Sumber: www.google.com
Indonesia, negara yang kaya akan keragaman budaya, keyakinan, suku dan ras. Menurut data sensus BPS tahun 2010, Indonesia memiliki lebih dari 1000 suku dan 6 agama popular yang dianut oleh masyarakatnya. Tiap suku dan agama memiliki belief system yang unik yang pada umumnya berfungsi untuk membangun keteraturan hidup masyarakatnya. Keyakinan dan kepercayaan tersebut diharapkan dapat membawa dampak positif bagi masyarakat. Namun, di satu sisi, ada bagian-bagian dari kepercayaan tersebut yang ternyata membawa dampak negatif bagi para penganutnya. Berikut akan dibahas mengenai bagian-bagian dari kepercayaan masyarakat yang pada dasarnya dapat bersifat destruktif baik bagi para penganutnya maupun bagi individu atau masyarakat lain.

Pertama, keyakinan mengenai hal mistis atau mitos dapat berkontribusi pada terbentuknya gangguan mental tertentu. Keyakinan pada dasarnya ibarat pedang bermata dua. Ia dapat membawa dampak positif dan dapat membawa dampak negatif, tergantung bagaimana cara kita “menggunakannya”. Salah satu dampak positif dari suatu keyakinan dapat dilihat dari penggunaan mitos, seperti keyakinan akan adanya hantu yang berkeliaran di kawasan pemakaman. Pada jaman dahulu, para konglomerat sering menyimpan harta karunnya di kawasan kuburan. Mitos berupa “adanya hantu yang berkeliaran di kuburan” cukup efektif untuk menjaga harta karun tersebut aman dari para penjarah tanpa harus menyewa penjaga. Di Indonesia, tidak sedikit orang tua yang sering menggunakan cara (praktis) yang sama untuk menakut-nakuti anak agar tidak bermain di luar rumah saat menjelang malam/magrib atau agar anak dapat tidur tepat waktu. Hal ini memiliki fungsi yang sama, yaitu agar anak dapat dilindungi dan diatur untuk patuh dengan mudah. Meskipun demikian, kepercayaan terkait hal mistis dan mitos juga memiliki efek negatif. Salah satu gangguan mental yang seringkali menjadi dampak negatif dari kepercayaan tersebut adalah Schizophrenia.

Schizophrenia merupakan kondisi abnormal yang ditandai dengan adanya gejala utama berupa halusinasi dan delusi. Delusi seringkali juga disebut dengan waham, yang berarti suatu bentuk keyakinan terhadap suatu hal atau konsep tanpa adanya fakta yang akurat dan realistis. Orang dengan gangguan schizophrenia di Indonesia seringkali memiliki kepercayaan terkait hal mistis seperti merasa diguna-guna, merasa dirasuki oleh roh jahat, dan keyakinan-keyakinan lain yang serupa. Hal itu tentunya tidak terlepas dari budaya setempat yang turut mendukung keyakinan tersebut. Individu-individu yang tumbuh dewasa di lingkungan yang memegang kepercayaan tersebut telah terdoktrin sejak kecil dengan dogma. Semacam keyakinan kolektif yang dapat menciptakan distorsi realita pada penganutnya dan pada taraf ekstrem dapat membuat penganut sulit membedakan realita objektif dengan fantasi. Indonesia merupakan Negara berkembang dengan kebudayaan dan kepercayaan yang beragam, kepercayaan terkait hal mistis juga masih sangat kental di berbagai wilayah Indonesia, tidak heran jika Indonesia termasuk salah satu negara dengan prevalensi gangguan schizophrenia terbesar di dunia, data WHO pada tahun 2004 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan pertama dalam daftar Negara dengan impact skizofrenia terbesar (angka 322/100.000 inhabitants menggunakan skala DALY). 

Kedua, fanatisme terkait agama dan ras. Indonesia seharusnya menjadi negara yang bangga akan “kekayaannya”, bangga akan variasi dan keanekaragamannya. Namun pada kenyataannya, seperti yang kita ketahui sekarang, masih banyak dari kita yang belum dapat melihat “kekayaan” tersebut. Justru sebaliknya, keanekaragaman dan variasi yang kita miliki sebagai bangsa justru dianggap sebagai hal yang negatif. Take a look around us, Isu SARA masih saja sering terjadi. Orang dengan keyakinan tertentu seringkali merasa paling benar dan memiliki kecenderungan untuk kemudian menganggap keyakinan lain salah. Pada taraf ekstrem, mereka dapat merendahkan pemeluk keyakinan lain. Hal ini dapat memicu konflik agama yang faktanya sudah tidak asing lagi di Indonesia, seperti konflik Ambon, Poso, dan Tolikora. Agresi yang bersifat destruktif jelas merupakan indikator mental yang tidak sehat.

Ketiga, delusi atau keyakinan yang fanatik dapat dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk kepentingan pribadi/golongan. Dalam beberapa bulan terakhir, kita bisa melihat dengan jelas beberapa kasus penipuan yang melibatkan keyakinan, kepercayaan atau agama tertentu. Kasus penipuan Dimas Kanjeng memanfaatkan kepercayaan masyarakat terkait hal mistis (dalam hal ini penggandaan uang secara magis) untuk dapat menggiring mereka agar menyetor sejumlah uang. Kasus penipuan First Travel yang memanfaatkan keyakinan umat muslim, memanfaatkan kebutuhan umat muslim yang ingin memenuhi ritual tertentu, dan akhirnya menyalahgunakan uang yang diperoleh. Selain itu, keyakinan fanatik masyarakat juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Beberapa waktu lalu, banyak politisasi agama yang dilakukan demi memenangkan sebuah pertarungan politik, memanfaatkan keyakinan untuk memenangkan suara, secara langsung maupun tidak langsung mengiming-imingi dengan imbalan surga dan menakut-nakuti dengan hukuman neraka menggunakan konsep keyakinan agama. Konsep ini sebenarnya tidak jauh beda dengan konsep anak kecil yang ditakut-takuti dengan mitos agar dapat diatur dan dikendalikan. Efek samping dari politisasi SARA merupakan timbulkan konflik polarisasi yang berujung dengan civil war. Politisasi agama dan budaya tidak hanya terjadi di Indonesia. Afganistan, Suriah, dan Myanmar dengan civil war nya adalah 3 dari sekian banyak Negara yang telah mengalami efek samping dampak buruk dari politisasi agama dan budaya. Ada baiknya kita belajar dari mereka dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Tiga poin di atas dapat memperlihatkan betapa besar dampak kepercayaan dan keyakinan terhadap kondisi mental individu maupun masyarakat secara kolektif. Apabila keyakinan tersebut dapat dimaknai dengan baik dan dikelola dengan bijak, maka ia akan membawa dampak positif. Namun, jika keyakinan tersebut gagal dimaknai dan gagal dikelola secara bijak, maka ia dapat membawa dampak yang cukup destruktif. Jika akhirnya dampak yang bersifat destruktif ternyata lebih besar daripada dampak yang bersifat konstruktif, maka ada baiknya kita mengevaluasi ulang dan merevisi cara berpikir kita serta mulai mencoba untuk berpikir lebih objektif dan realistis lagi. 

Think Again, bruh.
Salam Sehat Mental.

RP

Posting Komentar