Ilman saat menuju salah satu kantor Desa bersama peserta Youth Live-in IDEAL di Kabupaten Bandung Barat, Selasa (27/11)
Sumber: Dok. Pribadi Bambang Pratama J.
Pagi itu Ilman pulang pukul 09.00, normalnya dia baru ada di rumah pukul 12.00. Dia pulang dengan baju yang kotor, darah mengucur dari pipinya, dia menangis. Ia terancam tidak naik ke kelas dua SD dan enggan kembali ke sekolah karena perlakuan yang dia dapatkan disana.
Sampai di rumah, orangtua dan kakaknya mendapati Ilman dengan baju basah, air matanya menempel di seluruh baju. “Pipinya berdarah, dicoret pake pulpen oleh gurunya” cerita ibunya. Sang ibu bersama suami  berusaha meredakan tangis anaknya. Ilman ditanya, ada apa? “Dicoret ibu tana ibu cana peri”, jawab Ilman. Ia menyebut pipinya dicoret sebanyak tiga kali.
Kakaknya tidak terima sang adik diperlakukan seperti itu, dia bergegas ke sekolah Ilman mempertanyakan sikap gurunya. Dia menyayangkan sikap guru Ilman, seandainya keadaan adiknya diceritakan sejak awal, keluarga akan terima. Pipi adiknya tidak perlu kena coret.
Sore itu keluarga Ilman harus menerima satu keputusan pahit, pihak sekolah memutuskannya tidak naik kelas, kecuali pindah sekolah. Ilman tidak mampu baca dan berhitung seperti teman-temannya yang lain. Dia disarankan masuk ke Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB).
Ilman dilahirkan dengan proses yang cukup sulit. Ibunya mengandung hanya delapan bulan, Ilman lahir dengan bantuan alat sedot dokter karena kepalanya menempel di dinding rahim. Ketika dokter berhasil mengeluarkan Ilman dari rahim, sedotan mengenai hidungnya, menyebabkan pendarahan hebat.
Ketika lahir, kepala Ilman lebih besar untuk ukuran anak seusianya, bola matanya menyentuh pipi, bagian kepalanya dipenuhi cairan. “Disini semua empuk kan biasanya bayi yang empuk di ubun-ubun doang ini mah semua,” ungkap Marlina, ibu Ilman.
Kondisi ini baru diketahui oleh Marlina dua hari setelah Ilman lahir. Saat itu Ilman menangis, dokter memanggil Marlina dan suaminya. Mereka berdua berjalan menuju ruang NICU  (Neonatal Intensive Care Unit).
Marlina menangis melihat kondisi anaknya yang kritis kala itu. Dia menanyai suaminya kenapa terlambat menceritakan kondisi anak mereka. Arbi, suaminya, konon hanya menjawab dengan nada pelan “Nggak papa, ini anak kita, anak kita harus disayang, bagaimanapun ia anak kita”.
Arbi dan Marlina bisa merasakan bola lampu yang panas dan berjarak dua jengkal dari kepala anak mereka. Dokter menyarankan agar cairan di kepala Ilman disedot. Arbi dan Marlina memilih pulang kerumah.
Konsekuensi dari keputusan itu, Ilman bukan lagi tanggungan pihak Rumah Sakit jika terjadi sesuatu. Arbi menerimanya “Iya saya tanggung jawab, ini anak saya. Nggak papa pulang saja” Marlina mengulang kalimat Arbi saat menegaskan pada dokter.
Untuk membuktikan bahwa mereka siap menerima konsekuensi dari keputusan itu, Arbi dan Marlina diminta menandatangani sejumlah surat perjanjian.
Arbi percaya dengan pengobatan tradisional, salah satu obat yang dicobanya adalah daun kerembi. Daun kerembi digunakan sebagai kompres di kepala dan bagian pipi. Arbi juga rutin menjilat pipi Ilman kecil sebelum mengambil air wudu  untuk salat subuh. “Kalau bangun tidur bapak, dijilatin ini (kepala, dan pipi) baru ngambil air wudu. Biar lekas sembuh katanya.” Cerita Marlina
Ilman adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Ketiga saudaranya lahir dan tumbuh secara normal. Keterbatasan Ilman membuatnya dapat perlakuan khusus diantara saudaranya. Setiap hari sebelum berangkat kerja, Arbi selalu menitipkan pesan kepada ibu dan anak-anaknya yang lain agar menjaga Ilman. “Kalau gendongnya hati-hati, kalau ngasih makan hati-hati” Marlina menirukan Arbi.
