Ilustrasi Cerpen "Rizky & Nadira: Penopang Kesuksesan".
Sumber: Pinterest

oleh ka_bayyyy

Kalau ada cowok yang suka ngunyah permen karet, menggulung celana jeansnya di atas mata kaki dan memakai topi hitam untuk menutupi rambut gondrongnya. Kalian harus tahu kalau namanya Rizky Mahendra. Cowok yang sering ditegur dosen karena kelakuannya ke lewat santai kalau mau ke kampus. Suka-suka dia, mau-mau dia.

“Nad, kok lo dekat sama Kak Rizky sih?” tanya salah satu sahabatku.

“Ya karena Kak Rizky beda,” jawabku singkat.

Sebelum lebih jauh, aku ingin memperjelas tiga hal. Pertama, Rizky Mahendra memiliki nama panggilan Rizky. Sedangkan ‘Iky’ adalah panggilan yang aku buat untuk dia. Kedua, Kak Iky adalah cowok yang aku ajak berkomitmen setahun lalu, ajakan yang belum menemukan jawabannya. Ketiga, kalau mau ngobrol panjang sama dia, mulai aja topik tentang sastra atau benda langit beserta fenomenanya, dijamin akan panjang obrolannya. Bahkan mungkin dia lebih suka sastra dan sadar isi benda langit daripada suka aku dan sadar perasaanku.

Kalau sebelumnya, kamu udah dengar atau tahu tentang Kak Iky ke aku itu bagaimana. Aku cuma mau bilang kalau dia adalah satu-satunya cowok yang buat aku merasa bebas.

Aku udah menduga kok, kalau Kak Iky merasa nggak pantas untuk aku. Sayangnya, Kak Iky mungkin lupa dan kalian semua yang membaca ini pasti nggak tahu kalau dibalik ‘hidup sempurna’ yang dimaksud oleh Kak Iky itu ada ceritanya.

Aku sebut dia sebagai satu-satunya cowok yang membuat aku merasa bebas itu bukan tanpa alasan. Jauh hari sebelum mengenalnya, Aku adalah Nadira Tri Utami yang lebih banyak dilanda ketakutan daripada keberanian untuk mencoba. Bahkan untuk sekadar mendaftarkan diri mengikuti Webinar pun aku ragu-ragu. Dan dia, Kak Iky, adalah orang yang membuatku perlahan-lahan memberanikan diri membuka diri pada dunia.

Memang benar, profil tentang diriku terbit di salah satu Tabloid Pers Kampus. Tapi, Kak Iky mungkin lupa, prestasi yang tertera disana takkan pernah ada tanpa dorongan dari dirinya.

“Nad,Nad,Nad! Liat ini coba! Wawancara yang waktu itu udah terbit di Tabloid loh! Gila sih ini! Harus dirayain!” soraknya sewaktu melihat tabloid itu tergeletak dengan rapinya di Perpustakaan Fakultas.

“Ssst…… Kak…Perpus loh ini…” balasku dengan nada suara yang mengecil.

“Ehiyaaa lupa, maaf-maaf, hehehe, senang banget soalnya,” Kak Iky tersenyum sembari menggerakan tangannya menutupi mulut.

Kalian yang baca tulisan ini pasti merasa aneh, kan? Kenapa yang lebih antusias melihat tabloid itu adalah Kak Iky dibandingkan aku? Jawabannya adalah karena dia melihat langsung prosesnya.

Waktu aku mengikuti ajang mahasiswa berprestasi fakultas, Kak Iky yang bantuin aku untuk nyusun Essay dan PowerPoint untuk presentasi dihadapan para audience. Ia juga yang bantu aku untuk latihan speaking supaya nggak bicara terburu-buru. Saat presentasi selesai, ia menunggu di luar ruangan, mengirimkan pesan via whatsapp.

“Haus nggak? Mau dibeliin Susu Beruang?” bunyi pesannya waktu itu. Pada saat pengumuman dan aku dinyatakan sebagai juara. Dia dari luar ruangan, senyum ke aku.

Dia juga yang aku repotkan ketika mengikuti ajang mahasiswa berprestasi universitas. Dia nggak istirahat seharian untuk temanin aku ke beberapa Mall mencari dress terbaik untuk dipakai di malam Grand Final.

Mungkin Kak Iky juga lupa, saat bisnis yang aku rintis masih di titik awal banget, ada satu orang yang kerepotan kesana-kemari mencari bahan dan alat jualan bahkan sampai hujan-hujanan dan keesokan hari demam tinggi untuk bantu aku. Nggak perlu aku sebut namanya, semoga Kak Iky ingat.

Dan sebagai perempuan yang merantau di Kota orang juga, menemukan sosok yang selalu ada adalah sebuah keberuntungan. Ibu? Ayah? Mereka masih ada tapi nggak selalu bisa menenangkan aku, support aku, merawat aku saat sakit, dan mendengarkan keluh-kesah dari hari-hari yang telah dilalui. Dan disaat Ibu dan Ayah nggak selalu ada, datang seorang lelaki yang bersedia untuk semua itu. Lelaki yang mengaku pada kalian bahwa kebimbangannya adalah makan indomie cita rasa apa.

Pada kenyataannya, tidak demikian. Kalau dia sempat bilang ke kalian, dia bingung milih Indomie cita rasa apa, itu lebih tepatnya selera mulut dan lidahnya memang ke Indomie.

“Tapi Kak Iky kan paling suka Indomie Goreng biasa kan?” tanyaku padanya

“Iyalah! Yang lain mah lewat!” jawabnya sembari memakan Indomie Coto Makassar.

Sekarang, kalau Kak Iky bilangnya dia nggak pantas untuk aku yang katanya terlalu sempurna. Mungkin aku akan bilang juga, “Aku mungkin yang nggak pantas untuk lelaki yang hidupnya mandiri sejak remaja”.

Rizky Mahendra adalah lelaki yang kelewat mandiri, Uang Kuliah ia bayar sendiri, kosannya juga bayar sendiri, hidupnya selama merantau kuliah di kota ini pun menggunakan uang pribadinya sendiri, uang kiriman orang tua? Ia pisahkan di rekening yang berbeda.

“Uang ini untuk keadaan darurat,” katanya.

Lalu kalau ada yang bertanya lagi atas ajakanku berkomitmen dengan Kak Iky setelah mengetahui semua cerita dibalik ajakan itu, aku akan nanya balik ke mereka.

“Menurut lo, aku nunggu dia karena apa?”

“Menurut lo, kalau lo jadi gue, lo bakal nunggu gak?”

“Menurut lo, selama belum ada penolakan jelas, berjuang itu wajar kan?”

“Menurut lo, seorang Nadira Tri Utami menaruh rasa ke Rizky Mahendra itu hal yang pantas atau nggak?”

Dan, “menurut lo, Rizky Mahendra benar-benar nggak pantas untuk gue? Atau gue yang nggak pantas untuk dia?”

Jawab. Karena pertanyaan itu pun masih belum menemukan jawaban pasti di kepalaku.

Posting Komentar