Perkenalkan nama ku Reynard, aku biasa disapa Rey. Aku adalah seorang mahasiswa tahun kedua sekarang. Hidupku penuh dengan lika-liku cobaan yang besar namun tak satupun dapat menggoyahkan mimpiku untuk menjadi seorang Insinyur Hukum.
Pernah ada satu cobaan terbesar dalam hidupku yang membuat mimpiku sirna, namun seiring berjalannya waktu, aku mencoba menjadikan cobaan itu sebagai batu loncatan untuk maju. Kali ini aku akan menceritakan cobaan terbesarku.
Saat itu adalah liburan musim panas yang amat sangat ditunggu oleh siswa sekolahku. Bukan karena saat musim panas, melainkan karena liburan itu panjang. Maklum sekolah kami merupakan sekolah asrama jadi kami mendapatkan waktu untuk keluar asrama hanya dua kali sebulan tanpa memegang Hp selama satu semester.
Malam sebelum kami berlibur, aku dan keempat sahabatku merencanakan liburan di kampung halaman salah satu temanku. Benar-benar rencana liburan yang sangat mengasyikkan. Ketika mentari kembali menyinari dunia, aku merasa sangat bahagia karena hal itu menunjukkan hari libur telah tiba. Segera aku dan sahabatku bersiap untuk pulang.
Rumah sahabatku tak jauh dari sekolah, sekitar tiga jam perjalanan dan sepanjang perjalanan kami menghayal dan terus menghayal akan rencana yang telah kami persiapkan semalam. Hamparan biru laut menyelimuti perjalanan kami, yah karena memang sahabatku tinggal di pesisir pantai. Ketika kami tiba di rumah sahabatku, aku buru-buru meminjam handphone milik Ibunya untuk memberitahu ibu kalau aku akan menginap di rumah sahabatku selama tiga hari. Setelah menelepon ibu aku segera bergabung dengan teman-temanku untuk mempersiapkan barang-barang untuk memancing saat malam nanti, tak lupa pula kami makan untuk menambah energy.
Hari pertama liburan ku terasa sangat menyenangkan karena aku mendapatkan pengalaman baru dengan memancing. Hari kedua pun tak kalah seru, kami membuat api unggun di bibir pantai sambil memanggang ikan segar hasil pancingan kami sendiri. Terasa sangat menyenangkan malam itu, kami bernyanyi sambil bercerita pengalaman serta mimpi kami di masa yang akan datang.
Hari terakhir aku berlibur di rumah sahabatku pun tiba. Mulai pagi aku sudah mempersiapkan rencana liburan di rumah. Sebelum aku pulang, ayah dan ibu sahabatku menyuruhku untuk makan dan membawa bekal untuk perjalanan, maklum saja jarak rumahku sangat jauh dari situ, kira-kira enam sampai tujuh jam perjalanan.
Sepanjang perjalanan aku melihat kiri dan kanan jalan yang dipenuhi dengan hamparan laut yang indah. Semakin lama perjalanan yang kutempuh hamparan laut itu menghilang dan aku pun mulai terlelap di dalam bis.
Setelah sampai di rumah, perasaanku mulai campur aduk mulai dari bahagia, rindu, sedih, dan bersemangat semuanya mejadi satu. Aku tak tahu seperti apa ekspresi wajahku saat itu. Ingin rasanya aku menceritakan kisah liburan tiga hari yang menyenangkan itu, dengan penuh semangat aku menghampiri pintu rumahku yang enam bulan lalu sampai sekarang tak berubah.
Setelah aku memberi salam dan masuk ke kamar, aku segera mencari makanan, perjalanan yang panjang membuatku merasa lapar dan semua energiku serasa lenyap. Aku berlari ke dapur menghampiri meja makan, namun tak ada satupun makanan yang tersedia. Aku berteriak memanggil ibu dan adikku tapi tak mendapat jawaban. Aku mencari ibu ke kamar, ruang keluarga juga tak ada, begitu pula dengan adikku. aku menghela napas sejenak dan kemudian menghampiri kulkas, biasanya ada saja makanan ringan yang tersimpan di dalam kulkas dan akhirnya “Binggoooooooo” ada roti tawar dan susu.
Usai kenyang, aku ke ruang keluarga untuk menonton TV, benar-benar nikmat. Satu hal yang tak akan kudapatkan saat aku berada di asrama sekolah yaitu menonton TV. Setelah beberapa jam aku mulai merasa bosan dan melihat kearah jam dinding tua dalam ruang keluarga kami yang menunjukkan pukul enam lewat delapan belas. Aku mulai bingung karena biasanya ketika ibu dan adikku belanja atau keluar kemanapun mereka selalu mengunci pintu tapi hari ini mereka tidak menguncinya. Yah mungkin saja mereka lupa.
