Ilustrasi penyebaran COVID-19
Sumber: google.com

Kepanikan mengguncang warga tanah air sejak diumumkannya kasus pertama Coronavirus Disease (COVID-19) oleh Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan pada Selasa (02/03) yang menimpa Ibu dan anak asal Depok, Jawa Barat. Rasa tidak percaya masih menggeluti masyarakat, reaksi ini bukan tanpa sebab dikarenakan pada awalnya pemerintah cenderung tidak responsif bahkan terkesan meremehkan lewat pernyataan yang dilontarkan pejabat publik sebelum kasus terdeteksi. 

Dilansir dari tirto.id, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto sempat membantah hasil riset tim Harvard yang menyatakan bahwa mungkin saja sudah ada warga indonesia terinfeksi corona. Tidak hanya itu pada Jumat (17/02) dilansir dari Kompas pemerintah bahkan mempertimbangkan untuk mempromosikan pemberian diskon hingga 30 persen bagi wisatawan mancanegara dan domestik untuk menyokong anjloknya sektor pariwisata sebagai dampak dari COVID-19.

Pernyataan pemerintah yang menyepelekan COVID-19 tentunya mengakibatkan kepercayaan publik menurun drastis. Wahyuningsih melaui jurnalnya yang diterbitkan pada tahun 2011 menjelaskan bahwa kepercayaan publik adalah kepercayaan warga terhadap negara dan pemerintah, termasuk di dalamnya institusi, kebijakan, dan pejabatnya. 

Muhammad Rhesa selaku dosen Psikologi Sosial menambahkan bahwa dari perspektif sosial hal ini tentunya sangat mungkin terjadi mengingat pernyataan dan kebijakan yang dilayangkan pemerintah sebelum munculnya COVID-19 di Indonesia. 

“Secara perilaku mengatakan bahwa tidak ada corona di indonesia, malah justru dibuka pariwisata dari situ muncul tekanan dari internasional, disinilah timbul distrust public terhadap pemerintahan secara sosial karena ternyata betulan ada (baca: virus corona) akibatnya muncul kekecewaan publik,” terangnya.

Lantas bagaimana dinamika psikologis sosial masyarakat menghadapi kondisi ini?

Rhesa menambahkan bahwa dinamika psikologis sosial cenderung mengalami perubahan. Bermula dari kekecewaan yang mengakibatkan distrust public dan secara drastis berubah menjadi stigma. Menurut Elliot dalam jurnal yang ditulis oleh Brohan, dkk., stigma adalah bentuk penyimpangan penilaian suatu kelompok terhadap individu yang salah dalam interakasi sosial. Dalam panduan tentang pencegahan stigma yang diterbitkan UNICEF berjudul Social Stigma Associated with the Corona Virus Disease (COVID-19) dipaparkan bahwa stigma sosial dalam kontek kesehatan diartikan sebagai asosiasi negatif antara individu atau kelompok dengan berbagai karakteristik dan penyakit tertentu. 

“Akhir Maret muncul dinamika psikologis sosial yaitu stigma, mereka yang berinteraksi secara langsung dengan pasien baik memang postif atau tidak atau sekdar bergelut di dunia kesehatan dan berinteraksi langsung dengan pasien akhirnya dilabeli penyebar virus,” jelasnya. 

Crigan, Scheffer, Stier dan Hinshawa mengemukakan bahwa stigmatisasi terbentuk melalui proses sosial-kognitif yaitu isyarat, stereotip, prasangka dan diskriminasi. Rhesa menjelaskan bahwa kondisi ini secara nyata sudah terlihat di lingkup masyarakat. 

“Stereotip berubah menjadi prasangka, semua orang yang berinteraksi langsung juga dianggap berpotensi menularkan. Kemudian diskrimansi ada yang menolak jenazah, dokter perawat dikucilkan dari tetangganya termasuk anak-anaknya disuruh menyingkir,” ungkapnya.

Memerangi Stigma

Stigmatisasi membawa dampak masif yang negatif terhadap publik. Dalam jurnalnya yang diterbitkan pada tahun 2020 ini, Bruns, Kraguljac & Bruns menerangkan bahwa pasien yang percaya atau merasa dirinya distigmatisasi dapat saja menunda mencari perawatan, orang lain menjadi takut terhadap mereka yang dianggap sakit, bahkan stigmatisasi ini dapat menyebabkan kekerasan terhadap individu dalam kelompok. Stigma dapat merusak kohesi sosial dan mendorong kemungkinan isolasi sosial yang berkontribusi pada situasi di mana virus lebih cenderung menyebar. Tentunya ini dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang lebih parah dan kesulitan mengendalikan wabah penyakit.

