Ilustrasi Sastra "Rumah Tanpa Ibu".
Sumber: Pinterest

"Nak, perhatikan setiap sudut dari bagian rumah ini. Kalau dibersihkan, jangan lupa pindahkan barang-barangnya terlebih dahulu," pesan mendiang Ibu sebelum meninggalkanku seminggu yang lalu.  

Betapa jahatnya ia, meninggalkan ku dalam keadaan seperti ini. Rumahku berdebu, penanak nasi di rumah kosong, tudung saji kini tak lagi terisi, piring-piring bekas pakai bertumpuk seperti rongsokan. Sampah-sampah pemberian tetangga menjadi gunung. Lelaki yang kupanggil Ayah, tak lagi seperti dirinya yang dulu, kehilangan semangat untuk bekerja, kehilangan senyumnya, kehilangan dirinya.  

Betapa jahatnya ia, meninggalkanku dalam keadaan seperti ini. Adikku masih tak ingin bersekolah. Dia masih ingin beristirahat, masih ingin selalu mendatangi kubur yang tanahnya masih basah itu. Tak lagi bersua dengan kawannya, jemarinya tak pernah lepas dari kitab suci dan foto ibuku.  

Suara besi berbenturan renyah, sembari meneriakkan namaku sesekali.  

"Ada titipan dari Ibuku, dimakan. Tempatnya dikembalikan nanti," katanya lalu tersenyum ke arahku. Tak banyak yang kulakukan, kuterima kotak hijau dihadapanku lalu berterima kasih.   

Ia berjalan gontai kembali ke rumahnya. Bisa kulihat, tubuhnya menarik pagar lalu tersenyum ke arahku.  

Semenjak ibu pergi, para tetangga menganggap keluargaku sebagai kerabat. Melakukan hal kecil, mulai dari menyapa, menanyakan kabar, dan membawakan makanan.  

Aku benci semua itu.  

Hal itu hanya membuatku merasa bahwa ibuku sudah benar-benar tiada. Perhatian kecil mereka membuatku merasa seolah aku adalah seonggok daging bertulang yang telah kehilangan jiwanya. 

Tuhan tidak adil, mengambil ibu disaat aku masih sangat membutuhkannya. Di saat aku belum bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Tuhan mengujiku dengan hal yang sangat tidak lucu. Mengambil separuh dari kehidupanku. Mengambil ibu, mengambil jiwa ayahku, dan merenggut kebahagiaanku. 

Debu-debu sisa semalam beterbangan, kusapu dengan perlahan namun yang luruh adalah perasaanku.  

Setiap sisi yang ingin kupertahankan dari diriku beterbangan bersama debu-debu kematian ibuku. Aku ingin menyalahkan Tuhan tapi bahkan mengutuk pun tak lagi bisa kulakukan. Separuh dari hidupku telah tiada, sebagai hamba aku hanya bisa meraung, hanya bisa meminta, hanya bisa menyusahkan Tuhan-ku sendiri.  

Dan saat ini kusadari, betapa hampanya Rumah Tanpa Ibu.  


-130900

Posting Komentar