Sit and Share oleh Novi Yanti Pratiwi dengan tema "Toxic Positivity" yang diselenggarakan oleh Komunitas Psychocare di Taman Sulapa Appa FPsi UNM, Jumat (08/11).
Sumber: Dok. LPM Psikogenesis

Psikogenesis, Sabtu (09/11)-Komunitas Psychocare mengadakan agenda Sit and Share dengan materi “Toxic Positivity” yang dibawakan oleh Novi Yanti Pratiwi, pada Jumat (8/11) di Taman Sulapa Appa Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Negeri Makassar (UNM).

Novi Yanti Pratiwi, dalam materinya, menjelaskan bahwa Toxic Positivity merupakan ide yang hanya fokus menyarankan individu untuk merasakan emosi positif, bahagia, dan ceria, mengabaikan emosi negatif yang sebenarnya dirasakan. 

Ia juga menjelaskan bahwa emosi individu terdiri dari positif dan negatif, setiap emosi memiliki fungsi bagi tubuh manusia, maka setiap emosi yang dirasakan harus diterima. “Emosi negatif ketika kita cemas buat kita lebih siaga. Kita terkadang ingin membuat orang tidak khawatir, tapi kita mengabaikan perasaannya dia, nah itu yang disebut sebagai toxic positivity,” jelasnya.

Psikolog Klinis ini juga menerangkan perbedaan antara bahagia dan toxic positivity. Bahagia merupakan emosi positif yang berkaitan dengan afeksi manusia, sedangkan toxic positivity berkaitan dengan kognitif karena ingin membuat orang lain berpikir positif atas peristiwa yang dialaminya. “Tapi apakah merubah mindset nya orang kemudian lantas merubah emosi seseorang? itu yang harus dipikirkan terlebih dahulu,” terangnya.

Novi menambahkan, positivity yang sebenarnya adalah bagaimana individu menilai situasi, mengidentifikasi emosi yang dirasakan, dan menampilkan ekspresi sesuai emosi yang dirasakan, termasuk menerima emosi negatif yang dirasakan bukan menekannya. 

Toxic positivity itu memang dorongannya lebih banyak mengabaikan emosi negatif, padahal positivity itu harusnya dia menerima emosi, bukan merepress, bukan menghindari, tapi menerima segala macam emosi, baik itu emosi positif maupun emosi negatif,” tambahnya.

Novi melanjutkan, toxic positivity terjadi karena kurangnnya empati, tidak memvalidasi emosi yang dirasakan terlebih dahulu, memberikan standar masalah setiap orang sama, dan budaya yang diterima. 

“Karena ada value yang dia alami di hidupnya, misalnya kita nggak tahu support keluarganya dia, kita nggak tahu seberapa besar tekanan hidupnya, sehingga kita nggak boleh samakan, karena kita berbeda. Jadi jangan menyamakan hidup kita sama dengan standar hidupnya orang lain. Itulah kenapa toxic positivity masih lumrah terjadi,” ujarnya.

Sedangkan dampak dari toxic positivity adalah membuat individu tidak berpenampilan sebagaimana emosi yang dirasakannya. “Orang-orang menjadi lebih fake, karena kita dipaksa untuk tegar, dipaksa untuk pura-pura menerima. Kita dipaksa untuk menampilkan hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang kita rasakan,” kata Novi.

Untuk menghindari dan mengurangi terjadinya toxic positivity, Novi menyampaikan hal-hal yang harus kita lakukan, diantaranya adalah mengenali dan menerima setiap emosi yang dirasakan, kemudian memvalidasinya terlebih dahulu. Belajar untuk empati dengan orang lain, bersikap atentif dengan memberikan perhatian sepenuhnya pada orang yang bercerita, dan mendengarkan dengan niat untuk memahami bukan untuk menilai. (ANS)

Posting Komentar