Lewat panduan UNICEF tentang pencegahan stigmatisasi, diterangkan bahwa hal yang harus untuk mengatasi fenomena ini yaitu dengan membangun kepercayaan pada layanan dan saran kesehatan yang dapat diandalkan, berempati dengan mereka yang terkena dampak, memahami penyakit itu sendiri dan mengadopsi langkah-langkah praktis dan efektif sehingga orang dapat membantu menjaga diri sendiri dan orang disekitar. Cara mengomunikasikan tentang COVID-19 sangat penting dalam mendukung kita untuk mengambil tindakan efektif dalam membantu memerangi penyakit dan menghindari ketakutan dan stigma. Lingkungan positif perlu diciptakan dimana penyakit dan dampaknya dapat didiskusikan dan ditangani secara terbuka, jujur dan efektif.

Mencapai angka 10 ribu kasus, Pemerintah harus apa?

Dilansir dari liputan6.com, pemerintah berusaha untuk menempatkan keamanan dan keselamatan masyarakat dengan tetap mengimbangi ketahanan ekonomi negara. Beberapa kebijakan yang telah diambil pemerintah yaitu paket stimulasi ekonomi, penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan Pandemi COVID-19, Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka percepatan penanganan Covid-19. Penerapan kebijakan diharapkan dapat menjadi langkah praktis sebagai jalan untuk memutus atau mencegah penyebaran virus yang telah bertambah menjadi 10.551 kasus pada Jumat (01/05) berdasarkan data dari Kompas. 

Realisasi kebijakan tidak berhenti setelah peraturan dikeluarkan, langkah selanjutnya adalah memastikan implementasinya dilakukan dengan tepat dan menyeluruh. Kerja sama seluruh pihak ikut menentukan keberhasilan kebijakan yang diterapkan. Sayangnya proses dalam melaluinya tidak selalu sesuai dengan ekspektasi awal, penerapan PSBB misalnya yang mengalami kendala dikarenakan masih banyaknya masyarakat yang melanggar ketentuan pemerintah.

Dikutip dari iNews, terdapat 23.310 pengendara yang melanggar kebijakan PSBB. Angka ini tercatat selama 16 hari penerapan PSBB di Jakarta sejak Senin-Selasa (13-28/04) lalu. Adapun pelanggaran yang dilakukan yaitu tidak menggunakan masker, jumlah penumpang memunuhi kapasitas, pengendara tidak menggunakan sarung tangan, pengendara sepeda motor yang berboncengan dengan alamat berbeda.

Frustrasi Sosial, jawaban masyarakat terhadap PSBB

Pengabaian ketentuan pemerintah yang marak terjadi bukan hanya di Jakarta tetapi beberapa kota lain seperti Surabaya, dan Tangerang dinilai Rhesa sebagai reaksi masyarakat terhadap penerapan PSBB. Rhesa menambahkan bahwa sosial reaktan atau pengabaian instruksi pemerintah dikarenakan masyarakat sudah berada pada titik frustrasi. Sumber perekonomian warga di tengah pandemi memburuk, sehingga tentu pemenuhan kebutuhan seperti sandang dan pangan akan ikut bermasalah.

“Frustrasi akan muncul jika tidak terjadi pemenuhan kebutuhan atau disadari kondisi ideal tapi tidak bisa terpenuhi maka akan menjadi sumber frustrasi eksternal, artinya frustrasi berasal dari permasalahan dari luar,” ujarnya. 

Pemenuhan kebutuhan menjadi indikator penting sebagai landasan motivasi individu untuk hidup. Dalam jurnal yang ditulis oleh Sari dan Dwiarti, Maslow mengemukakan bahwa terdapat lima macam kebutuhan yang selalu dialami manusia. Kebutuhan fisiologis atau kebutuhan paling dasar seperti (pemenuhan sandang, pangan, papan), kebutuhan rasa aman, kebutuhnan untuk diterima, kebutuhan untuk dihargai, kebutuhan aktualisasi diri. Apabila kebutuhan dasar seseorang tidak terpenuhi maka ia akan sulit untuk mempertahankan hidupnya apalagi mencapai kepuasan dan meraih tingkat kebutuhan diatasnya.

Lebih lanjut, Rhesa mengungkapkan bahwa frustrasi sosial perlu diwaspadai pemerintah, hal ini karena dampak lanjutannya membawa efek yang lebih buruk bagi masyarakat dan negara. 

“Frustrasi sosial perlu diwaspadai sekarang, bisa jadi mengakibatkan agresi, yang berpotensi kerusuahan jika tidak ditangani dengan baik,” ungkapnya. 

