![]() |
Theresa Malkiel Sumber: Wikipedia |
Ulasan tentang Sejarah Panjang Perjuangan Kaum Perempuan Modern.
Hari Perempuan Internasional (HPI) diperingati tiap tanggal 8 Maret, terinspirasi dari hari perempuan pertama di Amerika pada tanggal 28 Februari 1909. Dalam History of International Woman Day yang dirilis oleh PBB pada tahun 2012, dijelaskan bahwa HPI pertama berangkat dari sejarah Hari Perempuan Nasional (HPN) di Amerika. Pada saat itu HPN Amerika, diselenggarakan oleh Partai Sosialis Amerika atas saran dari ketua Komite Nasional Perempuan Partai Sosialis Amerika, Theresa Serber Malkiel.
Studi berjudul From Sweatshop Worker to Labor Leader: Theresa Malkiel, A Case Study yang ditulis Sally Miller pada tahun 1978, menjelaskan sosok Theresa Malkiel sebagai mantan anggota salah satu Kelompok Pekerja Rusia di New York dan bergabung disana pada tahun 1892. Hanya setahun disana, Theresa keluar dan bergabung dengan Partai Buruh Sosialis sekitar tahun 1893. Theresa bertahan selama enam tahun di Partai Buruh, sampai kemudian keluar dan bergabung dengan Partai Sosialis Amerika sekitar tahun 1899.
Di tahun 1905, Malkiel mengorganisir Women's Progressive Society of Yonkers, yang kemudian menjadi cabang Masyarakat Sosialis Perempuan New York. Setelah diangkat menjadi ketua Komite Nasional pada tahun 1909, barulah Theresa menggagas peringatan hari perempuan, dan di tahun yang sama menulis sebuah esai berjudul, "Where Do We Stand on the Woman Question?."
Rochelle Goldberg Ruthchild dalam From West to East: International Women’s Day, the First Decade mengurai bagaimana tindakan Partai Sosialis Amerika menginspirasi Luise Zietz yang saat itu merupakan petinggi Partai Sosialis Jerman, untuk menggagas sebuah hari khusus perempuan skala global dalam Konferensi Perempuan Internasional pada tahun 1910 di Kopenhagen, Denmark. Luise sendiri, sempat diulas dalam buku berjudul Germany: A Reference Guide from the Renaissance to the Present yang ditulis oleh Joseph A. Biesinger. Menurut Biesinger dalam bukunya, Luise merupakan anggota Partai Sosialis Demokratik Jerman. Di tahun 1908, saat pemerintah Jerman mengesahkan aturan soal partisipasi perempuan dalam politik, Luise adalah perempuan pertama yang menduduki Komite Eksekutif dalam partainya.
Temma Kaplan juga menulis On the Socialist Origins of International Women's Day yang menjelaskan bahwa gagasan Luise dalam konferensi saat itu turut didukung oleh dua rekannya dari Partai Sosialis Demokratik Jerman: Clara Zetkin dan Käte Duncker. Hal tersebut meraih dukungan dari 100 orang perempuan yang hadir mewakili 17 negara, salah satu alasannya karena momen tersebut dianggap tepat untuk menjalankan rencana kampanye kesetaraan hak yang salah satunya meliputi hak pilih wanita dalam pemilu. Meskipun dalam pertemuan tersebut, belum disepakati persoalan waktu peringatannya.
HPI baru terselenggara di tahun berikutnya, pada tanggal 8 maret 1911. HPI pertama dirayakan di empat negara: Austria, Denmark, Swiss, dan Jerman. Peringatan tersebut dihadiri sekitar satu juta orang, termasuk peserta 300 demonstrasi yang berlansung dalam Negara kekaisaran Austro-Hungaria. Meskipun menurut Temma Kaplan, juga Liliane Kandel / Françoise Picq dalam Le Mythe des origines à propos de la journée internationale des femmes, dan Angela Howard Zophy dalam Handbook of American Women's History, tanggal 8 Maret kemungkinan dipilih sekaligus dipilih untuk memperingati sebuah peristiwa demonstrasi akbar yang dilakukan oleh kelompok buruh garmen perempuan pada tahun 1857 di Kota New York. Versi lain mengatakan jika peringatan ini bertujuan untuk memperingati kebakaran pabrik Triangle Shirtwaist di New York pada 25 Maret 1911 yang mengakibatkan kematian 140 orang perempuan. Kebakaran ini merupakan bencana industri paling mematikan dalam sejarah kota New York, sekaligus menduduki peringkat korban jiwa akibat kecelakaan industri tertinggi keempat dalam sejarah AS.
