Ilustrasi asertif terhadap guyonan seksis.
Sumber: dewiku.com/suara.com

Beragam guyonan seksis pernah menjadi tontonan kita di masa lalu, semisal Trio Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro) dalam menggoda perempuan sebagai lawan mainnya di sinetron atau bahkan kartun Shinchan, seorang bocah TK yang kerap menggoda gurunya serta perempuan yang ditemuinya. Sayangnya, guyonan seksis pada masa sekarang merupakan suatu pelecehan seksual.

Secara emosional, candaan seperti ini malah menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan yang menjadi target guyonan. Disisi lain, para lelaki menjadi memiliki dorongan dalam berperilaku seksis. Terdapat beberapa aspek yang mendorong perilaku seksis, dua diantaranya adalah aspek perilaku sendiri dan juga aspek situasional.

Dari aspek perilaku sendiri, Farley (1978), dalam buku Sexual Shakedown: The Sexual Harassment of Women on The Job, ia mendefinisikan pelecehan seksual sebagai rayuan seksual yang tidak dikehendaki penerimanya, dimana rayuan tersebut muncul dalam beragam bentuk baik yang halus, kasar, terbuka, fisik maupun verbal dan bersifat searah.

Sedangkan dari aspek situasional, Tangri, Burt dan Johnson (1982) dalam Sexual Harassment at Work: Three Explanatory Model berpendapat bahwa perempuan yang mendobrak ke dalam pekerjaan yang secara tradisional didominasi oleh laki-laki juga akan lebih sering mengalami pelecehan seksual dari perempuan lain.

Berdasarkan dua aspek diatas, guyonan yang seharusnya menjadi pencair suasana dapat membuat suasana menjadi canggung dikarenakan korban menjadi tersinggung, sedih, atau bahkan marah. 

Atas dasar itu, Thomas E. Ford seorang Professor Psikologi Sosial dari Western Carolina University menegaskan bahwa “lelucon hanyalah lelucon”, untuk menghapus respon negatif atas guyonan yang dilayangkan.

“Masalahnya, agar humor dapat mewujudkan tujuannya untuk menghilangkan prasangka, penonton harus memahami dan menghargai niat itu. Dan tidak ada jaminan bahwa mereka memahaminya,” ungkap E. Ford melalui The Conversation.

Banyak orang tidak menyadari mereka telah berperilaku seksis, karena tidak menyadari betapa banyaknya ucapan dan candaan yang termasuk kategori pelecehan verbal. Mungkin saja karena pelecehan ini masih berbentuk candaan maka mereka berpikir bahwa bebas-bebas saja bercanda. Kenyataannya, hal inilah membuat kita secara tidak langsung telah menjadi pelaku pelecehan seksual.

Masa kini, para milenial pun memiliki simpanan kosakata yang seru untuk diucap, namun menyakitkan bila memiliki korban. Korban yang bisa saja terbawa emosional, merasa terancam dan mencoba asertif memprotes tindakan si pelaku. Namun, jawaban yang sering mereka dapatkan berupa;

“Ayolah itu hanyalah candaan, jangan terlalu baperan.” Atau yang lebih parah lagi, “Jangan tersinggung dong, kamu kan nggak gitu. Apa jangan-jangan kamu tersinggung karena memang begitu?” menyakitkan bukan?"

Jangan salah. Tidak hanya perempuan yang dapat menjadi target pelecehan, melainkan laki-laki pun bisa menjadi korban. Berdasarkan data yang dirilis oleh Association of Women for Action and Research (AWARE) terkait pelecehan yang dialami laki-laki dengan 500 responden dan 92 perusahaan di Singapura, salah satu temuannya, 21 persen laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.

Maka dari itu, saling menghargai, berempati dan tidak merendahkan orang lain menjadi kuncinya. Saat korban mengambil sikap asertif, jangan sekali-kali disepelekan. Karena setiap orang berhak untuk hidup nyaman tanpa kekerasan meski kekerasan itu terasa lembut bagi kita.

Jadi, jangan berlebihan bila bercanda. Karena satu kata, dapat menyerang orang terdekat kita. Dan sebuah guyonan pencair suasana, dapat mengubah kita dari yang menolak kekerasan seksual menjadi seorang pelaku dari salah satu jenis kekerasan itu. 

*Artikel ini ditulis oleh anggota LPM Psikogenesis

Posting Komentar