Sumber: doktersehat.com

Rona merah mulai memancar dari balik gunung jauh di timur sana. Sedang barat masih dilingkupi gelap dan rembulan yang setengah itu menggantung di sana. Suara kokok Ayam Bangkok kesayangan Bapak bersahut-sahutan menyambut pagi bersama udara dingin yang diliputi embun yang masih singgah di dahan saat burung-burung turut berkicau mengadakan ritual upacara menyambut pagi. Di dalam rumah, keluarga saya punya ritual tersendiri untuk menyambut pagi, menyeruput teh panas.

Mungkin engkau dan dia atau mereka barangkali lebih memilih kopi untuk mengisi lambung-lambungnya. Kopi untuk menyambut malam, menyambut hangat tangan kerabat, menggenapi malam yang hening, atau dalam ritual menyambut pagi seperti yang dilakukan oleh alam. Bukan hanya kau, nenek dan om-om di kampung barangkali juga melakukan hal yang sama. Saat sebelum matahari menyiangi kebun-kebun nenek pun sebelum mereka turun ke sawah atau kalau engkau lebih suka untuk memilih turun ke jalan-jalan yang sebentar lagi dipadati oleh kendaraan berasap yang merayap dan mulai berpeluh juga berkeluh. 

Setelah kedua kaki menginjak lantai, selanjutnya kaki ini akan diarahkan untuk ke dapur. Mulai melakukan ritual menyambut pagi. Pertama, engkau perlu, seperti yang saya lakukan meletakkan panci di atas kompor, dan menuangkan beberapa timba air ke dalamnya, untuk kemudian menyalakan kompor gas yang usianya lebih tua darimu dan kadang-kadang perlu bantuan lilin untuk membujuk apinya ke luar. Beberapa menit lagi baru air itu akan mendidih, bergantung pada seberapa banyak air yang akan engkau tuangkan, atau seberapa lebar wadahmu atau seberapa besar nyala apimu. Sembari itu, terserah engkau saja, akankah engkau menunggunya di sana hingga mendidih dengan berdiri mematung dan mengkhayal atau mengerjakan hal lainnya. Kalau saya sendiri biasanya lebih memilih untuk mempersiapkan hal lain, seperti buku jika akan berangkat ke kampus atau membangunkan keluarga, atau bermain laptop yang seringnya membuat saya luput untuk mematikan kompor dan dimarahi oleh Mamak. 

Langkah selanjutnya ketika air telah mendidih, saya akan mengambil cerek berwarna hijau tua yang usianya sudah bertahun-tahun yang menggantung di tempat piring bersih. atau terkadang saya akan mencucinya terlebih dulu jika sisa teh kemarin pagi masih ada di sana atau ia terletak di tempat cucian piring dengan setumpuk gelas di dalamnya. Kemudian, saya akan menuangkan air yang telah saya didihkan ke dalam cerek dan membawanya ke ruang tamu untuk mencelupkan dua kantung teh di dalamnya sebelum kembali meninggalkannya. Ya, ruang tamu. Di rumah saya, ruang tamu menjadi tempat yang multifungsi. Selain untuk menyambut tamu, tempat ini menjadi tempat favorit makan bersama. 

Ketika engkau kembali beberapa saat kemudian, engkau akan menemukan air yang telah engkau didihkan tadi kini berwarna agak kemerahan gelap di dalam cerek hijau. Itu berarti langkah selanjutnya, memaniskannya. Saya akan mengambil satu dari sendok sayur besar yang berwarna merah muda dan kuning. Kemudian, akan saya sendokkan ke dalam gula pasir yang masih terbungkus oleh plastiknya dan saya tuangkan ke dalam cerek satu tambah setengah dan kemudian sedikit gula lagi. Suatu waktu, gula ini dikerumuni semut merah kecil yang halus dan berbau tajam, maka saya akan menuangkan sedikit air dari cerek ke dalam wadah lain seperti gelas besar kemudian menggulainya di sana untuk kemudian di diaduk dan disaring dari sana. Saya pun akan mengaduknya sebelum teh sebagai ritual menyambut pagi dimulai. 

Entah sejak kapan, ritual ini dimulai. Terlebih lagi entah sejak kapan saya yang menjadi pemandu ritual menyambut pagi ini. Baiklah, di saat engkau dengan ritual menyambut pagimu di belahan bumi lainnya, saya di sini menyeduhkan teh hangat nan manis kepada keuarga saya. Terkhususnya kepada Bapak. Bukan kopi, melainkan teh manis. Sebentar lagi engkau akan menyaksikan Bapak yang akan berkomentar jika tehmu rasanya kurang manis, walaupun menurutmu rasanya sudah manis. Selera Bapak memang lebih manis dari siapa pun di rumah ini. Sebentar pula, barangkali akan engkau lihat atau barangkali engkau yang akan dimintai oleh Bapak untuk menuangkan teh itu untuknya ke dalam botol yang kemudian akan dibawanya berkelana mengelilingi kota. Inilah kisah Bapak saya dan bukan kopi yang mengajarkan saya tentang ritual menyambut pagi yang boleh jadi akan tetap saya lakukan hingga jauh waktu ke depan, bahkan ketika kita tidak lagi berada di ruang yang sama, bahkan untuk sekadar menyambut pagi, barangkali. Semoga kita berbahagia.     

*Ditulis oleh LFRB

Posting Komentar