakan bahwa hal ini yang menjadi dasar ketidakjelasan arah kasus untuk ditetapkan sebagai permasalahan atau sebaliknya karena masih dalam tahap analisis. “Sebenarnya sekarang posisinya itu masih ngambang, ada yang mengatakan ini masalah ada juga yang mengatakan kalau ini belum jadi masalah. Ketika konkretnya memang sudah ada data yang akan menjadi bahan referensi apakah memang permasalahan ini dianggap masalah, maka itulah hasilnya. Disitumi lagi ada tindakan,” tuturnya.
Lebih jauh, mahasiswi angkatan 2013 ini menerangkan bahwa saat ini kasus telah diserahkan kepada Komisi I Maperwa untuk ditindaklanjuti dan akan dikoordinasikan bersama Kemendiklat BEM Kema FPsi UNM. “Proses tindaklanjutnya itu sebenarnya sudah diarahkan ke komisi I untuk berkordinasi langsung ke diklat. Kalau masalah memberikan apa tindak lanjutnya terkait ini, itu adalah otoritas dari BEM sendiri,” tandasnya.
Namun, pernyataan tersebut justru dipersulit dengan sikap Asmar Tahirman selaku Presiden BEM Kema FPsi UNM Periode 2016-2017 yang seolah menutupi kasus dengan mengatakan bahwa setiap lembaga memiliki urusan berbeda di dapurnya masing-masing sehingga kasus seperti itu seharusnya menjadi persoalan internal saja. "Kalau saya memandang setiap lembaga itu ada dapurnya masing-masing nah itu dapurnya mereka masing-masing, silahkan pimpinan tiap lembaga pengurus didalam mengurus dapurnya masing-masing bagaimana kesepakatannya mereka," jelasnya.

Meskipun begitu, mahasiswa yang akrab disapa Asmar ini tidak memberikan pernyataan yang membenarkan bahwa kasus ini terjadi. (023)

Posting Komentar