Ilustrasi Program Kerja Kelompok 36 KKP FPsi UNM.
Sumber: Google.com

Kegiatan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Unit Pelaksana Teknik Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Makassar oleh mahasiswa Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Negeri Makassar (UNM) kelompok 36 yang beranggotakan Nurul Misykatin, Rafidahtunnisa, Putri Auliah, Nur Fajri, dan Nur Indah Komala Sari melakukan wawancara terkait prostitusi online yang marak terjadi di masa pandemi. 

Prostitusi online merupakan sebuah bentuk prostitusi baru yang dimana menggunakan suatu aplikasi atau media sosial untuk mencari atau mendapatkan pelanggan yang dimana semua transaksi dilakukan secara online. Prostitusi online memiliki jangkauannya lebih luas dan range umur yang berbeda-beda. Pasaran dan pelanggannya bisa menjadi lebih luas dibandingkan prostitusi-prostitusi biasa yang memiliki sebuah tempat dan menunggu pengunjung datang. 

Salah satu anggota Tim Reaksi Cepat (TRC), Khaidir, menjelaskan bahwa terdapat pelaku dan mucikari dalam kasus prostitusi online yang ditangani oleh UPTD PPA. 

“Rata-rata prostitusi online itu ada pelaku atau orang yang ‘menjajakan’ diri, biasanya juga ada mucikari yang bertindak sebagai mucikari ini dia bertugas untuk mencari pelanggan, dan rata-rata mucikari ini memiliki anak-anak asuh dimana biasanya anak-anak ini lebih dari satu orang. Biasanya kalau pelanggan tidak suka dengan ‘anak’ yang diberikan mucikari, maka dia masih punya stok untuk ditawarkan,” jelasnya. 

Khaidir menambahkan bahwa ketika pelaku berusia anak maka dikategorikan sebagai korban. 

“Iya, tapi ketika dia berusia anak maka kita tidak sebut dia pelaku. Ketika si dia yang menjajakan diri ini anak maka dia jadi korban,” ungkapnya. 

Berdasarkan kasus yang telah ditangani oleh UPTD PPA Kota Makassar, Khaidir menjelaskan alasan mereka melakukan prostitusi online yaitu karena faktor ekonomi, gaya hidup, dan bahkan ada yang ikut-ikutan dengan teman mereka. 

“Pertama karena mudah mendapatkan duit, hanya modal itu dia bisa mendapatkan uang dengan mudah. Kemudian faktor ekonomi, jarang sekali ditemukan anak-anak atau perempuan ini dari kalangan atas, pasti dari kalangan bawah karena cara dapat uangnya mudah. Termasuk gaya hidup. Awalnya juga itu rata-rata diajak, jarang ditemukan pelaku atau korban prostitusi online itu memulai sendiri. 

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa rata-rata alasan untuk ikut dalam prostitusi online yaitu ikut ajakan teman. 

"Rata-rata diajak sama teman-temannya yang terlebih dahulu sudah mencoba itu. Jadi bahasa simplenya begini, 'mauko seperti saya? Gampangji, sini ikut mko sama saya tidur-tidurji dapatko uang segini dalam sehari'. Orang ekonomi ke bawah pasti akan tertarik dengan itu, apalagi ditambah dengan kondisi keluarga yang semasa dia kecil tidak ditanamkan nilai ibadah, apakah keluarga broken home, apakah keluarga tidak terurus, atau memang anak-anak yang tidak suka di rumah, itu bisa jadi korban,” jelasnya. 

Khaidir juga mengungkapkan bahwa aplikasi untuk mengakses prostitusi online tidak dapat terdeteksi namun ada beberapa aplikasi yang ia ketahui. 

“Sebenarnya itu tidak bisa dideteksi, tapi ada beberapa aplikasi yg digunakan, dulu pertama kali yang saya tau itu ada aplikasi namanya W*Talk. Tapi memang yang terkenal sekarang itu M*Chat,” ungkapnya. 

Dalam wawancara yang telah dilakukan pada Rabu (03/11), Khaidir mengonfirmasi terjadinya peningkatan kasus prostitusi online di masa pandemi. 

“Selama masa pandemi itu meningkat, karena para pelaku yang menjajahkan diri itu mereka yang usia sekolah, mereka yang tidak memiliki kesibukan dan bisa mengakses hp semaunya, apalagi kalau tidak sekolah kan dia tidak dapat uang jajan jadi kalau mau uang yang begitu. Itulah kenapa tinggi kasus prostitusi online,” ungkapnya. 

Anggota TRC ini juga menambahkan bahwa tidak ada yang datang melapor melainkan orang tua atau keluarga yang mencari anaknya dan juga biasanya kepolisian. 

“Tidak ada yang datang melapor. Kalau orang tua mencari anaknya ada, maksudnya kan anaknya sudah lama meninggalkan rumah, dia menduga bahwa anaknya ikut sama temannya yang diduga ikut prostitusi online. Nah, kita mendampingi dan memang saat dilakukan memang sedang bertransaksi di hotel. Ketika ada laporan dari kepolisian atau kepolisian sudah melakukan penggerebekan terlebih dahulu dan karena masih berusia anak jadi dirujuklah dia untuk melakukan pembinaan. Jadi kalau yang melapor itu rata-rata keluarga yang mencari anaknya atau polisi,” tambahnya. 

Khaidir kemudian turut menjelaskan bagaimana proses penanganan kasus prostitusi online di UPTD PPA yang ternyata cukup rumit. Prostitusi online ini bisa dibilang tidak ada Undang Undang yang mengikat itulah kenapa kasus ini yang dihukum itu mucikarinya, bukan yang menjajahkan diri karena tidak ada Undang Undang terkait itu. Sedangkan mucikari terkena hukum tindak pidana perdagangan orang, itulah kenapa ketika memperoleh rujukan atau keluarga yang datang melapor, yang dilakukan hanya pembinaan ke anaknya. 

"Karena kita kan ini prostitusi online yang usia anak, kita lakukan pembinaan, asesmen, analisis kebutuhan, kita home visit, kalau perlu kita nginapkan di rumah aman sambil kita memberikan pemahaman ke orang tuanya terkait apa yang dilakukan anak, kenapa bisa seperti itu, kan tidak terlepas dari bagaimana cara orang tua mendidik dan mengasuh anak," jelasnya. 

Lebih jauh ia menuturkan bahwa ada peran orang tua sebagai faktor si anak sampai melakukan prostitusi. 

"Apakah anak tidak nyaman di rumah, apakah kurang komunikasi antara orang tua dan anak, apakah memang tidak punya bapak, atau karena memang tidak dinafkahi,” tuturnya.

Posting Komentar