Kemiskinan dapat diartikan sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Suryawati (2005) mengemukakan bahwa kemiskinan merupakan sebuah fenomena multidimensional. Bukan hanya faktor ekonomi saja, kemiskinan berkaitan juga dengan berbagai dimensi seperti dimensi politik, sosial, budaya, lingkungan, kesehatan, agama dan pendidikan. Tingkat kemiskinan di suatu negara juga menunjukkan tingkat kemajuan di negara tersebut.

Chamber dalam Nasikun (2001) mengemukakan bahwa kemiskinan sebagai integrated concept mempunyai lima dimensi, yaitu kemiskinan (proper), ketidakberdayaan (powerless), kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency),  ketergantungan (dependence), dan keterasingan (isolation) baik secara sosiologis, maupun geografis. 

Di Indonesia sendiri tingkat kemiskinan mengalami perubahan sedikit fluktuatif dari zaman orde baru hingga pasca reformasi. Seperti yang dikutip kompas dalam Suryawati (2005), penduduk miskin tahun 1970  mencapai 70 juta jiwa (60.0 %) kemudian menurun hingga tahun 1996 sebanyak 22,5 juta jiwa (11,3%).  Lalu melonjak (hingga 400%) di tahun  1998 sebanyak 80 juta jiwa. Hingga pasca reformasi tepatnya di tahun 2004, tingkat kemiskinan mulai menurun kembali.  
Masih dari kompas (Syawie, 2011), dalam publikasi terbitan Februari 2011, perekonomian Indonesia tumbuh dari 6.1 persen. Nilai produk domestic domestik bruto naik dari Rp. 5.603,9 triliun pada 2009 menjadi Rp. 6.422,9 triliun di tahun setelahnya. Di Sulawesi Selatan sendiri, angka kemiskinan di beberapa kabupaten/kota bahkan mencapai batas 50 % di tahun 2018. Dalam salah satu publikasi 9 April 2019 itu, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI) membagi jumlah penduduk miskin berdasarkan kabupaten/kota di Sulawesi Selatan berdasarkan pendidikan yang ditamatkan. 


Dapat kita lihat seperti diatas, tingkat kemiskinan penduduk sebelum sekolah dasar paling tinggi ada pada wilayah Bantaeng, (73,09 %). Sementara kota Palopo berada di tingkat paling bawah dalam jumlah penduduk miskin pra-sekolah dasar (13,08 %). 

Di goongan penduduk kedua, yaitu yang telah menamatkan SD/SLTP, kabupaten/kota Pinrang berada pada tingkat pertama dengan tingkat kemiskinan terbesar di Sulawesi Selatan (67,16%). Sementara tingkat kemiskinan terkecil diperoleh oleh kabupaten/kota Bantaeng yaitu sebesar (26,52 %).

Terakhir di golongan penduduk SLTA ke atas, yaitu setara SMA hingga kuliah, malah Kabupaten/kota Pinrang menjadi wilayah dengan tingkat kemiskinan terkecil (4,97%). Sementara kabupaten/kota Palopo menjadi wilayah dengan tingkat kemiskinan terbesar (39, 52 %). 

Secara keseluruhan, golongan penduduk dengan angka kemiskinan terkecil di wilayah Sulawesi Selatan adalah golongan penduduk yang  sedang atau telah menamatkan pendidikan setara SLTA. Kemudian Golongan Penduduk tamat SD/SLTP berada di posisi kedua dengan angka kemiskinan terkecil. Sementara Angka kemiskinan terbesar dialami oleh golongan penduduk yang belum mengenyam pendidikan SD. 

Referensi: 
Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota Tahun 2018. Badan Pusat Statistik Republlik Indonesia. CV. Nario Sari : 2019. Diakses tanggal 24 April 2019. https://www.bps.go.id/publication/2019/04/09/169913d55c823a84bc52fdb3/data-dan-informasi-kemiskinan-kabupaten-kota-tahun-2018.html
Syawie, Mochammad. 2011. Kemiskinan & Kesenjangan Sosial. Informasi. Kementrian Sosial Republik Indonesia. 03/16.
Suryawati, Chriswardani. 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional. JMPK. Universitas Diponegoro. Jawa Tengah. 03/08.
Nasikun. Diktat Mata Kuliah. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001.

*Riset ini dilakukan oleh Anggota Baru Angkatan XI LPM Psikogenesis

Posting Komentar