Tinjauan atas Sistem Hukum dan Pandangan Agama soal Perempuan

Membicarakan soal kepemimpinan perempuan, Pratiwi Alimuddin selaku Ketua Umum Majelis Permusyawaratan (Maperwa) Keluarga Mahasiswa (Kema) Fakultas Psikologi (Fpsi) Universitas Negeri Makassar (UNM) memandang bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin. Menurutnya, ketika seseorang merasa bahwa harus menjalankan tanggungjawabnya, ia akan menjalankannya dengan baik. Belum tentu karena seorang laki-laki yang memimpin, ia tidak akan menghadapi hambatan. Begitupun dengan perempuan, umumnya perempuan dipandang lemah sementara hal tersebut sebenarnya kembali pada diri masing-masing. Rasa memiliki atas tanggungjawablah yang akan membuat seseorang kuat. 

“Kalau saya prinsipku selama ini karena kubilang selalu ah, tanggung jawabku ini nda bisa saya tinggalkan ini alhamdulillah ndadaji. Yang jadi masalah gender kalau na bilang orang lemah, alhamdulillah nda pernah ja juga sejauh ini mengeluh bilang sakit ki ini dan sebagainya. Dilihat juga dari maperwa sendiri cewek ji semua, ndadaji hambatan juga sampai sekarang. Jadi maksudku kembali ke persepsinya ji orang-orang terkait gender dan kalau saya itu tidak kupermasalahkan ki,” jelas mahasiswi yang kerap disapa Tiwi ini.

Mahasiswi angkatan 2015 ini menyoal setiap ajang pemilihan pemimpin, sangat sedikit ditemukan perempuan yang mengajukan diri. Hal ini dipengaruhi persepsi tiap orang yang menganggap punya banyak keterbatasan. Ia menambahkan, bahwa seringkali perempuan tidak mencalonkan diri karena merasa direndahkan dari awal. “Paling sering ka dengar kenapa perempuan diragukan ki dia memimpin kan perempuan itu sensian apalagi kalau lagi dapat ki bede. Itu alasan utamanya beberpa orang yang kudengar kenapa meragukan kalo perempuan yang jadi pemimpin. Jadi masalah kayak begitu, halangan apa dan sebagainya,” tuturnya.

Ia mengungkapkan bahwa semua orang punya kesempatan yang sama baik dalam gerakan maupun berpikir. Hanya saja, generalisasi soal ketidakmampuan perempuan membuat kelompok ini merasa inferior. Menurut Tiwi, pada dasarnya semua ini berangkat dari persoalan pola pikir. Pakem yang meyakini bahwa hanya laki-lakilah pemimpin paling pantas mesti dirubah. Salah satu cara yang coba dilakukannya yaitu melakukan lebih banyak diskusi kecil. “Kalau saya itu ji lebih ke personal, persuasif ka sama orang-orang dan sosialisasikan ke orang-orang bilang perempuan juga bisa ji jadi pemimpin agar ada juga lanjutkanki tanpa keraguan bilang oh iya itu kak Tiwi tawwa bisa ji,” ujarnya. Di Maperwa F.Psi sendiri, posisi ketua umum secara berturut-turut terus diduduk oleh perempuan sejak periode 2013/2014 hingga periode dirinya menjabat saat ini.

Tidak jauh berbeda dengan Tiwi. Satriani, mahasiswi yang menjadi Ketua Umun Forum Studi Islam (FSI) FPsi UNM ini mengaku, bahwa ia tak pernah berniat untuk menjabat sebagai Ketua Umum sebelumnya. "Memang Allah sudah takdirkan ya sudah amanah berat ini diterima," ungkapnya.

Mahasisiwi angkatan 2014 ini berpendapat bahwa sudah menjadi hal yang tak asing lagi jika seorang perempuan memimpin suatu wilayah atau organisasi. Menurutnya, meskipun berbeda dalam segi cara, baik perempuan maupun laki-laki bisa menjadi seorang pemimpin. Mahasiswi angkatan 2014 ini juga menambahkan bahwa Aisyah, istri Rasulullah SAW. juga pernah memimpin dalam suatu wilayah atas permintaan Rasulullah "Jadi prempuan itu boleh memimpin dalam suatu wilayah atau apa pun namanya," tambahnya.

