Ilustrasi penantian kematian demokrasi.
Sumber: Dok. LPM Psikogenesis

*Oleh Akbar 

“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas” (Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia:19) 

Saat ini demokrasi dalam ruang akademis menjadi barang langka yang sebentar lagi punah, tidak terkecuali di Universitas Negeri Makassar (UNM). Bahkan baru-baru ini Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) dipanggil oleh rektoratnya hanya persoalan flyer kritikan terhadap Jokowi di media sosial. 

Seperti yang dialami penulis setelah menerbitkan tulisan “Kartu Merah untuk Rektor UNM” merupakan salah satu dari sekian banyak pertanda kematian demokrasi di perguruan tinggi. Intervensi rektorat terhadap penulis merupakan gambaran masa depan demokrasi akan ‘dipasung’ dan ‘diberangus’ di lingkungan akademik. Bayangkan saja, satu kritik yang dibungkus melalui karya tulis, diintervensi habis-habisan oleh jajaran birokrasi kampus, mulai dari kaki tangan rektorat hingga pejabat tingkat prodi harus terlibat mengintervensi penulis agar ‘mencabut’ tulisannya. Bagi penulis, intervensi terhadap karya tulis adalah ‘kejahatan yang luar biasa’, sebab menjadi aneh juga, jika isi karya tulis harus disesuaikan dengan keinginan individu atau kelompok tertentu. 

Perayaan dan akses terhadap demokrasi kampus sejak dulu, belum pernah dirasakan dengan sempurna oleh bangsa mahasiswa. Padahal mahasiswa merupakan bagian utuh dari kampus. Menjadi kenyataan pahit, sebab masih banyak pembungkaman dan intimidasi terhadap mahasiswa. Data yang dirilis Jaringan Kaum Muda (Jarkam) terdapat 5.000 mahasiswa disanksi Drop-out (DO), salah satunya hanya karena melayangkan kritik ke birokrat kampus. 


Polarisasi Rektorat UNM 

Saat ini, disadari maupun tidak, pihak rektorat telah berhasil ‘mempolarisasi’ gerakan mahasiswa. Pola yang dibangun rektorat sebenarnya sederhana, namun kita dan Lembaga Kemahasiswaan (LK) belum mampu berbuat banyak. Belum lagi, basis massa dan varian gerakan yang cenderung lemah, monoton dan amat kering akan riset meriset. 

Polarisasi yang diciptakan rektorat dilakukan dengan kejam yaitu melalui pendekatan akademik, ancaman pembekuan organisasi dan pemutusan anggaran LK. Sederhananya, siapa yang berani bersuara, maka siap-siap angkat kaki dari kampus, dibekukan, dan anggaran LK dihenti alirkan. Di situasi seperti ini, kita betul-betul dipenjarakan oleh ‘kebusukan birokrasi’ yang kian hari semakin subur, serta semakin menggerogoti jantung-jantung pergerakan mahasiswa dan LK UNM. 

Tidak hanya penulis yang merasakan intervensi, mahasiswa lainnya juga pernah mengalami kondisi demikian, ada yang diancam dan dijatuhi Skorsing, Drop-Out (DO) bahkan ancaman pemutusan Beasiswa. Padahal jika ditarik kebelakang, pendidikan pada hakikatnya dilakukan tidak sekedar mengajarkan ‘apa yang ada’ tetapi justru mempertanyakan ‘kenapa semua itu ada’. Misalnya dalam konteks dugaan politik praktis yang dilakukan Rektor UNM, kenapa kita semua menganggap ini hal yang biasa saja? Sementara publik sudah tahu bahwa Husain Syam telah melakukan agenda-agenda politik di tengah statusnya sebagai rektor aktif UNM. Singkatnya, jika kita sepakat bahwa kampus bukan panggung dan kantor politik, maka tidak ada alasan untuk ‘menerima’ apalagi ‘diam’ terhadap kelakuan amoril ini. 


Wujudkan Ruang Publik Kampus 

Jika Birokrasi selalu menekan kritikan dari kalangan mahasiswanya, lebih baik kampus UNM ‘ditutup’ saja. Sebab melanjutkan sistem pendidikan dengan cara-cara ‘kotor’ dan anti-demokrasi justru akan melahirkan aktor-aktor bebal dan kejam. Artinya dalam sudut pandang ini, pendidikan dilihat sebagai mesin ‘reproduksi sosial’ yang terus berulang. 

