Di tahun 1998, John Archer bersama empat rekannya; Jane Irelan, Su-Ling Armos, Helen Broad, dan Lisa Currid, merilis Derivation on homesickness scale yang diterbitkan oleh British Journal of Psychology. Dalam jurnal tersebut mereka mengoperasionalkan homesickness sebagai reaksi psikologis terhadap perubahan kondisi, dari lingkungan yang sebelumnya individu kenali secara akrab. Mereka mengutip salah satu penelitian Fisher yang menjelaskan perkembangan homesickness pada mahasiswa tahun pertama di masa enam minggu pertama. 

Umumnya mereka yang terkena homesickness mengalami gangguan psikis dan emosi yang lebih besar ketimbang mereka yang tidak terpapar. Chris Thurber dan Edward Walton menulis sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal American Academy of Pediatrics, mereka menjelaskan homesickness sebagai penderitaan atau kesengsaraan dan penurunan fungsional setelah berpisah dengan rumah atau objek lain. "Mereka yang menderita kondisi ini umumnya merasakan beberapa bentuk kecemasan, kesedihan dan kegelisahan. Dan yang paling jelas adalah pikiran obsesif terhadap keasyikan di rumah," ungkap Thurber, dilansir dari CNN, Rabu (15/9/2010)

Meski demikian, serupa dengan gejala psikologis yang lain. Homesickness tidak akan bertahan secara permanen, juga tidak akan hilang secara permanen. Kapanpun seseorang bisa terkena homesickness saat menerima stimulus yang memicu memori tentang rumah.  Tentu jika sudah terpapar homesick, seseorang akan memilih pulang sesegera mungkin. Tidak peduli seberapa besar biaya maupun tenaga yang harus terkuras.

Saya Pilih Pesawat
Wahab adalah mahasiswa angkatan 2014. Kampung halamannya, Sorong Papua Barat adalah destinasi yang hanya dapat dikunjungi dari Sulawesi lewat dua jalur; udara dan laut. Namun bagi Wahab, menguras isi kantong lebih banyak untuk perjalanan singkat yang ditawarkan pesawat adalah prioritas, ketimbang berurusan  dengan angin laut selama tiga hari meskipun biayanya lebih murah.  

Biasanya, untuk perjalanan dari Makassar-Sorong Wahab mesti mengeluarkan uang sebesar 1,2 juta rupiah. Selisihnya dengan perjalanan lewat jalur laut sekitar Rp.700.000, dengan harga tiket kapal Rp.500.000. Namun menurut Wahab, perjalanan dari Sorong-Makassar biasanya menelan biaya yang lebih murah.

Tentu saja ada beberapa resiko yang harus ditanggung selama berada di kampung, terutama yang berhubungan dengan urusan kuliah. Tinggal di lokasi yang kesulitan akses internet, Wahab mengaku sering terlambat melakukan pengurusan Kartu Rencana Studi (KRS). “Kan kalau kita di sorong kan kita liburan kita sudah jarang pegang hand phone jaringan tuh disini udah jarang mahal pula jadi susah,” tutupnya.

Menguras Biaya, Menguras Tenaga
Butuh waktu tempuh sekisar 6-7 jam untuk tiba di Luwu, kampung halaman Asmar Tahirman, mahasiswa psikologi angkatan 2014. Asmar mengaku lebih senang pulang menggunakan angkutan lintas daerah seperti bus dengan biaya sekisar Rp.130.000-Rp.140.000. Lebih lanjut, mantan Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) periode 2016-2017 ini menambahkan bahwa ada beberapa resiko seperti kecelakaan atau kendaraan mogok yang mungkin akan dijumpai dalam perjalanan. 

Berbeda dengan Asmar, mahasiswa lain yang akrab disapa Uni menerangkan jika ia lebih sering pulang kampung menggunakan motor. Hal tersebut lumrahnya Uni lakukan saat pulang bersama kakak. Namun saat pulang sendiri, Uni lebih memilih angkutan daerah sebagai kendaraan dengan mengeluarkan biaya sebesar Rp.70.000

Lebih jauh, mahasiswa angkatan 2016 asal kabupaten Soppeng ini menjelaskan plus-minus masing-masing opsi transportasi yang tersedia untuk pulang kampung. Saat mengendarai motor, dia lebih mudah lelah yang tentunya akan diikuti oleh risiko lain. Sementara, angkutan daerah biasanya memakan waktu yang lebih lama untuk tiba di lokasi tujuan. (BM/NFA)

*Laporan Investigasi Tabloid, Edisi XVII Januari 2018

Posting Komentar