Ilustrasi Dating Violence.
Sumber: Pinterest

“Mau ku juga dilarang-larang sama pacarku tapi masalahnya tidak ada pacarku” 

Jokes ini sering kali muncul dalam lingkaran pertemanan yang tentunya mayoritas jomblo. Tidak bisa dipungkiri terkadang jokes itu menjadi harapan bagi kaum jomblo untuk “dilarang-larang” oleh kekasih yang wujudnya pun belum ada ataupun mungkin belum lahir. Melarang dengan tujuan baik seperti untuk melestarikan hewan langka, maka rasanya wajar dan masuk akal ketika pasanganmu melarang untuk membunuh Komodo atau Harimau Sumatera.

Namun lain halnya ketika melarang pasangan untuk berteman ataupun bergaul dengan teman juga sahabatnya. Tentunya hal ini tidak masuk akal tetapi tidak jarang telah “diwajarkan” oleh pasangan-pasangan yang ada di luar sana. Bahkan perihal melarang pasangan dalam hal ini membatasi atau mengisolasi pasangan dari teman-temannya menjadi salah satu indikator dating violence atau kekerasan dalam berpacaran. 


Lalu apa yang dimaksud dengan dating violence?

Sugarman & Hotaling’s dalam Murray & Kardatzke pada 2007 menjelaskan bahwa dating violence merupakan penggunaan atau ancaman berupa kekuatan fisik atau pengekangan yang dilakukan dengan maksud menyakiti orang lain dalam suatu hubungan asmara. Murray & Kardatzke kemudian menambahkan bentuk lain dating violence yakni seksual dan psikologis. Sejalan dengan mereka, Wolfe & Wekerle dalam jurnalnya yang berjudul “Dating Violence in Mid-Adolescene: Theory, Significance, and Emerging Prevention Initiatives” menyampaikan bahwa dating violence mengacu pada upaya apapun untuk mengendalikan atau mendominasi orang lain secara fisik, seksual, dan psikologis yang menyebabkan tingkat bahaya tertentu. 

Dengan pernyataan-pernyataan ahli terkait dating violence pun dapat diketahui bahwa dating violence memiliki tiga bentuk. Sama halnya dengan yang dituliskan oleh Murray di bukunya yang berjudul  “But I Love Him: Protecting Your Teen Daughter from Controlling, Abusive Dating Relationships”, terdapat tiga bentuk dating violence yaitu verbal and emotional abuse atau kekerasan verbal dan emosional, sexual abuse atau kekerasan seksual, dan physical abuse atau kekerasan fisik. 

Verbal and emotional abuse atau kekerasan verbal dan emosional merupakan tindakan yang sengaja dilakukan untuk menyakiti pasangan secara psikologis dan bertujuan mengendalikan pasangan dengan cara merendahkan kepercayaan diri pasangannya dan kemampuan mandiri pasangannya. Tindakan ini dapat berupa mengancam pasangan mengunakan perkataan (verbal abuse) atau mimik wajah (emotional abuse), mendominasi perilaku, dan isolasi sosial. Offenhauer & Buchalter dalam jurnal Rusyidi & Hidayat, memaparkan contoh dari verbal and emotional abuse seperti mengejek, mempermalukan pasangan di hadapan orang lain, mengancam merusak nama baik pasangan, merusak atau melukai barang milik pasangan, mengancam memutuskan hubungan, mengancam bunuh diri serta tindakan-tindakan lain yang bertujuan untuk merusak hubungan melalui berbagai cara seperti menyebarkan berita atau gosip yang tidak benar atau mengungkapkan informasi atau gambar kepada publik yang dapat mencederai harga diri pasangan. 

Sexual abuse atau kekerasan seksual diartikan oleh Murray sebagai tindakan seksual yang dilakukan secara paksa, tanpa persetujuan pasangan, dan melakukan hubungan seksual dengan orang yang sedang mabuk atau dalam pengaruh obat-obatan. Contoh lainnya ialah percobaan perkosaan dan pemaksaan untuk melakukan aktifitas seksual dengan cara yang memalukan. Bahkan pemaksaan untuk memeluk, mencium, dan menyentuh yang mungkin dipandang sepele atau biasa oleh beberapa pasangan, juga merupakan tindakan sexual abuse

Physical abuse atau kekerasan fisik dijelaskan Murray dalam bukunya yang terbit pada 2007 lalu sebagai tindakan yang menyebabkan pasangan merasakan sakit dan membuat luka atau cedera secara fisik akibat tindakan seperti memukul, mendorong, menampar, menendang, dan sebagainya. Tidak hanya itu, tindakan mencakar, menekan atau membenturkan seseorang pada dinding, mencekik, membakar, dan menggigit termasuk dalam physical abuse

Terkadang dating violence sulit untuk dikenali dan disadari oleh para pasangan karena terdapat beberapa tindakan yang mendapat label “relationship goals”, contohnya seperti yang sudah dituliskan pada paragraf pembuka yang tanpa sadar menjauhkan pasangan dari keluarga, teman atau sumber dukungan sosial lainnya. Memaksa mencium, memeluk, dan menyentuh pasangan juga dianggap salah satu tindakan “romantis” oleh beberapa orang akibat film atau tontonan yang seakan-akan “mendukung” tindakan itu dengan memadukan adegan tersebut dengan lagu nan ceria bernuansa romantis. Namun setelah mengenal dating violence, bentuk-bentuknya serta contoh-contohnya kita pun memiliki bekal untuk tidak lagi disesatkan oleh label “relationship goals”, “romantic”, dan sebagainya yang memiliki indikasi dating violence

Untuk penutup yang manis, dikutiplah perkataan Sri Juwita Kusumawardhani, M.Psi, Psikolog dari HelpNona, ruang dukungan dan diskusi isu kekerasan dalam berpacaran.

"Bertahan dalam hubungan yang berkekerasan bukanlah cinta sebenarnya. Itu adalah cinta yang semu, karena cinta yang sehat membantu kita untuk menjadi individu yang lebih baik lagi, bukan tersiksa dan tidak bahagia. Selalu ingat bahwa kamu layak bahagia". (OA) 


Referensi:

Murray, Hill (2007). But I Love Him: Protecting Your Teen Daughter from Controlling, Abusive Dating Relationships. Harpers Collins E-books 

Murray, Christine E & Kardatzke, Kerrie N. (2007). Dating Violence among College Students: Key Issues for College Counselors. Journal of College Counseling, Vol: 10, Issue: 1, Page number: 79+. American Counseling Association 

Rusyidi, Binahati & Hidayat, Eva Nuriyah. (2020). Kekerasan dalam Pacaran: Faktor Risiko dan Pelindung serta Implikasinya terhadap Upaya Pencegahan. Sosio Informa. 06(02). 152-169

Wakerle, C., & Wolfe, D. A. (1999). Dating violence in mid-adolescence: theory, significance, and emerging prevention initiatives. Clinical psychology review. 19(4). 435-456 

Posting Komentar