Ilustrasi Sastra "Rizky & Nadira: Matahari dan Bumi".
Sumber: Pinterest

oleh ka_bayyyy

Setahun telah berlalu lagi

Pagi hari yang menyebalkan untuk seorang lelaki yang tak tidur semalaman dikarenakan overthinking atas janji bertemu dengan seorang perempuan yang ia sukai hari ini. Bukan janji bertemu yang membuatnya overthinking melainkan isi dari perjanjian itu. Hari ini harus ada kejelasan.

“Kenapa gue iyain sih ajakan bertemunya!” sesalnya pagi ini sembari menikmati indomie goreng kesukaannya ditambahi topping beberapa potong bakso dan sosis.

Di sisi lain, seorang perempuan mengawali pagi dengan sangat ceria meski langit menunjukan awan pekatnya. Bagaimana tidak, hari ini, pernyataan sekaligus pertanyaannya sepanjang dua tahun yang lalu akan menemui jawabannya. Tak peduli diterima atau tidak, diiyakan atau ditolak mentah-mentah. Ia hanya ingin satu; kejelasan.

“Nad, ayo tarik napas pelan-pelan! Hari ini semuanya akan berakhir!” ujarnya sembari menatap cermin.

Tebakan kalian benar, lelaki dan perempuan itu adalah Rizky Mahendra dan Nadira Tri Utami. Hari ini mereka bersepakat bertemu di Coffee Break, kedai kopi yang sama dengan tempat biasa mereka menghabiskan waktu berdua menceritakan penatnya hari, keluh-kesahnya masing-masing hingga tertawa riang seakan menjadi pemilik kedai saat itu juga.

Hari ini, tepat siang hari pukul 13.00 WITA nggak akan ada, pernyataan “kita bahas lain kali ya,” atau pertanyaan “lo yakin sama gue?” hari ini semua akan menemukan jawaban yang jelas. Meskipun entah kejelasan seperti apa yang akan ditemui.

“Kak, aku pesan cokelat panasnya satu sama es krim matchanya satu ya,” kata Nadira pada si pelayan yang menggunakan apron bertuliskan Coffee Break.

Yaps! Kini mereka telah berada di Coffee Break.

“Selalu aja, perpaduan panas dan dingin. Bro, gue kayak biasa aja, cokelat panas less sugar sama kentang goreng satu,” ujar Rizky pada si pelayan yang sebenarnya kenalannya.

20 Menit berlalu, pesanan mereka telah datang…

“Jadi ini gimana?” mulai Nadira yang mengarahkan pada pembahasan serius.

“Nggak bisa apa dinikmatin dulu ini minuman sama makanannya?”

“Mau menghindar sampai kapan? Hari ini kan, janjinya? Jawabannya,” Nadira mengingatkan.

“Iya-iya, Hari ini. Bentar minum dulu,” balas Rizky sembari menyeruput cokelat panas yang telah dipesannya.

“Sebelum itu, gue mau nanya ke lo, Nad,” lanjut Rizky.

“Nanya apa?”

“Lo tau, kenapa gue pesan cokelat panas less sugar?” tanyanya.

“Jangan bilang Kak Iky mau ngegombal dengan kalimat, ‘ya karena manisnya udah di kamu’ nggak mempan kak, kalo mau pake gombalan basi gitu,” jawabnya.

Tawa Rizky menggelegar di seisi kedai, membuat sejumlah pelanggan melirik ke arah meja kami.

“Gila lo yak! Mana ada gombalan gue kayak gitu, kenapa gue sering pesan cokelat panas less sugar karena kadang yang manis itu nggak baik. Mungkin gue di hidup lo ibaratnya gula yang gue maksud. Tanpa gue pun, enaknya cokelat panas nggak akan berkurang, gue hanya pelengkap kecil yang bisa lo dapetin di mana pun, gak harus di gue,” jelas Rizky seketika.

Nadira terdiam, Rizky membalikan situasi percapakan dengan sangat tiba-tiba. Nadira bahkan harus mencoba mencerna makna dari pernyataan yang diberikan Rizky padanya.

“Kalo ternyata gula itu yang benar-benar dibutuhin sama cokelat panas gimana?” Nadira mencoba membalikan situasi kembali

“Ya, cokelat itu mungkin akan kemanisan, dan yang berlebih itu nggak baik kan? Kembali ke statement awal yang gue bilang, kadang yang manis itu nggak baik,” ucap Rizky.

Nadira terdiam kembali, ia mencoba mengingat-ingat perumpamaan seperti apa yang pantas untuk ia mulai lagi dan pasti akan ia menangkan. Pertemuan yang bertujuan menemukan kejelasan kini malah berubah menjadi kompetisi memenangkan perumpamaan, seakan yang terbaik menjelaskannya akan menjadi pemenangnya.

