Sumber: goole.com


Saling menyukai merupakan rahmat karena dengan begitu kita masih merasa diri kita sebagai manusia. Namun, dalam banyak tolok pikir, hal ini dapat berbuah sebaliknya ketika sang manusia tak dapat menakarnya dengan baik. Terutama takaran kapan harus menyemainya, apa lagi ketika diri peribadi terikat dengan tanggung jawab yang sudah seharusnya dikedepan-kan. Dan, jauh di luar batas lagi, ketika sang pasangan adalah kawan sekerja atau subjek yang dikenai perlakuan (baca: pasien, conselee, atau kader).

Workplace Romance
Foley dan Powell (1999) mendefenisikan Workplace romance sebagai keinginan menjalin hubungan antar dua belah pihak yang di tandai dengan ketertarikan fisik pada situasi tempat kerja. Atau lebih spesifiknya diutarakan oleh Pierce, Byne dan Aguinis (1996) yakni aktifitas tersebut ditandai dengan keinginan untuk bersama dengan orang lain yang diikuti dengan ketertarikan perasaan emosi dan fisik, yang dapat mengantarkan untuk berbagi informasi diri pribadi, perhatian satu sama lain, dan respect, juga sering sekali diikuti dengan sentuhan fisik. Workplace bukan hanya dapat didefenisikan dalam perspektif kaku yakni tempat kerja, namun dapat pula di defenisikan pada ruang yang lebih fleksibel seperti komunitas, lembaga, atau organisasi sekalipun dengan alasan setiap orang dalam kelompok tersebut memiliki tanggung jawab yang mesti diemban. 

Beberapa ahli telah mengemukakan dampak positif dari hal tersebut, namun setelah ditelaah lebih seksama dampak negatif-nya jauh lebih banyak. Salah satu tokoh yang kontra dengan workplace romance adalah Greenwald (2000) yang menyebutkan workplace romance dapat menyebabkan penurunan produktivitas diri, kecanggungan atau dendam yang muncul ketika hubungan berakhir, komplain terhadap meng-anak-emaskan pasangan, pandangan buruk orang-orang di luar dan di dalam organisasi terhadap para pengurus atau pekerja, bahkan kemungkinan terburuk adanya kekerasan.  Pierce and Aquinas (2009) menambahkan dampak negatifnya dapat pula berbentuk manajemen waktu, usaha dan kecenderungan untuk berbohong.

Workplace Romance dalam Lembaga Kemahasiswaan
Lembaga Kemahasiswaan yang notebene-nya adalah lembaga profesional yang memiliki visi dan misi beserta tujuan yang semestinya dikedepankan oleh para pengurusnya perlu untuk menimbang kadar workplace romance mereka. Hal ini bukan untuk meniadakan aspek kemanusian, namun sebagai pengurus yang telah mengucap janji untuk mengedepankan kepentingan orang banyak, perlu untuk menekan hasrat tersebut. Penekanan diberikan terutama untuk “sang-pengader dengan yang terkader .

Agar terbentuknya kader yang mumpuni, pada proses kaderisasi terjadi intervensi atau modifikasi perilaku yang dilakukan oleh sang pengader (baca: pengurus lembaga kemahasiswaan). Namun, pada kondisi ini, selalu saja ada pengurus yang memafaatkan posisi untuk menjadi “superhero” agar memikat. Efek negatifnya tak main-main, hilangnya respect pada yang mengader, profesionalitas lembaga berkurang drastis hingga perlakuan yang tidak merata. Merasa penting akan hal ini, lembaga kemahasiswaan di periode-periode sebelumnya menyatakan ketegasan.

Menyebut apa yang terjadi pada BEM Fakultas Psikologi UNM yang dinahkodai oleh Laode Irfan yang mengeluarkan larangan tegas pada pengurusnya untuk menjalin hubungan dengan Mahasiswa baru pada saat itu. Hingga Sidang Istimewa (SI) yang diadakan oleh BEM F.Psi Unm yang diketuai oleh Mudabbir juga pula untuk meredam masalah ini. Hal tersebut sebagai nada tegas penolakan terhadap workplace romance.

Nampak paradoks memang jika dilihat dari kaca mata awam, bagaimana mungkin melarang orang jatuh hati? Namun jika persepsi ini ditarik dalam skala yang lebih luas, terlihat ada amanah yang perlu dijaga. Di sisi lain, menahan diri untuk menjalin hubungan pada saat menjadi pengurus bukanlah hal yang rumit. Sehingga, Lembaga Kemahasiswaan hari ini dan besok perlulah menyatakan ketegasan apakah pro terhadap workplace romance atau pun kontra, seperti kepercayaan kita kemarin-kemarin.



Oleh: Akhmad Saputra Syarif (107104003)  

Posting Komentar