Ilustrasi Cerpen "Rizky & Nadira: Ajakan Komitmen".
Sumber: Pinterest


oleh ka_bayyyy

"Kak Iky, ayo komitmen!" katamu kala itu.

Satu tahun telah berlalu sejak kamu mengatakan kalimat itu dengan santainya. Kalimat yang selalu berlarian di dalam kepalaku setiap kali bertemu denganmu.

Selama setahun itu, kalimat itu tak mendapatkan jawabannya. Selama setahun itu, gue tak memberikan tanggapan apapun atas ajakan berkomitmen atau apapun itu dari lo.

Bukan tak ingin memberi kepastian, tapi diri ini yang belum pasti bisa menyamainya. Yaps! Benar! Gue suka sama Nadira, siapa yang tak mengenal Nadira? Seantero kampus mengenalnya; dari fakultas sendiri hingga fakultas tetangga. Ia begitu terkenal. Bahkan profil tentang dirinya berhasil masuk di sebuah tabloid Pers Kampus. Terpampang dengan jelas namanya dan kisah hidupnya; Nadira Tri Utami, mahasiswi semester V yang meraih mahasiswa berprestasi Fakultas Psikologi dan Universitas Negeri Makassar serta sukses merintis bisnis di dunia kewirausahaan.

Gue bukannya pengecut, tapi dia yang terlalu sempurna. Ada jarak yang sebenarnya gak bisa cowok kayak gue tembus untuk dia. Dia terlalu sempurna dalam hal apapun; akademik, organisasi, keluarga, lingkar pertemanan, bahkan perkara makan dan minumnya, ia sempurna. Ketika ia kebingungan ingin memakan steak, sushi, spaghetti, pizza, atau makanan mewah lainnya. Gue malah kebingungan dengan;

Indomie cita rasa mana lagi yang harus gue coba? Indomie apa lagi yang harus menjadi seleraku?” kurang lebih seperti itulah situasi yang kupikirkan ketika harus berhadapan dengan rasa lapar.

Dari sini, kamu, yang sedang membaca tulisan ini, paham, kan? Ada pembatas seperti apa diantara gue dan Nadira.

Tapi, gue pun kebingungan bahkan kewalahan karena pada banyak kesempatan, Nadira selalu mengingatkan sekaligus bertanya jawaban atas ajakan itu.

“Bagaimana ajakan itu? Udah jawabannya?” katanya. Seingatku terakhir kali Nadira menanyakan hal itu saat gue dengan dia nongkrong di sebuah kedai kopi dekat kampus bernama Coffee Break.

“Ajakan yang mana? jalan ke Mall? Atau naik Teman Bus yang lagi gratis?” tanyaku balik mengingatkan ajakan lainnya untuk cuci mata di Mall Panakukkang atau naik Transportasi Ekonomis Mudah Aman dan Nyaman yang dikenal sebagai Teman Bus.

“Bukan yang itu, ajakan yang itu walaupun kamu ga mau, aku akan tetap maksa, kak. Ajakan komitmen yang aku maksud,” jelasnya kembali dengan memperjelas pertanyaannya.

“Nad, lo sadar ga sih? Gue sebenarnya ga pantas buat lo,” balas gue waktu itu.

Yaps! Gue nggak pantas untuk Nadira, ada perasaan insecure yang pasti akan timbul kalo gue sama dia. Sekarang pun, sebagai teman, gue insecure sekaligus bingung. Diantara banyaknya teman cowok Nadira, kenapa harus gue?

“Padahal ada yang lebih good looking, matang secara finansial pun banyak, tapi kok dia ngajak gue?” pemikiran itu selalu muncul di malam hari setelah gue chatting atau teleponan sama dia.

Sampai detik ini, seorang Nadira Tri Utami masih terlalu sempurna untuk gue yang biasa-biasa aja. Dan gue hanya orang yang pantas berada di belakang panggung atas segala pertujukan hidupnya yang begitu mengangumkan. Gue Cuma perantara untuk kesuksesan lo, dan just it! Gue nggak akan pernah punya kesempatan yang pantas untuk bersanding tepat di samping lo.

Dan Nad, kalo lo baca ini. Gue cuma mau bilang, “Jangan nungguin gue, komitmen bareng gue adalah awal dari rasa sakit.”

Posting Komentar