Ilustrasi tentang kesedihan seorang anak dari keluarga broken home
Sumber: hepwee.com

Pernahkah kalian merasakan tinggal bersama single parent? Yang ternyata membenci kalian? 

Orang tuaku cerai sejak umurku 11 tahun. Saat itu aku duduk di bangku kelas 5 SD. Entah sebuah keberuntungan atau kesialan, aku mengerti semua kejadian yang terjadi. Ibuku yang tak hentinya menangis setiap malam di sebelahku, memelukku yang pura-pura tidur. Mereka yang saling meneriaki satu sama lain, dan diakhiri dengan suara tamparan yang diikuti tangisan pilu ibuku. Aku menyaksikan semuanya. Tidak hanya aku, adikku yang ku pikir telah lelap di kasur sebelah ternyata duduk dengan selimut yang menutupi kakinya menatap ke arahku, ekspresinya bingung. Mungkin dia terbangun karena mereka terlalu berisik.

Entah berapa minggu setelahnya, ibuku menyerah. Mereka menyerah. Kami berpisah. Ibuku pergi membawa adikku, meninggalkanku yang berdiri di ambang pintu dengan harapan bisa ikut mereka. Aku menangis, hingga berminggu-minggu. Tentu saja tanpa sepengetahuan ayahku. Aku tidak ingin ia sedih dan merasa tidak ada yang ingin hidup dengannya yang berwatak keras, meski benar kenyataannya.

Selama dua tahun aku adalah prioritasnya. Aku berusaha mengikhlaskan segala yang terjadi. Sekolah dengan baik, mendapatkan teman, hidup seperti anak normal. Hingga ayahku mulai merasakan gejolak cinta pada juniornya di kantor. Entah mengapa semua berjalan begitu cepat. Aku merasa sedang menonton tv yang menampilkan kisah seorang bujang yang mendapatkan cintanya, hingga mereka menikah dan memiliki anak laki-laki yang lucu. Sulit ku percaya bahwa kini keluarga kami terlihat lengkap di luar, meski di dalam aku seperti orang asing. Tak pernah terlintas di benakku bahwa mimpi buruk memiliki ibu tiri terjadi dalam hidupku.

Pada awalnya wanita itu memang selalu berusaha mendapatkan hati dan simpatiku. Oh sungguh aku hanya mencintai ibuku. Hingga akhirnya wanita itu lelah dengan sikapku, ia mulai menampilkan watak aslinya. Sebuah image seorang ibu tiri yang dipercayai setiap anak. Aku tidak begitu peduli dengan perilaku jahat wanita itu karena aku tidak peduli dengan keluarga ini. Aku hanya berusaha hidup dengan janjiku yang tidak akan membuat ayahku sedih. 

Tapi perilaku jahat ibu tiriku setahun terakhir benar-benar membuatku menderita. Yang membuatku heran, ayahku yang tiap hari dibuat marah olehnya tetap saja luluh dengan perilaku manjanya yang menjijikan. Untung saja anaknya tidak begitu menjengkelkan, dia selalu menganggapku sebagai kakak yang akan melindunginya apapun yang terjadi. Hah, kau hanya seorang bocah kecil yang tidak bersalah, oh bukan tidak, belum. Belum melakukan kesalahan, entah nanti.

Ibu tiriku mulai bertingkah, mengambil hati ayahku seratus persen. Mengambil yang menjadi hak ku, harta terakhir yang ku punya. Memendam perasaan marah, sedih, kecewa, seorang diri sedikit tidak mudah ternyata. Membuatku kecanduan, game. Bukan narkoba. Bermain game membuatku bisa melampiaskan semuanya pada musuh, melupakan musuh dalam kehidupan nyataku yang ada di rumah. Bermain game membuatku menemukannya. Wanita yang membuatku nyaman setelah ibuku.

Wanita itu tidak kecanduan, hanya jika stres belajar dia akan mencari hiburan, seperti saat ini. Kami sedang bermain bersama di (warung internet) melawan musuh bersama. Seandainya dia bisa membantuku melawan musuhku di dunia nyata. Ketika pulang, musuhku di dunia nyata menyerang, hingga aku terbunuh. Mungkin mati kehilangan nyawa lebih baik.

Sayang sekali nyawaku masih utuh, meski hatiku mati 100%. Aku berjalan keluar di tengah malam, hanya berjalan, tanpah tujuan. Selama perjalanan, kalimat ayahku terngiang tanpa henti.

“Kau anak tidak berguna, ku pikir mengambilmu membuat keuntungan karena otak cerdasmu. Ternyata otak itu hanya kau pakai bermain-main diluar sana, bikin malu. Kau membuatku malu. Sama seperti ibumu”

Sempat terlintas di kepalaku bahwa aku memang manusia yang sangat tidak berguna. Aku ingin mati, tapi ku yakini bahwa Tuhan juga malu memilki makhluk sepertiku, bahkan mungkin Dia menyesal telah menciptakanku. Sepertinya ayahku tidak akan sedih jika aku mati, justru itu akan membuatnya bahagia bukan?

“Ku harap kau tidak pernah ada di dunia ini” Itu kalimat terakhirnya sebelum masuk ke dalam kamar dengan tangan yang dirangkul erat oleh iblis di sebelahnya, ibu tiriku. 

Ku harap ada mobil yang segera menabrakku. Bukan seorang wanita yang kini mendapatiku telah menangis di depan rumahnya. Kenapa aku berjalan kesini? Kenapa kakiku membawaku kesini? Apa karena hatiku menyalakan GPSnya dan menuntun tubuh ini mencari penopangnya? Apa wanita ini adalah surgaku?

*Ditulis oleh Andina Nidya Savira

Posting Komentar