Matahari bersujud di ufuk barat. Debur ombak terngiang bebas tanpa halang. Menepis bibir pantai yang sudah semakin kotor entah sejak kapan. Menutupi jejak yang ditinggalkan para hewan-hewan pantai. Lalu kembali surut meninggalkan pasir tanpa ungkapan perpisahan, datang kembali, kemudian lekas pergi. Selalu saja begitu perlakuannya. Sedang Angin tanpa rasa bersalah menampar lembut wajahku yang sedari tadi mendongak berharap hujan. Menerbangkan lembaran-lembaran rambutku untuk kemudian menutupi wajah kusamku. Kutepis, namun kembali menampar. Kali ini dengan sedikit kasar. Setelah itu kubiarkan hingga ia sendiri mulai bosan. Ia beralih kepada pasir kering yang tak terjamak ombak laut. Bermain dengan nyiur pohon yang menjuntai ke bibir pantai. Pemandangan yang sangat elok, namun enggan kupandang lekat.
Malam semakin senyap. Udara dingin menguasai sudut-sudut rumahku hanya dalam hitungan detik. Menjelma menjadi rasa pilu menyesakkan dada. Menusuk. Menikam habis harapan yang masih terpupuk sejak beberapa tahun. Pemandangan itu masih saja sama, hanya saja kini mulai gelap. Bahkan terlalu gelap hingga aku tak mampu melihat perempuan macam apa lagi yang dibawa oleh Markuzi, suamiku. Perempuan siapa lagi yang mendapat giliran malam ini. Perempuan mana lagi yang mau melayani lelaki sangar berbadan besar dan bertangan kasar itu. Mereka selalu masuk tanpa meminta izinku. Masuk dengan gurauan, lalu pelukan, lalu cumbuan mesra, lalu akan berujung dengan suara daun pintu kamar yang tiba-tiba bergetar karena hentakan keras tuannya. Setelah itu akan terdengar desahan kecil di balik jendela kamar mereka, lalu hening hingga matahari mulai bangkit kembali. Jika sudah seperti itu, Aku hanya bisa tinggal diam di balik jendela mengahadap pantai sambil memeluk kedua lututku dengan perasaan yang tak bisa kugambarkan. Hatiku berdesir bak desiran ombak yang kadang menghunus tajam batu bisu di pantai. Teriris bak irisan pisau tajam ke dalam daging empuk. Kadang air mataku sangat ingin memandang alam gelap, kadang pula bersembunyi karena alam terlalu terang. Inilah kehidupanku, terlalu gelap di saat malam dan terlalu terang di saat siang.

Setelah pagi menjelang, kebiasaanku setelah mereka pergi hanya sekadar membereskan bekas mereka semalam. Mencuci kain putih yang kadang terkena percikan darah yang menandakan bahwa perempuan semalam baru saja melepas keperawanannya. Menyemprotkan pewangi pada kain yang berbau aneh. Mengurusi anakku, Merlena, yang akan berangkat sekolah dan menunggunya untuk kembali dari sekolah. Setelah itu menunggu Markuzi dengan pasangannya di balik jendela kamar sambil memandang laut dengan segala aktivitasnya. Seharusnya aku tak perlu bersedih, lalu menangis, lalu menyesal. Seharusnya aku bersyukur, karena Markuzi dahulu telah mau bertanggung jawab atas kehamilan hasil peraduanku malam itu, seperti peraduan yang dilakukan tiap malam kepada para perempuan itu.

9 April 2016
Putri Delman

Posting Komentar