Meninjau pandangan agama, tim reporter Psikogenesis juga mewawancarai beberapa tokoh di Makassar yang dapat dimintai penjelasan. Salah satunya adalah Roy Ruslim, pria yang menjadi ketua dari Yayasan Vihara Girinaga. Menurutnya agama budha memiliki pandangan bahwa dalam melakukan segala hal, baik laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama sebagai manusia. “Jadi kesamaan hak untuk mendapat pendidikan, hak untuk  mereka bisa belajar agama buddha, kemudian jadi rohaniawan, seperti menjadi bikkhu atau bikkhuni,” jelasnya.

Sementara menurut Gembala Sidang Gereja Kerapatan Injil Bangsa Indonesia (KIBAID) Makassar, Rahel Rimpa, injil mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang sama dan masing-masing diberikan kesempatan untuk berkuasa dan memimpin sesuai dengan kemampuan yang dimiliki serta memperoleh hak-hak yang sama. “Firman tuhan memberikan kejelasan bahwa perempuan itu diberikan juga kepercayan untuk menjadi pemimpin, berkuasa atas ciptaan tuhan yang lain bukan hanya laki-laki,” jelas perempuan lulusan STTII Yogyakarta ini.

Meski demikian, dengan dukungan penguat dari berbagai agama sekalipun, rupanya belum cukup untuk memberi perempuan kesempatan yang sepenuhnya setara  laki-laki. Fitri Lestari adalah salah satu yang mengomentari hal ini. Lewat tulisannya yang terbit di laman jurnalperempuan, Fitri mengulas  salah satu buku Simone De Beauvoir, The Second Sex. Dalam tulisannya, perempuan yang masih studi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menyadur penjelasan Simone soal ketidaksetaraan gender yang berdampak pada peminggiran salah satunya. Seringkali karena hal tersebut, perempuan hanya dianggap warga kelas dua. Peminggiran tersebutlah yang kemudian menyingkirkan perempuan dari lingkungan sosialnya ke arah privat saja. Hal ini menurut Fitri, dapat dilihat contohnya yang paling dasar lewat muatan konstitusi suatu Negara. Di Indonesia, Fitri mengambil sampel Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD yang hanya memberikan kuota 30% perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik.

Di bagian akhir tulisannya, Fitri  mengulas satu teori penutup sebagai jalan keluar dari permasalahan perempuan. Terutama dalam persoalan hukum yang membatasi hak politik kaum perempuan. “Tove Stang Dahl, yang menekankan pentingnya women-centered-policy-consideration atau pertimbangan kebijakan yang berpusat pada perempuan, menyebut dua nilai dasar ini diidentifikasin sebagai nilai-nilai dasar yang utama yaitu equality (persamaan/kesetaraan), harkat martabat, integritas, self-determination (menentukan sendiri), dan self-realization. Tove Stang Dahl juga berpendapat bahwa pertimbangan kebijakan yang berpusat pada perempuan memberikan panduan untuk pengorganisasian bahan hukum, untuk mengevaluasi dan mengadakan perubahan hukum, dan penerapan hukum, bersama-sama dengan pertimbangan kebijakan lainnya, yang semua merupakan dan diakui sebagai sumber hukum.”

Menurut Fitri, secara politis nilai-nilai dasar yang dimaksud adalah mendasari visi dan prioritas, dan dengan demikian strategi untuk memajukan kepentingan perempuan. Jadi menerapkan perspektif perempuan terhadap ketentuan hukum berarti menelaah ketentuan hukum sambil mengingat pengalaman dan kepentingan perempuan. “Tujuan penelaahan ketentuan hukum adalah untuk memahaminya secara total,” jelas perempuan yang juga akitf dalam Lingkar Studi Advokasi ini.(ASM, TEN, SZ)

*Tabloid Edisi XVIII, Februari 2018

Posting Komentar