Dalam sebuah gerakan menuntut keadilan, tidak ada
yang namanya tokoh-menokohkan, karena dibawah panji perjuangan, kita semua sama dalam tuntutan. Tidak perlu mengistimewakan ataupun diistimewakan.
Bahkan massa aksi tidak membutuhkan identitas atau embel-embel ormas, karena
melawan rezim yang menindas kita semua sama rata dalam satu tuntutan, saling
mengorganisir diri satu dengan yang lain, saling jaga agar tidak terprovokasi dan
tidak dimonopoli oleh oligarki bajingan. Identitas dan sejenisnya hanya representasi
dari tongkat estafet oligarki penguasa, sudah sangat banyak fakta menarik di
negara ini, banyak pemimpin ormas yang
menggaungkan segala bentuk ketidakadilan demi sebuah penghidupan yang lebih
layak lagi keesokan harinya. Perjuangan bukan tentang siapa, bukan juga tentang
kapan, perjuangan tidak mengenal masa, segala bentuk ketidakadilan wajib
dilawan. Sloganisme dari Originalfought
seakan tengah pudar dan telah berganti dengan nyanyian katak di musim
penghujan, bak hujan di sore hari saat senja tengah menyapa dan mempertontonkan
estetikanya, di saat itu juga kegelapan datang menutupi segalanya dan memaksakan
menghabiskan malam di sebuah warung kopi di tengah kesunyian. Terkait dengan originalfought,
telinga dan otak ini menolak lupa akan pernyataan yang pernah terucap dan terdengar di telinga ini
hingga membekas dalam ingatan, “Duluan mi dinda, lewat mi masaku, kita tosseng,” (baca: “Duluan dinda,
sudah lewat giliran saya, sekarang kamu lagi”). Yah, kalimat
itu biasa tercipta di sekitaran massa aksi yang sedang berkumpul untuk melakukan
sebuah demonstrasi. Sebuah kalimat
yang menurut saya adalah penggalan dari lirik nyanyian katak di musim
penghujan. Apa perjuangan mengenal masa? Ketidakadilan dilawan karena
benar-benar ingin menegakkan keadilan atau hanya sekedar menjalankan misi dari
representasi jabatan di sebuah organisasi? Sangat konyol ketika alibinya
memperjuangkan keadilan tapi nyatanya hanya sekedar menjalankan kewajiban dari
tongkat estafet sebelumnya.
Menyelisik tentang
demonstrasi, acapkali ditunggangi oleh ormas rusuh atau sekolompok orang yang sedang
berada di fase memantaskan diri untuk hari esok, dinamika tersebut bukan hal
yang asing lagi tapi sudah sering terjadi ketika demonstrasi. Biasanya, ketika demonstrasi telah mencapai klimaks maka mereka hadir dengan dalil
memperjuangkan tapi nyatanya sedang mempertontonkan kepiawaiannya sebagai
oligarki sejati ke pantat-pantat penguasa. Alibi sebagai oposisi bagi penguasa
tapi nyatanya mereka menjadi petahana bagi demonstran, bahkan sesuatu yang
tidak asing lagi, mereka mampu
mengontrol demonstrasi tanpa memegang megaphone.
Sebut saja sebagai orator tanpa megaphone,
mereka sedemikian perkasanya mampu mengatur dan meracik segala strategi untuk
satu tujuan, ibarat kalimat seorang chef yang ingin membuat nasi goreng dan
ia mampu menggabungkan bumbu nasi goreng
dengan beberapa bumbu lainnya untuk membuat citarasa penggorengan nasi menjadi lebih elegan dan
berestetika. Hal yang mendasar, demonstrasi
ditunggangi biasanya disebabkan kelalaian para demonstran dalam memperhatikan
situasi dan kondisi di lapangan hingga penumpang gelap atau provokator rusuh
berhasil masuk ke dalam barisan, hal yang lain juga dikarenakan beberapa
demonstran menyadari hal tersebut tapi tidak bisa berbuat apa-apa disebabkan
beking-bekingan mereka jelas dan terstruktur layaknya sebuah organisasi,
organisasi yang bukan sembarang organisasi, tapi organisasi yang menganut paham
fascist dan sistem feodalism. Meskipun begitu, tidak semua
demonstrasi berhasil ditunggangi, ada yang hampir ditunggangi tapi para
demonstran yang menyadari hal tersebut sesegeranya
mengambil inisiatif merapatkan barisan, mengorganisir satu sama lain, mengatur
strategi dan memukul mundur manusia-manusia setengah boneka tersebut.
Setiap perjuangan pasti memiliki visi dan misi yang beragam, biasanya terkonsolidasikan hingga membentuk sebuah gerakan yang masif. Dalam perjuangan, ketika visi telah terimplementasikan maka syukur dan berbanggalah mereka yang ikut serta dalam pergerakan, tetapi jika visi ditolak maka segera mungkin merapatkan barisan, mengevaluasi misi dan kembali melakukan pergerakan hingga visi terimplementasi sesuai dengan harapan, bukan tidak mungkin atau sesuatu yang mustahil, kemenangan itu akan diraih juga. Kemenangan sendiri dalam pergerakan tidak hanya tentang tercapainya tuntutan, salah satu kemenangan kecil ialah dengan melawan sebagaiman pernyataan bapak Pramoedya Ananta Toer “Dengan melawan kita takkan sepenuh kalah”. Saat bendera perlawanan telah dikibarkan di medan perang, maka satu langkah mundur adalah sebuah bentuk penghianatan. Kalimat itu perlunya ditanamkan kepada benak seluruh manusia yang menyuarakan keadilan, jangan sampai mereka mundur di tengah peperangan atau menghilang tanpa jejak layaknya para aktivis 98 yang dihilangkan tanpa pelaku. Analoginya seperti mengikuti sebuah kejuaraan renang, sebelum bertanding tentunya telah dipersiapkan segala aspek untuk dapat memenangkan kejuaraan, jika tidak dapat memenangkan kejuaraan setidaknya mampu menggapai garis finish, jangan karena lawan sudah jauh di depan, malah memilih berenang ke belakang atau menepi, tuntaskan pertandingan lalu kembali berlatih mempersiapkan diri untuk kejuaran selanjutnya. Konyol rasanya jika berhenti di tengah kejuaraan atau tenggelam tanpa jejak, it's about resistance not crucifixion!!!
#antitokohmenokohkan
#riporiginalfought
#fascistban
#fasisyangbaikadalahfasisyangmati
#birokrashittt
*Opini ini ditulis oleh Juliandrie Abham, Mahasiswa Ilmu Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Makassar
Posting Komentar
Posting Komentar