“Kak Iky masih suka astronomi kan?” Nadira mengajukan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

“Iya lah, emang kenapa Nad?” balas Rizky.

Situasi berpihak pada Nadira. Sekarang ia bisa memulai percakapan tentang seisi langit dan mengumpamakannya sebagai dirinya dan Rizky.

“Kak Iky tau nggak sih? Kita itu ibarat Matahari dan Bumi, Kak Iky Mataharinya, aku Buminya. Bumi emang butuh Matahari, begitu pun sebaliknya. Tapi kalau nggak ada Matahari, Bumi nggak akan bertahan, Bumi mati. Sementara Matahari? Ia masih bisa menyinari planet lain, semesta lain. Dan aku sampai di titik ini, nggak akan bisa tanpa Kak Iky,” jelas Nadira dengan setengah menunduk, takut penjelasannya salah.

Iky menarik napas panjangnya dan menghempuskan perlahan,

“Nad, kalo lo ibaratin gue Matahari, dan lo Bumi. Lo sadarkan? Matahari dan Bumi itu punya jaraknya masing-masing, ada hal-hal di alam semesta ini yang nggak bisa lo lampaui. Sekalipun lo lampaui, hasilnya akan berantakan. Bayangin aja, Matahari dan Bumi tak berjarak? Akan terbakar seperti apa Bumi nantinya? Dan lo nggak mau kan ngelihat gue membuat lo terbakar habis?” berbeda dengan Nadira, Rizky menatap lurus ke depan, seakan di depannya ada sesuatu yang berharga namun harus dilepasnya.

“Kak Iky, aku paham kok maksud Kakak apa. Dan Aku paham kok, kakak suka banget tentang astronomi, tentang benda-benda langit. Perkara bumi, bulan, bintang bahkan asteroid yang aku gak tau apa gunanya di alam semesta, tapi seorang Rizky Mahendra paham semuanya. Dan aku, jujur, nggak tertarik tentang itu, aku nggak peduli Galaksi Bima Sakti akan jadi seperti apa. Yang buat aku tertarik adalah sosok yang menceritakan keterarikannya pada hal itu, aku tertarik sama ceritanya Kak Iky,” balas Nadira yang perlahan-lahan mengangkat kepalanya dan memberanikan diri menatap Rizky.

“Jadi sekarang, Nadira Tri Utami mau apa? Tanpa gue, Nadira masih akan baik-baik saja loh. Bahkan bisa dapat yang lebih baik, kemungkinan bahagia yang lebih banyak,” Rizky memanggil Nadira untuk pertama kali dengan nama lengkapnya lagi semenjak terakhir kali ia ucapkan dua tahun lalu.

“Mau jawaban, sekali pun harus melampaui ketetapan semesta, dan Nadira Tri Utami tanpa Rizky Mahendra adalah ketiadaan. Karena percuma aku dapat yang lebih baik dan lebih banyak bahagianya. Selama ini, susah-senang kita bareng-bareng loh, sedihnya udah di dapat, apalagi bahagianya, udah banyak. Dan perkara lebih atau sedikitnya bahagia itu semua tentang rasa cukup kan? Cukup mensyukuri atau cukup cari pengganti saja? Dan Aku lebih memilih cukup yang pertama, mensyukuri Kak Iky sebagai ‘cukup’ dalam diriku. Karena bersama kak Iky, aku tau semua kelebihan akan lahir di kemudian hari.”

Nadira memberikan jawaban yang sangat hangat, cokelat panas yang ada di depannya pun akan kalah akan hangatnya jawabannya. Es Krim Matcha yang perlahan mencair, sepertinya mencair karena kejujuran hati Nadira, terlalu tulus untuk sekadar didengarkan. Ia menangis dalam kalimatnya, seakan didukung oleh awan sebagai benda langit yang ikut menjatuhkan airnya. Hujan pun perlahan turun menemani air mata Nadira yang ikut membasahi kedai yang mereka singgahi.

“Nad, aku paham maksud kamu sekarang. Tapi maaf untuk hubungan yang lebih serius, aku belum bisa mastiin,”

“Tapi untuk komitmen?” Nadira menyeka air matanya dengan tetap menunggu jawaban Rizky.

“Aku akan coba,”

“Bentar, ada yang aneh.”

“Apa yang aneh?”

“Sejak kapan, Kak Iky pake aku-kamu ke aku?” selidik Nadira.

“Sejak sadar, kalo Matahari memang seharusnya ada untuk Bumi. Menyinarinya, menemaninya, melihatnya mengelililingi kehidupan. Sejak itu Rizky Mahendra sadar Nadira Tri Utami penting dalam Galaksi Bima Saksi yang ada dalam kehidupan ini,” Rizky jujur pada perasaaannya dan mengutarakan makna Nadira dalam dirinya.

Posting Komentar