Ardiansyah Jasman Mahasiswa Baru tahun 2006 di Fakultas Psikologi UNM
Sumber: Dok. Pribadi

Bagi anak SMA yang baru kemarin lulus dan kini menyandang status mahasiswa berbahagialah, karena kini saatnya kalian akan dididik menjadi manusia yang unggul melalui pengaderan di kampus. Itu adalah kodrat yang semua mahasiswa baru pernah lalui, termasuk kakek-nenek kita yang pernah berstatus mahasiswa. Dan kini saatnya kalian juga harus menjalani tahapan ini.

Sekadar diketahui saja (bagi yang belum tahu), setiap kampus punya sistem dan mekanisme tersendiri dalam pelaksanaan pengaderan. Dan untuk menguji efektifitasnya tidak dapat dibanding-bandingkan dari kampus A ke kampus B. Corak lingkungan yang tidak sama menjadikan pengaderan setiap kampus berbeda-beda. Ada kampus yang saat masa pengaderan memberi materi soft skill secara berkala, ada pula yang mengemas pengaderan di alam terbuka, ada juga yang dilatih ala militer di tengah lapangan, ada yang setiap ketemu senior ditempeleng di bawah tangga, ada pula yang disuruh beli sebungkus rokok dengan uang seribu rupiah, lalu wajib mengembalikan uang kembalian sebesar Rp 10.000,-, juga ada yang diminta berkenalan dengan senior dibuktikan cap tandatangan serta ada pula dengan hanya diminta mengenakan jas almamater selama masa pengaderan.

Patutlah bersyukur karena di Fakultas Psikologi UNM punya tradisi pengaderan yang menarik dan menyenangkan, jauh dari kebiadaban senior yang destruktif. Yakinlah, tujuan utama dari pengaderan dimanapun itu dan dengan cara apapun itu memilki tujuan yang mendidik. Seorang mahasiswa baru yang dahulunya kenyang tempeleng saja, punya attitude yang baik terhadap kakak angkatannya dan seharusnya mahasiwa baru yang dididik dengan metode pengaderan yang lebih humanis di Fakultas Psikologi dapat menang minimal satu anak tangga dari mahasiwa tersebut.

Namun mengejutkan, berita yang diterbitkan LPM Psikogenesis melalui akun resmi Facebooknya pada Jumat 03 November 2017 terkait Mahasiswa Baru Fakultas Psikologi UNM yang menolak mengenakan jas almamater sangat disayangkan. Enggan mengenakan Jas Almamater berarti melawan tradisi, melawan budaya, melawan leluhur dan melawan para senior yang terdahulu juga mengenakan atribut yang sama. Meski kala itu, bau dan coraknya mampu mengaburkan kecantikan dan ketamvanan, tetap saja dikenakan hingga di sudut kampus. Tak peduli kaya atau miskin, beradat atau jelata, hitam atau putih, anak pejabat atau petani semua patuh akan tradisi. Secara pribadi penulis juga tidak begitu nyaman mengenakan jas almamater seharian di kampus, tapi karena itu adalah tradisi di lingkungan yang baru kita masuki, maka sangat bijaklah untuk menghargai kebiasaan orang-orang terdahulunya, bukan malah melawan, membangkang dengan berbagai alasan. Inilah yang disebut mappatabe pada tradisi Bugis Makassar.

Kalau ada yang tidak setuju karena menganggap sebagai bentuk perpeloncoan, memang benar itu 100 % adalah perpeloncoan. Lalu apa yang salah? Barangkali kata “pelonco” bagi sebagian besar orang mengkonotasikannya sebagai hal yang negatif, tapi coba buka KBBI, disana termaknakan bahwa pelonco itu adalah pengenalan dan penghayatan situasi lingkungan baru dengan mengendapkan (mengikis) tata pikiran yang dimiliki sebelumnya; menjadikan seseorang tabah dan terlatih serta mengenal dan menghayati situasi di lingkungan baru dengan penggemblengan. Mengenakan jas almamater itu, selain mengikuti tradisi juga mengajarkan cara mengenal dan menumbuhkan rasa kebanggaan pada almamater. Bagi Mahasiswa baru Fakultas Psikologi dengan jas almamaternya di masa pengaderan dapat menampakkan kecirikhasannya dan menjadi identitas yang seyogyanya patut dibusungkan dada karena berada dalam Fakultas favorit di UNM. Jadi apa yang salah dengan mengenakan jas almamater kalau tujuannya baik?

Keluarga Mahasiswa
Penempatan istilah Keluarga Mahasiswa (Kema) pada kelembagaan Badan Eksekutif di Fakultas Psikologi UNM benar-benar punya nilai esensi yang mendalam. Transformasi ini perlu diapresiasi yang sekiranya punya goal yang mungkin lebih baik dari periode-periode sebelumnya. Tentunya berbicara tentang keluarga secara definisi diartikan sebagai kumpulan orang-orang yang memiliki ikatan emosional (Bapak, ibu, Anak, kakak, Adik) yang berada dalam satu naungan yang kita sebut kampus. Harusnya pendekatan yang dilakukan pada adik (mahasiswa baru) adalah positif parenting yang lebih menonjolkan kasih sayang daripada kekerasan baik mental apalagi fisik, sebab penempatan istilah keluarga harus pula diiringi dengan perubahan budaya pengaderan yang mungkin saja masih ada sisa-sisa pola intimidasi dan dominasi yang dimainkan pada kelompok dan oknum tertentu di sana.

Ini PR bagi kelembagaan badan eksekutif di Fakultas Psikologi UNM yang telah menasbihkan diri sebagai Keluarga Mahasiswa. Bersikaplah layaknya keluarga, adik kakak yang keluar dari satu liang persenggamahan yang sama. Hadir sebagai sosok pengayom adik (mahasiswa baru) yang menjalani proses adaptasi di lingkungan baru yang tidak mudah baginya. Tentu, bukan perkara gampang pula menghadapi sekelompok Gen-Z yang kini berstatus maba tersebut. Generasi ini punya karakteristik yang berbeda dari segi kualitas, keinginan dan kebutuhan. Bisa jadi akan terlihat cerdas dan kritis, sehingga metode menghadapinya dalam pengaderan pun harus direncanakan dengan matang dan terukur.

Nah, Bagi Mahasiswa Baru di Fakultas Psikologi, satu pesan penulis, jadilah bagian dari keluarga yang baik. Posisikan diri kalian sebagai adik yang menghormati kakak/dosen, sebaliknyapun demikian. Buang jauh-jauh kebiasaan dan sifat buruk yang telah menjangkit sewaktu SMA, tidak usah dibawa-bawa ke lingkungan kampus, sebab akan fatal jadinya nanti. Dan Jangan mamancing siri’, malu karena tidak dihargai, menginjak-injak tradisi karena itu akan lain persoalan. Doraka ko Nak!

*Penulis adalah Ardiansyah Jasman Mahasiswa Baru Tahun 2006 Di Fakultas Psikologi UNM

Posting Komentar