Akhirnya kuputuskan untuk tidur sejenak sambil menunggu kedatangan mereka. Setalah beberapa saat aku kembali tersadar dan melihat ke arah jam dinding, waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat duapuluh lima. Aku segera bangkit dari sofa dan memanggil ibu dan adikku. Aku mencari mereka ke seluruh ruangan rumah namun hasilnya nihil. Aku mulai kelaparan kembali dan tak ada sisa makanan lagi di dalam kulkas.
Aku mencoba untuk menelpon ibu menggunakan telepon rumah kami. Saat nada tersambung dalam telepon berbunyi, aku mendengar suara handphone ibu berdering, jadi aku melepas telepon dengan keadaan tetep dalam panggilan sambil mencari ke arah bunyi handphone ibu. Aku menemukan handphone ibu dalam laci di kamar ibu. Aku menghela napas, bisanya ibu melupakan handphonenya saat keluar lama begini.
Aku menyerah mencari dalam keadaan lapar dan memutuskan untuk kembali tidur di sofa agar saat ibu dan adikku pulang mereka bisa langsung membangunkanku untuk makan. Aku terlelap. Beberapa saat kemudian aku merasakan sentuhan tangan lembut yang kurindukan membelai lembut pipiku, ya !! itulah tangan ibu. Segera aku bangun dan memeluk ibu. Aku menangis karena rasa rindu dan khawatir yang menyelimuti dalam hatiku.
“Rey, ibu sudah menyiapkan makanan. Ibu tahu kamu kelaparan” kata ibu sambil tersenyum, “ Maaf ya membuat mu menunggu begitu lama”.
Segera aku menuju meja makan dan melihat banyak macam makanan yang dimasak oleh ibu, disitu juga aku melihat adikku duduk sambil tersenyum ke arahku.
Aku makan dengan lahap dan tak mempedulikan apapun karena rasa lapar yang amat sangat dasyat. Seusai makan aku mulai bercerita kepada ibu dan adikku tentang liburan ku selama tiga hari yang menyenangkan, aku bahagia karena ibu dan adikku mendengarnya sambil tertawa, namun saat itu.
“Rey,,, waktu ibu dan adik mu kini telah habis.”
Aku tersentak, “Apa maksud ucapan ibu”. Aku memasang wajah bingung. Aku melihat kea rah adikku, wajahnya menunjukkan ekspresi yang lain, benar-benar ekspresi yang tak pernah kulihat sebelumnya, tapi setelah itu ia tersenyum kembali kepadaku.
“ibu ingin kamu dapat meraih cita-citamu nak. Dan hiduplah yang tentram bersama ayah mu. Jangan lupa untuk bangun pagi dan menyiapkan sarapan, jangan lupa untuk mencuci pakaian, jangan lupa untuk berbelanja dan harus hemat. Jangan lupa untuk berdoa sebelum melakukan kegiatan” ibu mengingatkan ku akan banyak hal sambil berlinang air mata.
Aku tak tahu kenapa tiba-tiba aku langsung menghambur ke pelukan ibu dan menangis tersedu-sedu, adikku pun begitu, ia memelukku dari belakang.
“Ada apa sebenarnya bu?” tanyaku tersedu-sedu.
“Waktu kami telah habis nak, kamu akan tahu semuanya di gudang belakang rumah”. Itulah kata terakhir yang ku dengar sebelum sosok ibu dan adikku lenyap di telan keheningan malam. Aku terkejut hingga tak dapat bergerak dan aku pun pingsan.
Saat aku tersadar, ayah telah berada di dekatku dan menangis di sebelahku aku mencoba untuk tetap tenang namun ingatan akan semalam membuatku tak bisa menahan air mata. Segera aku melihat mayat ibu dan adikku yang sedang didoakan dan berhambur memeluk mereka berdua. Yah, kejadian itu adalah perampokkan saat aku berlibur tiga hari dan saat ayah diberikan tugas ke luar kota. Aku benar-benar merasa tak berguna, seandainya saat itu aku langsung pulang, mungkin kejadian ini tak akan terjadi. Aku hanya mengikuti kehendak pribadiku saja dan tak bisa melindungi mutiara hidupku.
Setelah beberapa hari kepergian mereka, aku dan ayah duduk di balkon lantai dua rumah kami, dimana itu adalah tempat kesukaan keluarga kami. Karena di balkon itulah kami sekeluarga biasanya menghabiskan sore kami sambil memandang sang mentari yang hampir tenggelam. Terpaan warna Jingga menyapu wajahku, lukisan wajah mereka berdua tergambar pada langit sore yang elok. Betapa aku menyayangi mereka. Biasanya aku, ibu, ayah, dan adikku melihat pemandangan ini bersama. Namun sekarang tersisa aku dan ayah dan matahari yang hampir tenggelam yang membawa kenangan tentang ibu dan adikku.


                                                                                                                        By : Vian

Posting Komentar