Frustrasi sosial yang muncul akibat ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan membutuhkan strategi praktis sebagai jalan keluar permasalahan. Rhesa menjelaskan kondisi ini dapat diatasi dengan dua cara. Pertama pemerintah melakukan pendataan faktual terkait sumber potensial yang bisa digunakan untuk menutupi kebutuhan biologis masyarakat. Kedua, menstimulasi masyarakat untuk menghidupkan lingkungan sosial lewat morel, materiel dan hal apaun yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terdampak.

Tahu tapi tidak mau?

Selain frustrasi indikator lain yang mengarahkan masyarakat pada ketidakpatuhan sebenarnya tergantung pada reaksi perilaku mereka. Secara lebih spesifik Rhesa mencontohkan bahwa dalam menaggapi aturan sebagian orang berperilaku karena dia menyadari dan ada pula orang tidak berperilaku karena tidak menyadari. Permasalahan timbul ketika menghadapi tipe orang yang menyadari tapi tidak berperilaku. 

Menyikapi tipe orang atau masyarakat seperti ini tentu perlu di telaah secara mendetail untuk mencari tahu alasan dari perilaku yang dimunculkan, cara lain bisa dengan melakukan berbagai pendekatan dengan tetap mempertimbangkan keselarasan antara aturan dengan karakter masyarakat. Hal ini dinilai penting oleh Rhesa sebagai solusi agar aturan tidak dilanggar. 

“Bagaimana pun juga, aturan dibuat jika tidak memiliki rasionalisasi sosilogis, kultur, kebudayaan, perekonomian atau jika bertentangan, maka masyarakat merasa terbelenggu kebebasanya, maka akan dilanggar,” tutupnya. (SATU)


Referensi:
Brohan, E., Slade, M., Clement, S & Thornicroft, G. (2010). Experience of mental illness stigma, prejudice, and discrimination: a review of measures. BMC health services research, 10(80), 1-11.

Bruns, D.B., Kraguljac, N.V & Bruns, T.R. (2020). Covid-19: Facts, cultural considerations, and risk of stigmatization. Journal of Transcultural Nursing, 1-7. 

INews. 2020. (29 April 2020). Pelanggaran PSBB di Jakarta, 23.310 Kendaraan diberikan surat teguran polisi. Dikutip dari https://www.inews.id/news/megapolitan/pelanggaran-psbb-di-jakarta-23310-kendaraan-diberikan-surat-teguran-polisi. Diakses pada 30 April 2020. 

Kompas. 2020. Pariwisata lesu, pemerintah Pertimbangakn Diskom 30 persen untuk Wisatawan. Dikutip dari https://nasional.kompas.com/read/2020/02/17/16265671/pariwisata-lesu-pemerintah-pertimbangkan-diskon-30-persen-untuk-wisatawan. Diakses pada 30 April 2020. 

Kompas. 2020. (1 Mei 2020). UPDATE 1 Mei: Pasien Positif Covid-19 Mencapai 10.551. Dikutip dari https://amp.kompas.com/nasional/read/2020/05/01/15473211/update-1-mei-pasien-positif-covid-19-mencapai-10551. Diakses 1 Mei 2020. 

Liputan 6. 2020. (23 April 2020). Kilas Balik Kebijakan Pemerintah Tangani Pandemi Covid-19. Dikutip dari https://www.liputan6.com/bisnis/read/4235729/kilas-balik-kebijakan-pemerintah-tangani-pandemi-covid-19. Diakses pada 30 April 2020. 

Tirto. 2020. (24 Maret 2020). Telat Tangani Corona COVID-19, Pemerintahan Jokowi Bisa Digugat? Dikutip dari https://tirto.id/eG8y.  Diakses pada 30 April 2020. 

UNICEF. (2020). Social stigma associated with the coronavirusvirus disease (COVID-19). Dikutip dari https://www.unicef.org/documents/social-stigma-associated-coronavirus-disease-covid-19. Diakses  pada 30 April 2020. 

Sari, E., & Dwiarti, R. (2018). Pendekatan hierarki Abraham maslow pada prestasi kerja karyawan pt. madubaru (pg madukismo) yohyakarta. Jurnal Perilaku dan Strategi bisnis, 6(1), 58-77.
Varamitha, S, Akbar, S.N & Erlyani, N. (2014). Stigma sosial pada keluarga miskin dari pasien gangguan jiwa. Jurnal Ecopsy, 1(3), 106-114.

Wahyuningsih, R.D. (2011). Membangun kepercayaan public melalui kebijakan sosial inklusi. Jurnal ilmu Sosial dan ilmu Politik, 15(1), 29-40.

Posting Komentar