Ilustrasi pelecehan seksual
Sumber: Magdalene.co

Psikogenesis, Kamis (25/07)- Kita semua tentu tidak asing lagi dengan frasa pelecehan seksual. Pelecehan seksual yang merupakan tindakan mengganggu hingga merusak diri orang lain dengan tujuan pemenuhan hasrat pribadi, menjadi barang yang sayangnya, telah akrab di telinga kita. 

Akhir-akhir ini, kasus pelecehan seksual di Indonesia sudah semakin meluas. Dimulai dari kasus Agni, Baiq Nuril, hingga kasus terbaru yang melibatkan para santri di Aceh sebagai penyintas pelecehan seksual. Dibalik kisah sedih para penyintas, seharusnya ada satu pihak yang sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakan tersebut tetapi kurang diperhatikan dengan baik. Mereka adalah para pelaku tindakan pelecehan. 

Penelitian Abar dan Subardjono pada tahun 2011 bahkan secara spesifik menjelaskan bahwa pelaku pelecehan seksual tidak mengenal batasan usia, tidak mengenal batasan tempat, status, pangkat, pendidikan, dan jabatan seseorang. Sehingga, sangat jelas bahwa setiap kita memiliki potensi yang sama untuk menjadi pelaku dalam tindakan pelecehan seksual. Namun, yang membuat pelaku pelecehan dan kita berbeda adalah proses untuk membuat keputusan atau dalam memilih untuk melakukan pelecehan atau tidak. 

Pada penelitiannya berjudul Asessing Decision-making Skills of Youth yang terbit di tahun 2003, Mincemoyer dan Perkins memaparkan bahwa terdapat beberapa aspek penting dalam proses membuat keputusan, seperti mengidentifikasi masalah, merumuskan solusi, mempertimbangkan resiko dari solusi tersebut, memilih solusi, dan mengevaluasi tindakan yang sudah dilakukan.  

Motif keputusan seseorang untuk memilih dimulai sejak dia mengenali masalah yang dihadapi, hingga detik saat dia akan memutuskan pilihannya. Motif dari pilihan sebuah tindakan menjadi sangat penting ketika kita dihadapkan pada sebuah tindakan kejahatan. Motif dari tindakan pelecehan seksual, pada umumnya adalah pemenuhan hasrat seksual. 

Motif tindakan pelecehan seksual ini ada berbagai macam. Bahri dan Fajriani dalam kajiannya menjelaskan bahwa pelaku pelecehan seksual memilih untuk melakukan tindakan tersebut di tempat yang sepi dan tidak dapat dijangkau oleh orang lain. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa pelaku pelecehan seksual melakukan tindakan pelecehan ketika dia mengidentifikasi atau mengenali bahwa lingkungan di sekitarnya tidak dapat dipantau oleh orang lain.

Secara singkat, alurnya adalah demikian: pelaku mengindentifikasi korban dan lingkungan sekitarnya ditambah dengan hasrat seksual yang muncul dari dalam dirinya. Pelaku kemudian membuat beberapa pilihan tindakan yang akan dia lakukan, berlanjut dengan menimbang baik dan buruk tindakan yang akan dia lakukan. Pelaku memilih tindakan yang dia lakukan dan dalam hal ini adalah melakukan tindakan pelecehan seksual. Dan muncul lah dua konsekuensi nyata yang dirasakan pelaku, yakni menyesal dan tidak akan mengulang tindakan yang sama atau menyesal dan tetap mengulangi tindakan yang sama karena secara tidak sengaja “dilindungi” oleh sebuah otoritas. 

Tentu saja, bagi kita yang menganggap tindakan pelecehan seksual adalah tindakan yang salah, memiliki harapan agar tidak ada lagi pelaku-pelaku baru yang akan muncul. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencegah kehadiran mereka. Mekanisme mengawasi dan melaporkan segala bentuk tindakan pelecehan seksual merupakan cara yang cukup ampuh dalam memutus rantai keberadaan para pelaku pelecehan seksual. (AK)

Posting Komentar