Ilustrasi bunuh diri
Sumber: google.com

Sebulan yang lalu, tepatnya Kamis (10/10), dunia memperingati World Mental Health Day atau Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, dimana World Health Organization (WHO) mengangkat tema Promosi Kesehatan Jiwa dan Pencegahan Bunuh Diri sebagaimana dikutip dari laman resmi Federasi Dunia untuk Kesehatan Mental.

Dilansir dari laman resmi WHO, tema ini berangkat dari isu kesehatan jiwa yang perlu menjadi perhatian masyarakat di mana setiap 40 detik individu memilih untuk mengakhiri nyawanya dengan bunuh diri dan setiap tahun terdapat 800.000 orang melakukan dan mencoba untuk bunuh diri, sehingga diharapkan terdapat kesadaran masyarakat yang lebih terkait permasalahan mental dan isu bunuh diri berkurang.

Perilaku bunuh diri tidak memandang usia, pekerjaan, status sosial dan ekonomi, siapapun dapat memiliki keinginan dan melakukan perilaku bunuh diri, hal ini dibuktikan setelah empat hari tema ini dikumandangkan, www.koreaboo.com kemudian merilis berita bahwa salah satu idol Korean Pop (K-Pop) yang akrab disapa Sulli ditemukan tidak bernyawa di kediamannya oleh kepolisian setempat dan setelah proses investigasi ditemukan bahwa penyebab kematian Artis berusia 25 tahun ini adalah bunuh diri. Di hari yang sama pula, dikutip dari detiknews seorang siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) asal Kupang berinisial YS yang diketahui pernah dihadiahi sepeda oleh Jokowi ditemukan meninggal bunuh diri dengan cara gantung diri. 

Psikiater sekaligus Direktur Pusat Psikiatri Universitas Pennsylvania, Aaron T. Beck dalam penelitiannya yang berjudul Hopelessness as a Predictor of Eventual Suicide menyebutkan bahwa Penyebab utama dari perilaku bunuh diri adalah keputusasaan, yaitu perasaan merasa tidak berdaya, sehingga menyulitkan individu untuk melangkah maju. 

Novi Yanti Pratiwi, salah satu Psikolog Klinis dalam wawancaranya memberi penjelasan bahwa terdapat banyak faktor penyebab bunuh diri terjadi, diantaranya yaitu stres yang tidak terbendung lagi, perasaan putus asa, dukungan sosial, dan sifat individualistik yang semakin tinggi. “Terlalu banyak beban yang dialami dengan yang bersangkutan, sehingga dia menjadi lelah dengan kehidupannya, kemudian dia merasa sia-sia ketika melakukan sesuatu, yang ketiga adalah tidak ada dukungan sosial atau bahkan mungkin ada tapi apakah dukungan sosial tersebut bisa menjadi pendengar yang baik? dan yang keempat semakin tingginya sifat invidiualistik seseorang seiring dengan perkembangan zaman, semakin bertambah pula tingkat bunuh diri,” jelasnya.

Beban berat, putus asa, stress dan tidak mendapat dukungan sosial dapat memicu keinginan untuk melakukan bunuh diri, namun perilaku ini turut dapat dicegah. WHO mengkampanyekan tindakan pencegahan bunuh diri melalui “40 seconds of action” sebagai upaya untuk menciptakan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan jiwa dan dapat membantu pencegahan bunuh diri. 

Untuk mencegah perilaku bunuh diri, lingkungan sekitar sangat dapat mebantu melalui melakukan tindakan preventif. Dalam wawancara bersama Novi Yanti melanjutkan bahwa kita dapat melakukan tindakan preventif untuk mecegah perilaku bunuh diri, yaitu dengan menunjukkan empati, mengajak bicara mengenai masalah yang dialami, dan mengajak mencari bantuan professional. ”Ketika ada orang lain cerita saya punya masalah kayak begini, itu bagaimana seseorang harus bersikap, bukan tambah diberatkan misalnya, menjastifikasi kalau dia kurang iman atau kurang ibadah misalnya, cukup dengan mendengar itu sudah menunjukkan empati, kemudian ketika melihat seseorang menarik diri, ajak dia bicara, apa masalahnya, dan ketika dia sudah sering mengatakan ingin bunuh diri segera berkonsultasi dengan tenaga profesional,” ungkapnya.

Selanjutnya, salah satu pengajar di Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Negeri Makassar (UNM) ini menuturkan bahwa kita juga dapat membantu dengan mengajak individu untuk melakukan kegiatan yang positif, perlu untuk mengenal lingkungan sebaya dan tidak diperkenankan untuk melakukan self diagnosis. “Lihat bagaimana interaksinya di media sosial, apakah menunjukkan masalah bunuh diri atau kesedihan, sehingga dari hal tersebut kita dapat mengetahu kondisinya, selain itu mari kenali teman-temannya sapatau bisa kita jadikan social support, dan ketika memiliki pemikiran bunuh diri konsultasikanlah ke orang yang lebih professional,” tutupnya. (ONG)

Sumber:
Beck, A. T. 1986. Hopelessness as a predictor of eventual suicide. Annals Of The New York Academy Of Sciences, 47(1), 90-96. doi: 10.1111/j.1749-6632.1986.tb27888.x.
https://news.detik.com/berita/d-4750220/kisah-tragis-siswa-yang-bunuh-diri-di-kupang-pernah-dapat-sepeda-dari-jokowi
https://www.koreaboo.com/news/sulli-confirmed-committed-suicide/
https://www.who.int/news-room/events/detail/2019/10/10/default-calendar/world-mental-health-day-2019-focus-on-suicide-prevention

Posting Komentar