Jika birokrat UNM terus melakukan tindakan-tindakan kotor maka akan menghasilkan mahasiswa-mahasiswa kotor pula. Melakukan intervensi dan memberikan sanksi terhadap mahasiswa yang kritis, tidak hanya melukai sisi kemanusiaan dalam demokrasi, tetapi juga merusak iklim intelektualitas di kampus. Jadi omong kosong, bila rektorat selalu mengampanyekan kampus yang bebas dari kekerasan, sementara yang justru melakukan kekerasan ‘akademik’ adalah birokrat sendiri. 

Sehingga untuk mewujudkan demokratisasi kampus yang ramah terhadap mahasiswa, maka bagi penulis dibutuhkan penjaminan atas Ruang Publik Kampus (RPK). Seperti yang dikatakan oleh Jorgen Habermas seorang filsuf dan sosiolog asal Jerman, RPK adalah wahana mahasiswa sebagai ruang aman menyatakan opini, kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan mahasiswa yang terbebas dari belenggu intervensi birokrat. 

RPK menjadi sarana mahasiswa berkomunikasi, berargumen, serta menyatakan sikap terhadap problematika kampus. Dengan begitu, semua produk hukum dan kebijakan kampus harus melalui proses pengujian dan diskursus oleh mahasiswa. Namun RPK sulit terwujud dengan ‘sistem keterwakilan’, seperti Wakil Rektor (WR) dan Wakil Dekan (WD) Bidang Kemahasiswaan. WR dan WD dalam struktural birokrat UNM tak ubahnya hanya sebagai Humas Rektorat, yang hanya menuruti perintah pimpinan, namun keras dan tuli jika dihadapkan dengan kepentingan mahasiswa. Sistem keterwakilan ini justru tidak mewakili kepentingan mahasiswa (keterwakilan semu). 


Tersisa Harapan Tunggal 

Jika birokrasi UNM sudah tidak sepenuhnya kita percaya. Sudah saatnya kita mengusung ‘Gerakan Sosial Baru’ diluar dari dominasi kendali LK. Penulis menganggap gerakan ini dapat dibangun oleh kalangan mahasiswa non-LK asal didasari tanggungjawab dan kesadaran bersama. Semua mahasiswa bisa ambil bagian dalam gerakan ini. Namun gerakan ini akan sempurna bila dilandasi dengan keyakinan dan persepsi yang sama bahwa “Kita Mengutuk Keras Segala Bentuk ‘Politik Praktis’ dan ‘Kekerasan Akademik’ di Tiap-Tiap Perguruan Tinggi”. Untuk itu penulis menawarkan gerakan ini diberi nama “Mosi Tidak Percaya” terhadap Rektorat UNM. 

Bukan tidak mungkin, benteng kokoh dan polarisasi yang diagung-agungkan birokrat selama ini dapat diruntuhkan dengan penyatuan suara dan gerakan mahasiswa non-LK. Sebab sebaik apapun strategi gerakan, akan menjadi lemah tanpa penyatuan persepsi dan gerakan mahasiswa. Kita telah melihat betapa tidak berdayanya gerakan mahasiswa yang dibangun melalui beberapa LK saja, apalagi gerakan yang hanya digerakkan oleh beberapa orang atau kelompok saja. 

Jika hari ini mayoritas mahasiswa dan LK menyerah, serta lebih memilih diam, maka setelah tulisan ini,  masa depan untuk menghidupkan iklim demokrasi yang sehat dan aman akan menjadi prioritas kita bersama. Jika rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam demokrasi, maka penulis menyebut mahasiswa sebagai panglima tertinggi demokrasi dalam tiap kampus. 

Penulis yakin harapan yang tersisa itu terdapat pada gerakan Mahasiswa Non-LK dan akan disempurnakan dengan LK UNM yang masih menjaga integritasnya. Setelah tulisan ini khayalak baca, kini kita diperhadapkan dengan dua pilihan. Menunggu kematian demokrasi itu datang atau bangkit dan melawan. 


Hidup Mahasiswa, jangan biarkan api demokrasi kampus kita padam.

Posting Komentar