Kursi pesawat
Sumber: Tribunnews.com

Kuambil posisi ternyaman di dalam penerbangan kali ini. Mataku yang sayup memintaku beristirahat barang sejenak. Tak ingin melewatkan kesempatan, kutarik saja kuplukku sampai menutupi kedua mataku.

"Aduh!" ucap suara lembut di sampingku saat mataku hampir tertutup sempurna oleh kuplukku. Suara itu hasil dari seorang gadis yang kepalanya bersapaan dengan jendela disisinya akibat dari manuver pesawat.

Suaranya yang lembut membuatku penasaran, kuangkat sedikit kuplukku, ingin kutengok bagaimana paras dari pemilik suara lembut itu. Cantik. Ia menggunakan jilbab berwarna biru, persis seperti pemandangan langit yang bisa kulihat di sela-sela jendela yang tertutupi badannya.

Sejenak ia menatap kearahku, senyum polosnya membuatku tak tahan untuk membalasnya juga. Kini aktivitasnya beralih, ia menarik meja lipat didepannya, meletakan kepalanya dengan nyaman di meja serta menjadikan sebuah buku sebagai bantalannya.

Sekitar setengah jam kemudian seorang pramugari menawarkan cemilan pesawat pada kami. Cemilannya dan cemilanku kuletakan di meja lipatku, tak ingin kubangunkan dirinya dalam kenyamanan itu. Kubiarkan dulu dirinya terlelap dalam meja lipatnya.

Bila aku punya keberanian, ingin rasanya bertanya padanya. "Asli mana, mbak?". Namun, dia yang sepertinya sedang dilanda kekhawatiran dalam tidurnya membuatku enggan bertanya.

Tetiba, suaranya menyapaku. "Kuliah di Makassar, kak?". Ternyata matamu telah menatapku dengan posisi kepala yang masih bersandar di bantalan buku itu.

Kujawab saja pertanyaanmu. Dan seperti kata orang-orang, setiap jawaban mengantarkan kita pada pertanyaan baru. Begitu pula percakapan ini, kamu mulai menanyaiku kuliah dimana, fakultas apa dan yang sudah pasti kamu tanyakan setelah semua jawaban yang kuberikan ialah. "Bisa baca pikiran dong, kak?". Ucapnya sambil bangkit dari posisi tidurnya. Pertanyaan yang sukses membuatku tertawa kecil sedangkan dia hanya dapat menatapku kebingungan.

Dengan perasaan jail yang ingin kulakukan, kujawab pertanyaanmu. "Tentu saja, mau kubaca pikiranmu?" dan dia spontan mengangguk semangat.

"Kamu khawatir siapa yang akan menjemputmu di Makassar kan? Karena kakakmu tidak bisa dihubungi. Lalu kamu juga masih ragu apakah cemilan di depanmu ini salah satunya punyamu atau punya pria di sebelah kiriku. Sepertinya juga kamu suka membaca novel roman picisan kan?". Dia mengangguk malu, karena semua yang kukatakan ternyata benar.

"Kenapa bisa tau begitu kak?" tanyanya. Bagaimana bisa aku tidak tahu, sesaat aku baru duduk tadi, dia menghubungi kakaknya, namun tak diangkat. Tak sengaja pula kulihat roomchat WhatsApp-nya dan mendapati satu centang putih abu-abu. Kemudian, setelah dia bertanya padaku sebelumnya, matanya menatap salah satu kotak cemilan didepanku dan juga pipi bergerak kecil pertanda dia baru saja menelan ludah. Dan kenapa aku tahu dia suka novel dengan genre roman picisan?  Buku yang dia jadikan bantalan bertuliskan Merayakan Kehilangan karya Brian Krishna, seorang penulis yang kukagumi juga.

Tak lama kemudian, pramugari pesawat menyampaikan bahwa sebentar lagi kita akan mendarat. Sambil menunggu pesawat mendarat dia bertanya banyak hal tentang Psikologi. Hingga pesawat berhenti sempurna pun dia masih mengajukan pertanyaan. Dan yang terakhir kalinya dia tak mengajukan pertanyaan tapi permintaan untuk memiliki nomorku sembari mengakhirinya dengan kalimat, "seru juga ya, kalau punya cowok anak Psikologi," ujarmu dengan senyum merekah.

Aku pun membalas kembali senyummu dan berharap semoga tak seorang pun disekitar sini yang memberitahunya lirik lagu 'Cer Uwer-Uwer Pom Pom'.

-Mr.Bam

Posting Komentar