Pernyataan R mengenai penilaian UTS mata kuliah SWB-ST
Sumber: Dok. LPM Psikogenesis
Psikogenesis, Senin (30/03)- Seminar & Workshop Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia (APPI) Sulawesi yang menjadi salah satu opsi Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah School Well Being and Spiritual Teaching (SWB-ST) mendapat tanggapan dari mahasiswa. 


Mahasiswa berinisial NS yang memprogramkan mata kuliah SWB-ST dan menjadi salah satu peserta seminar mengungkapkan bahwa kegiatan dengan embel-embel sebagai pengganti UTS itu menurutnya tidak etis karena juga menyangkut kemampuan ekonomi seseorang. Menurutnya, hal itu merupakan bentuk dari pemaksaan secara halus. 

“Siapa yang tidak mau tidak mid (baca: UTS)? Jadi mau tidak mau yah ikut,” ungkapnya.

NS juga menjelaskan bahwa awalnya ia sendiri tidak minat untuk mengikuti seminar namun terpaksa ikut karena kegiatan tersebut bisa menjadi pengganti UTS. Ia juga merasa bahwa menjadikan seminar sebagai pengganti UTS menurunkan harga tiket sengaja dilakukan untuk menambah jumlah peserta seminar tersebut.

“Awalnya juga 175 terus tiba-tiba 115 saja, dikasih turun demi banyak yang ikut dan caranya itu tidak mid tapi ternyata pas ka beli na kasitau ka temanku kalau di-review ki (baca: isi seminar) baru jadi pengganti mid, jadi sebenarnya sama ji. Saya taunya juga pas sudah beli tiket,” jelasnya.

Mengenai sistem UTS yang berbeda, R sebagai salah satu mahasiswa yang juga menjadi peserta seminar berpendapat bahwa hal itu tetap saja menimbulkan masalah pada objektifitas dosen yang menilai nantinya. Hal ini dikarenakan perbedaan antara mahasiswa yang mengikuti UTS dengan sistem seperti biasanya dengan UTS yang mereview isi seminar tersebut. 

“Bagaimana dia (baca: Dosen) akan menentukan indikator penilaiannya nanti agar mahasiswa yang mengikuti seminar dan mid yang regular atau yang biasa saja itu tetap mendapat perlakuan yang adil atau dari segi penilaian mereka itu setara,” jelasnya ketika dihubungi via Whatsapp.

Pendapat lain datang dari mahasiswa berinisial AR. Sebagai salah satu mahasiswa yang memilih untuk tidak mengikuti seminar, ia berpendapat jika hal itu tidak lah masalah karena seminar ini tidak diwajibkan untuk seluruh mahasiswa. Jika diwajibkan pasti akan banyak yang menolak, terlebih hal itu menyinggung keadaan finansial mahasiswa.

“Kalau tidak diwajib kan ji seminarnya ya tidak masalah ji iya, kecuali diwajibkan itu baru dipertanyakan kenapa harus diwajibkan mahasiswa ikut,” ungkapnya. 

AR sendiri mengaku bahwa ikut seminar maupun tidak akan tetap sama, karena tetap ada tugas yang dikerjakan. Ia juga merasa menghadiri seminar ditambah menulis review itu sangat merepotkan.

“Tulis resume merepotkan mending kerja saja mid,” jelasnya.

AR pun turut berharap agar jika ada kegiatan-kegiatan serupa nantinya, mahasiswa tidak mendapat kewajiban untuk ikut. Sebab akan tidak adil bagi mereka yang bisa dan tidak bisa membeli tiket. 

“Saya harapanku, semoga tidak ada ji hal-hal yang diwajibkan kalau ada seminar begini, tidak adil ki orang-orang yang bisa beli tiket sama yang tidak bisa,” harapnya. (UWU)

Posting Komentar