Ilustrasi jam karet
Sumber: www.dream.co.id
“Engkau dapat menunda, tetapi waktu tidak akan menunda.” - Benjamin Franklin

Benjamin Franklin adalah salah seorang pemimpin revolusi Amerika, dan salah satu penandatangan deklarasi kemerdekaan Amerika. Kalimat yang disampaikan diatas, seakan menyampaikan kepada kita, betapa waktu sangat berharga. Waktu tidak bisa terulang kembali dan waktu tidak akan menunggu siapa pun. Seseorang tidak akan bisa menghentikan waktu atau pun membuatnya kembali.

Namun sadar kah kita, kalau banyak dari kita yang masih suka tidak menghargai waktu. Waktu seakan disepelekan dan seakan diatur oleh orang-orang yang tidak menghargainya. Budaya yang tidak menghargai waktu, dikenal dengan istilah keterlambatan.

Dalam Psikologi Industri dan Organisasi keterlambatan selalu dikaitkan dengan ketidakpuasan terhadap lingkungan kerja. Koslowky, sebagaimana dikutip dalam Paul E. Spector, Industrial and Organizational Psychology: Research and Proactive, berpendapat bahwa meskipun sikap, seperti ketidakpuasan kerja, telah dikaitkan dengan keterlambatan, penyebab penting dari suatu keterlambatan adalah jarak jauh dan mudah serta konflik kerja-keluarga. Orang-orang yang memiliki perjalanan panjang dapat terjebak dalam kemacetan. Individu dengan anak-anak, misalnya, mungkin terlambat karena seorang anak sakit dan harus dibawa ke dokter. Sedangkan orang-orang yang mengalami perjalanan dekat atau mudah, selalu menyepelekan perjalanan karena dianggap waktu yang cepat dan menunggu orang lain untuk datang terlebih dahulu.

Faktor penting lainnya adalah budaya nasional. Budaya orang Indonesia yang sejak dahulu kala mengenal jam karet. Waktu itu bersifat elastis, dapat dikondisikan, sehingga waktu bisa diatur dan dipanggil kembali.

Foust, Elicker, dan Levy sebagaimana dikutip dalam karya Paul E Spector, Industrial and Organizational Psychology: Research and Practice berpendapat bahwa sikap keterlambatan itu sendiri lebih penting daripada sikap pekerjaan lain yang lebih umum seperti komitmen kerja. Mereka mengembangkan skala sikap keterlambatan yang menanyakan tentang perilaku individu sendiri (merasa bersalah karena terlambat) dan perilaku rekan kerja (dikecewakan saat rekan kerja terlambat). Mereka mengelola skala baru mereka sebagai bagian dari survei karyawan. Itu adalah prediktor keterlambatan yang lebih baik daripada kepuasan kerja atau komitmen organisasi.
***********
Sedikit melihat permasalahan kampus saat ini, dosen dan mahasiswa masih menganut budaya jam karet. Seperti saja dosen yang ada di universitas negeri yang dikenal dengan nama UNM, masih suka datang terlambat dan kadangkala tidak meninggalkan kabar. Dan kalaupun meninggalkan kabar, seakan kabar tersebut terlambat dan terdengar basi. Apakah orang tersebut tidak pernah bernalar bahwa ketika datang terlambat ada banyak orang dirugikan? Bukan kah setiap apa yang dilakukan yang berkaitan kepentingan orang lain, pasti ada yang dirugikan dengan apa yang dilakukan? Dosen terlambat atau tidak masuk maka mahasiswa akan dirugikan, karena dia tidak mendapatkan ilmu yang seharusnya didapatkan hari itu. Kelucuan yang terjadi ketika salah satu mahasiswa mengingatkan dosen yang terlambat masuk ialah, dia mengatakan “kenapa tidak mengingatkan saya dari kemarin?”. Bukan merasah bersalah tapi malah menyalahkan orang lain. Pemimpin adalah contoh dan tauladan dari apa yang dipimpin, manajer adalah tauladan dari bawahannya, dan guru adalah tauladan bagi siswanya, begitupun di bangku perkuliahan. Orang yang mengingatkan dipersalahkan karena terlambat mengingatkan. Alangkah lucunya kampus ini!!

Lain dosen, lain pula mahasisiwa. Mahasiswa yang terikat dengan kelembagaan atau organisasi kampus, dalam melakukan kegiatan seakan waktu tidak dihargai. Mereka masih terbelenggu dengan istilah jam karet. Kegiatan atau rapat yang dilakukaan diundur-undur bagaikan karet yang bisa ditarik bila diperlukan.

Sampai kapan kita masih terbelenggu dan tetap mengabadikan jam karet. Apakah kita tidak pernah bercermin dengan negara lain, seperti Jepang yang sangat menghargai waktu. Apakah kita masih tetap mengabadikan sikap ketidakkonsistenan terhadap waktu?.

Opini ditulis oleh Awan Ilmiah

Posting Komentar