PBB sendiri, baru mulai mengakui Women‘s Internasional Day (WID) sejak didirikannya Komisi Perempuan PBB tahun 1946 dan Division The Advance Status of Women (DAW) yang bertugas memantau perkembangan kemajuan perempuan di negara anggota PBB. Di Barat, Hari Perempuan Internasional dirayakan sekitar tahun 1910-an dan 1920-an, tetapi sempat terhenti. Perayaan ini muncul kembali seiring kebangkitan feminisme di tahun 1960-an.
Gerakan Perempuan di Indonesia
Di Indonesia, sejarah perjuangan perempuan tidak banyak diulas dalam buku ajar entah sekolah atau kampus. Hanya beberapa referensi tentang Kartini dan ulasan tentang tokoh-tokoh perempuan yang melakukan perlawanan di masa pendudukan awal pemerintahan kolonial.
Salah satu sejarah altenatif yang dapat mengisi kekosongan referensi soal gerakan perempuan Indonesia melawan pemerintah kolonial, diulas sebuah esai berjudul ‘Adakah Perempuan Revolusioner dalam Sejarah Gerakan Kiri’ yang ditulis oleh Ruth Indiah Rahayu. Peneliti dari Institut Kajian Krisis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena), sekaligus pengurus Partai Nasional Rakyat Pekerja (PRP).
Dalam esai yang ditulis sebagai pengantar buku Sejarah Gerakan Kiri untuk Pemula itu, Ruth merincikan beberapa peristiwa penting dan tokoh yang berperan dalam sejumlah peristiwa sejarah. Salah satu peristiwa penting yang ditandai oleh Ruth adalah Konferensi Perempuan Indonesia pertama. Konferensi yang terselenggara di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928 itu, konon juga berhubungan erat dengan peringatan hari ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember. Meskipun menurut Susan Blackburn, penulis dari buku ‘Jakarta: Sejarah 400 Tahun’, Konferensi Perempuan Indonesia 1928 yang tercatat dihadiri sekitar 1000 orang rupanya masih didominasi peserta laki-laki. Susan bahkan merinci sejumlah tokoh beberapa partai besar seperti Mr. Singgih dan Dr. Soepomo dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Dr. Soekiman (PSI), A.D. Haani (Walfadjri) yang semuanya merupakan laki-laki. Hal ini dijelaskan dalam buku Susan yang lain, “Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang.”
Selain Konferensi Perempuan, yang menjadi perhatian Ruth Indira adalah dua perempuan tokoh kunci gerakan bawah tanah melawan fasisme Jepang: S.K. Trimurti yang populer dikenal sebagai salah satu wartawan perempuan di masa pendudukan Jepang, dan Umi Sardjono yang tidak dijelaskan sama sekali dalam sejarah nasional. Trimurti adalah kader Partai Buruh Indonesia dan pernah menjabat sebagai Menteri Perburuhan di tahun 1947. Sementara Umi Sardjono, adalah kader Partai Komunis Indonesia yang aktif kembali di tahun 1948 setelah sejumlah pimpinannya dibuang ke Digul paska pemberontakan Madiun 1926.
Kedua perempuan tersebut pernah ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintahan kolonial Jepang. Meskipun berasal dari partai yang berbeda, baik Umi maupun Trimurti merupakan anggota dari organisasi Barisan Buruh Wanita yang merupakan bagian dari Barisan Buruh Indonesia yang berdiri 15 september 1945. Trimurti menjabat sebagai ketua, dan Umi adalah wakilnya.
Titik puncak perjuangan mereka, adalah peringatan 8 Maret sebagai HPI yang pertama kali diperingati di Indonesia pada tahun 1948. Atas inisiatif sejumlah organisasi seperti Laskar Merah Wanita di ruangan markas besar Laskar Rakyat Surakarta dan didukung oleh PPI,GRI, Barisan Buruh Wanita (BBW), Laskar Rakjat, PKI, Partai Sosialis, dan Pesindo. Namun tokoh sentral dalam gerakan tersebut, sebenarnya adalah Umi Sardjono.
Di tahun 1952, Umi dan Trimuti bekerjasama sekali lagi membangun sebuah organisasi perempuan yang diberi nama Gerwis. Di kongresnya yang kedua, Gerwis berubah menjadi Gerwani. Setelah perubahan nama, Trimurti keluar dan sempat dikucilkan oleh Soeharto karena menandatangai petisi 50 yang terbit di tanggal 5 mei 1998. Dan Umi ditahan dalam Penjara Perempuan Plantungan setelah tragedi 1965, kemudian dibebaskan pada tahun 1979. Terlepas dari perbedaan nasib, keduanya tetap berkawan hingga maut. Trimurti wafat tanggal 20 mei 2008, disusul oleh Umi pada 11 Maret 2011. (AMY/NFA)
*Tabloid Edisi XVIII, Februari 2018
Posting Komentar
Posting Komentar