Tulisan ini tentang mereka-mereka yang tak bisa pulang setelah pergi sekian tahun, meninggalkan rumah, keluarga, sahabat, kampung halaman hingga tanah air. Mereka yang pergi  untuk menuntut ilmu pengetahuan diberbagai negara di Eropa. Para pelajar ini dikirim oleh presiden Soekarno untuk belajar berbagai macam ilmu pengetahuan, setelah itu kembali ke tanah air untuk membangun negeri dengan pengetahuan yang dimilikinya.

Para pelajar tersebut tersebar diberbagai negara dan kota di luar negeri. Mereka ini adalah putra putri terbaik tanah air yang diutus pemerintah untuk belajar diberbagai Universitas dan Insitut diluar negeri.

Setelah peristiwa politik paling mengenaskan (gerakan 30 September tahun 1965), mereka ini terpaksa kehilangan tanah air dan kewarganegaraanya. Mereka tak bisa kembali ke tanah air, menemui orang tua, kerabat, sahabat, hingga kekasih.
Setelah kehilangan kewarganegaraan, mereka kemudian hidup sebagai orang-orang tanpa kewarganegaraan (statelees), kemudian terpaksa hidup mengembara diberbagai negara, tanpa perlindungan, hidup dalam ketidakjelasan, pindah dari berbagai negara, kota untuk mencari suaka kepada negara-negara yang bersedia menerima mereka.

Keputusan mereka untuk tidak pulang adalah sebuah sikap protes mereka terhadap kekuasaan baru. kekuasaan baru yang dibangun atas dasar kekerasan, penghilangan nyawa dengan jumlah yang tak sedikit. Kekuasaan yang membantai jutaan orang tanpa proses peradilan, menculik para orang-orang yang dianggap bagian dari partai komunis Indonesia atau anggota organisasi yang berafiliasi dengan seluruh kekuatan sayap kiri di Indonesia.

Tak hanya soal sikap politik atau ketidaksepakatan mereka atas rezim yang baru, alasan lain yang membuat mereka tak kembali ke tanah air adalah soal keluarga. Mereka khawatir kepulangan mereka ke tanah air, menjumpai keluarga dan orang-orang terdekat mereka, justru menjadi sasaran tindakan tidak manusiawi, karena dianggap bagian dari kelompok sayap kiri. 

Padahal, tak semua eksil ini adalah kader atau simpatisan dari partai komunis Indonesia (PKI). Tak sedikit diantara mereka adalah orang-orang dari kelompok Nasionalis, Agamis atau orang-orang yang sama sekali tak tertarik soal politik. 

Kisah-kisah para eksil ini pernah menjadi teman dalam beberapa karya sastra di tanah air. Novel “pulang” karya Leila S Chodori adalah salah satu novel yang mengambil tema tentang kehidupan para eksil dan anak-anak mereka. 

Yang terbaru, Sastrawan sekaligus jurnalis senior Martin Aleida kembali menuliskan kisah para eksil ini dalam sebuah buku yang ia beri judul “tanah air yang hilang”. Kumpulan hasil wawancara dengan para eksil yang tersebar diberbagai negara dan kota di Eropa.

Dalam jagat film, sutradara Angga Dwi Sasongko pernah menggarap film yang bercerita tentang kehidupan salah satu eksil di Praha. Kisah ini tayang di bioskop-bioskop dengan judul “Surat dari Praha”. 

Negara dan Upaya 
Upaya untuk memulangkan mereka atau membuka kembali pintu kepada mereka-mereka yang ingin kembali ke tanah air, pernah dilakukan presiden Abdurrahman Wahid. Melalui Instruksi Presiden nomor 1 tahun 2000 tentang permasalahan orang-orang Indonesia yang berada diluar negeri dan terhalang pulang. Sayangnya, upaya yang baik ini tak bisa terealisasi dengan baik. Hal ini disebabkan usia kepemimpinan Gusdur yang tak berlangsung lama. Setelah itu, nyaris tak ada upaya-upaya pemerintah untuk memberi peluang mereka untuk kembali ke tanah air.

Beberapa eksil ini atau Orang-orang Klayaban jika merujuk istilah Gusdur juga tak bersedia pulang karena merasa tak bisa memberikan kontribusi pada Indonesia dan merasa nyaman dengan kondisi kehidupan dan pekerjaan mereka sekarang. 

Walaupun mereka telah memiliki kewarganegaraan yang baru, mereka dalam beberapa kesempatan datang ke Indonesia. alasan kedatangan mereka beragam, mulai soal pekerjaan, kerja-kerja kemanusiaan ketika terjadi bencana atau datang menemui keluarga dan menengok kampung halaman. Keberadaan mereka di tanah air pun tak terlalu lama, karena mereka dibatasi oleh izin untuk menetap dan alasan keamanan mereka.

Kekuasaan dan penjegalan
Kisah para eksil ini merupakan fakta atau peristiwa yang nyata. Upaya kekuasaan Suharto yang menutup pintu bagi para pelajar ini adalah salah upaya kekuasaan untuk melindungi dirinya. Tentu, sebagai seorang warga negara, para eksil ini memiliki hak untuk pulang kembali ke tanah air, terlebih para eksil ini berangkat demi kepentingan negara. Namun, nyatanya pemerintah otoriter Suharto justru menunjukkan sikap yang lain. Paspor mereka dicabut secara paksa, sehingga mereka tak bisa kembali ke tanah air. 

Pertarungan memperebutkan kekuasaan dilakukan terkadang dengan cara yang sangat tidak manusiawi, melanggar hak asasi manusia serta menciderai nilai-nilai demokrasi dan pancasila. Termasuk praktek rezim otoriter Suharto. Apa yang dialami oleh para eksil adalah salah satu bukti praktek menyimpang kekuasaan Suharto.

Orang-orang yang dianggap bagian dari kelompok sayap kiri atau mereka-mereka yang berafiliasia atau hanya sekedar menerima bantuan dari organisasi yang berhaluan Marxis turut menjadi korban. Ribuan orang harus hidup dalam pembuangan selama bertahun-tahun tanpa mendapat perlakuan yang manusiawi.

Bagi sebagian orang pulang adalah soal rindu kepada rumah yang ditinggalkan cukup lama, tentang keluarga yang sudah lama tak bertemu, soal kampung halaman yang telah lama ditinggalkan. Tetapi bagi para eksil, pulang atau tidak pulang sama sekali adalah sebuah sikap politik, protes terhadap kekuasaan, atau tanggung jawab intelektual  mereka untuk menolak mengakui sebuah rezim otoriter.

Pilihan untuk tidak pulang adalah sebuah hal yang berat, tetapi nyatanya mereka memilih untuk tidak pulang.

*Opini, Tabloid Edisi XVII, Januari 2018

Posting Komentar