Ilustrasi Uang Kuliah Tunggal
Sumber: www.liputan6.com
Psikogenesis (30/09) – Salah satu mahasiswa baru (Maba) merasa tertipu pada saat wawancara Penentuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) calon mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) Jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dan jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang berlangsung di Auditorium Amanagappa (04-05/07) lalu.

Pasalnya, nominal UKT yang dibayar tak sesuai dengan apa yang disepakati saat wawancara. Kharunnisa A. Putri yang akrab disapa Cica menjelaskan bahwa saat wawancara berlangsung, ia diberi secarik kertas oleh pewawancara, kemudian ditanyai soal kesanggupannya membayar Rp1.500.000,00 yang kemudian disetujui oleh orangtuanya. 

Akan tetapi nominal yang harus dibayar ternyata Rp 2.750.000,00. “Ditanya kalau Rp 1.500.000,00 sanggup ndak, yah bapak jawab insya Allah sanggup. Ada secarik kertas yang kutandatangani sama bapak dan juga pewawancara yang ada nominal Rp 1.500.000,00 terus sampai diumumkan UKT dan saya mengeceknya eh yang keluar Rp 2.750.000,00,” terangnya.

Maba kelahiran 1999 ini mengungkapkan bahwa pada saat proses wawancara, ia memberikan informasi jika bapaknya adalah pensiunan dan ibunya bekerka sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Pun beban bapaknya bertambah karena ada cucu yang juga dibiayainya. “Saya beritahu ji  2,8 juta gajinya bapak, saya agak lupa tapi itu kan belum dipotong dan tanggungannya banyak, adik dan keponakan juga semua dibiyai. Kalau ibu hanya IRT,” jelasnya.

Lebih lanjut, Cica menjelaskan jika data yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Hal tersebut menyebabkan beban orangtua Cica  menjadi lebih banyak dari data yang diserahkan. Cica mengaku kecewa saat pertama mengetahui nominal UKT yang harus dibayarnya. “Pas pertama tau itu kayak merasa tertipuka, karena kan kesepakatan yang ditanya sanggup atau tidak, yang ditandatangani sekian dan kok yang dibayar hampir dua kali lipat, kenapa seperti ditipu secara halus ini,” jelasnya.

Menanggapi hal tersebut, Asniar Khumas selaku Pembantu Dekan I (PD I) bidang Akademik mengungkapkan bahwa pada dasarnya, penetapan UKT adalah wewenang Universitas. Tugas pewawancara hanya memasukkan data yang diberikan. Setiap pewawancara hanya ditugaskan untuk mengumpulkan informasi dan menyetor berdasarkan hasil yang didapatkan pada sesi wawancara. Selebihnya pewawancara tidak dilibatkan dalam proses penentuan, dan juga tidak ada pemberitahuan langsung kepada pewawancara mengenai penentuannya. “Misalnya dia bersaudara berapa, pekerjaan ayahnya apa, pekerjaan ibunya apa, berapa tanggungannya yang sekolah, berapa yang kuliah, kayak gitu. Kalau misalnya tadi sebagai peawawancara sudah memasukkan semua data  itu, itu yang akan muncul,” terangnya.

Lebih lanjut, dosen mata kuliah Kode Etik Psikologi itu menjelaskan bahwa kertas yang ditandatangani Maba hanya untuk memastikan jika data yang diberikan benar dan tidak ada manipulasi. Menurutnya, kertas yang ditandatangani itu sebenarnya lebih kepada upaya mengkonfirmasi kebenaran informasi. Asniar menambahkan jika hal tersebut mesti dilakukan karena menurutnya ada banyak kasus di Sulawesi Selatan mengenai keterangan palsu yang diberikan calon mahasiswa.

Asniar juga menambahkan bahwa saat wawancara yang dilakukan bukan hanya menerima informasi dari calon mahasiswa tapi juga melakukan pengamatan. Menurutnya, ada beberapa nominal UKT Maba yang ia turunkan setelah proses negosiasi. “Ada yang saya wawancarai kalau saya lihat penampilannya bagus sekali bajunya, brosnya, emas besar, dari luar kota pesawat PP (baca: Pulang Pergi), dan dia bilang gajinya hanya Rp 1.000.000,00  jadi yang saya tulis sesuai hasil pengamatan karena dia keren dan rapi kok,” tambahnya. (ANR)

Posting Komentar