Kerja keras keluarga Ilman merawat, meminta petunjuk dari dokter dan orang-orang membuahkan hasil. Kondisi kepala Ilman membaik. Biasanya saat digendong, terasa air menggelinding di kepala Ilman, hal itu tidak terjadi lagi.
Saat balita, Ilman mengalami keterlambatan berbicara dan berjalan. Ia didiagnosa gangguan tuna grahita ringan. “Kalau ada yang dinginkan harus dipenuhi, kalau tidak dia akan diam. Misalnya kemarin dia minta untuk ikut pengajian, walaupun sudah dilarang tetap mau berangkat”, terang Marlina.
Beberapa kali Ilman mendapat perlakuan buruk dari teman-teman serta masyarakat sekitar, seperti pengucilan, diledek, hingga tidak dilibatkan dalam aktivitas sosial. Saudara Ilman tidak ada yang tinggal diam, terkadang kakak-kakaknya mendatangi rumah teman-teman Ilman, berbicara dengan orangtua mereka.
“Ibu kalau tidak bisa mengajarkan anaknya, biar saya saja yang ajar” tegas kakak Ilman. Saudara-saudara Ilman terus melakukan hal tersebut, hingga tidak ada lagi laporan yang masuk ke telinga mereka kalau adiknya dikucilkan.
Kesabaran saudaranya mengedukasi orang-orang di sekitar mereka membawa sejumlah perubahan. Ilman akhirnya mulai dilibatkan dalam kelompok musik marawis di kampung. Keberadaannya diperhitungkan sebagai pemegang bass. “Kalau tidak ada Ilman mah, musiknya nggak baik, kurang serempak” pengakuan Minah tetangga Ilman.
Seelah dipindahkan ke SLB, Ilman terus mengembangkan beberapa kemampuannya. Dia bisa membuat telur asin, bercocok tanam dengan hidroponik, mewakili Kabupaten Bandung Barat di cabang olahraga tenis meja pada kegiatan Paralimik. Meski pulang tidak membawa juara, kepala sekolahnya mengaku bangga.
Mewakili Kabupaten dan utusan sekolah sudah menjadi kehormatan tersendiri bagi sekolahnya. Kepala sekolah mengakui potensi Ilman. Sayangnya, sekolah belum mampu memberikan fasilitas pelatihan untuk mengasah kemampuan muridnya. “Ada papannya di atas, cuman yah, begitulah, sekolah tidak bisa menyewa pelatih karena terbatas anggaran”.
    Kepala sekolah menambahkan, Ilman juga pernah jadi pemimpin upacara Jambore Pramuka SLB di Lombok Nusa Tenggara Barat, 14 Agustus 2017. Kegiatan nasional itu melibatkan berbagai daerah, Ilman salah satu siswa SLB di Jawa Barat yang dipilih sekolah dan daerahnya. “Jadi prosesnya seleksi di sekolah sebelum seleksi di Provinsi, alhamdulillah ia pun juga terpilih sebagai pemimpin upacara” terangnya
    Semua pencapaian Ilman, tidak sempat disaksikan oleh Arbi, sang ayah. Tahun 2008 ia pamit berangkat kerja kepada istri dan anaknya. Seperti hari yang lain, ia berpesan agar Ilman dijaga.
Arbi meninggalkan rumah dan izin pada Marlina akan lembur. Besoknya, pukul delapan pagi, Marlina menerima kabar kalau suaminya gugur. Jenazahnya diantar hingga rumah, dan harus melewati gang-gang.
Semua tetangga rumahnya berbaris menanti jenazah, pabrik keju tempat kerjanya diliburkan agar kawan-kawannya sesama pekerja bisa mengikuti proses pemakaman. “Dia sangat disayang sama atasannya, masyarakat berbodong-bondong kerumah.  Dia tak pernah ada riwayat penyakit, dia titipin jaga Ilman.” Kenang Marlina.
    Sekarang, Ilman jadi salah satu tulang punggung keluarga, membantu ibunya berjualan tabung gas dan galon. Ia senang berbagi kepada siapapun. Di sekolah dia diberi tanggung jawab untuk membantu temannya. Riska, dan anak-anak disabilitas lainnya, yang harus digendong untuk sampai ke lantai dasar sekolah mereka.
Makassar, 8 Desember 2018
*Tulisan ini menggunakan nama samaran untuk menjaga identitas setiap pihak di dalamnya
*Dibuat setelah mengikuti kegiatan Youth Live-in Ideal di Bandung, yang diselenggarakan oleh Save The Children/ Yayasan Sayangi Tunas Cilik. Setiap informasi yang ditulis dikumpulkan selama kegiatan berlangsung.

Ditulis oleh: Bambang Pratama J

Posting Komentar