Ilustrasi Essay "Antara Bumi, Spesies, dan Kehidupan: Egoisme untuk Kelangsungan Hidup" oleh Agun Sesar.
Sumber: Dok. Pinterest

Akhir-akhir ini, semakin banyak yang menyuarakan isu tentang krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Isu ini mulai disuarakan sekitar akhir abad ke-19, dimana banyak yang terdampak terhadap kerusakan lingkungan yang berkaitan dengan bencana alam. Akibat dari kerusakan lingkungan tersebut sangat banyak, mulai dari pemanasan global, naiknya permukaan air laut, perubahan musim dan iklim, kebakaran hutan, kekeringan, banjir, dan lain-lain. Semakin waktu berjalan, akibat dari kejadian tersebut semakin bertambah parah. Contoh yang dapat diambil akibat dari perubahan iklim tersebut, fenomena La Nina yang terjadi di Indonesia, serta maraknya banjir yang terjadi saat musim penghujan.

Fenomena tersebut sering terjadi dalam tiap tahun, dan berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung kepada manusia. Tagar-tagar dan kampanye mengenai menjaga Bumi-pun kini mulai ramai disuarakan. Ada banyak gerakan peduli lingkungan, baik itu gerakan bersifat kampanye atau sosialisasi, hingga berbentuk aksi nyata. Gerakan-gerakan tersebut semakin banyak tiap tahun, misalkan gerakan menanam pohon, gerakan membersihkan sampah, zero wasting life, mengurangi penggunaan sampah plastik, dan lain-lain.

Namun, yang jadi pertanyaan besar bagi kita semua adalah, apakah selama ini kampanye tentang #savetheearth, #selamatkanbumi, #jagaiklim, dan semacamnya adalah untuk menyelamatkan Bumi? Bukankah Bumi sejak miliaran tahun sudah ada dan telah melewati berbagai zaman yang terdingin sampai ke terpanas? Ataukah hanya pengalihan saja, bahwa kita sebagai manusia tak dapat hidup jika kondisi Bumi yang kian memburuk? Berarti gerakan-gerakan itu untuk menyelamatkan spesies homo sapiens (manusia)? Tetapi, justru dengan adanya manusia, bukannya spesies yang lainnya dan keadaan Bumi yang memburuk? Ataukah memang manusia yang menjadi sumber permasalahan selama ini baik bagi Bumi maupun spesies lain? Apakah semua ini untuk Bumi, spesies manusia atau kehidupan? Sungguh keegoisan yang tak terpikirkan, bahwa satu-satunya yang ingin diselamatkan selama ini hanyalah kita sebagai spesies homo sapiens (manusia).

Perkara hal tersebut masih kurang bahkan tidak disadari oleh kebanyakan orang. Setiap waktu selalu mengkampanyekan penyelamatan Bumi, padahal meskipun tak ada satu makluk-pun di Bumi, Bumi akan tetap ada. Berbeda hal-nya dengan makhluk hidup, yang tak akan bisa bertahan hidup tanpa Bumi dan kondisi yang mendukung kehidupan seperti ini. Bumi telah berusia sekitar 3,5 milyar tahun yang lalu, dan tidak akan ada pengaruhnya kepada Bumi bila tumbuhan tak ada. Berbeda hal-nya dengan makhluk hidup, yang tak dapat bertahan hidup termasuk spesies manusia (homo sapiens) tanpa adanya Bumi.

Sungguh egois makhluk yang bernama manusia ini. Mentang-mentang diberkahi sebuah pikiran dan kesadaran otaknya, tetapi dalam perilakunya selalu mengemukakan hal yang tak berterus terang. Sejatinya, dapat disampaikan kebenaran, bahwa kita perlu dan harus menjaga keadaan Bumi yang seperti ini untuk kita sendiri, bukakn untuk Bumi. Ada banyak kerusakan yang telah terjadi sejak spesies manusia dilahirkan, dan itu semua telah berdampak yang cukup besar sampai saat ini, dan akan semakin parah bila tak melakukan tindakan serius. Jangan sampai dengan kehadiran manusia, justru hanya sebagai pembawa petaka untuk makluk lainnya, yang jelas-jelas menyumbang banyak fenomena bencana yang tak lain disebabkan oleh manusia itu sendiri.

Dengan itu, mari menjaga ekosistem dan keadaan Bumi saat ini. Sebab, jika keadaan yang seperti ini terus dilakukan, membuat kondisi Bumi semakin parah hingga tak dapat dihuni oleh manusia. Meskipun seorang ahli biologi memprediksi bahwa Bumi akan kembali ke keadaan semula yang panas dan tak memiliki tumbuhan dalam 200 juta tahun yang dihuni oleh makhluk yang ber-sel satu, tetapi bukan berarti kita dapat mencegah hal tersebut terjadi. Saat ini, kita hanya memiliki beberapa pilihan. Bertahan dan memperbaiki kondisi Bumi sehingga tetap layak untuk dihuni untuk manusia dan makhluk lainnya, mencari tempat yang layak dan mendukung untuk penghidupan spesies manusia, atau spesies manusia akan punah dalam waktu dekat.

Pikirkan dengan baik, karena ini menyangkut persoalan eksistensi dan kehidupan ke depannya, agar kita tak dipenuhi oleh egoisme untuk kelangsungan hidup kita semua.

Terima kasih.


Daftar Pustaka

Spang, A., Saw, J. H., Jorgensen, S. L., Zaremba-Niedzwiedzka, K., Martijn, J., Lind A. E., … & Ettema, T. J. (2015). Complex Archaea That Bridge The Gap Between Prokaryotes and Eukaryotes. Nature, 521(7551), 173-179.

Sulkan, M. (2020). Pemanasan Global dan Masa Depan Bumi. Alprin.

Harun, M. (2011). Al Gore, Our Choice : Rencana Untuk Memecahkan Krisis Iklim, Terjemahan: Hardono Hadi, Yogyakarta: Kanisius, 2009, 248 hlm. Diskursus Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara, 10(2), 263-266.

Bustan, F., & Bhae, Y. (2020). Menyingkap Eksistensi Manusia Sebagai Homo Sapiens, Animal Symbolicum, dan Homo Loquens. Jurnal Optimisme, 1(1), 29-32.

Jusfarida, J., Wibowo, H. T., Agustine, D. W., & Abdilbar, A. A. (2020). Peranan Fosil Untuk Mengetahui Sejarah Bumi dan Peradaban Masa Lampau (Sosialisasi Ilmu Geologi Bagi Guru-Guru Sejarah). KOMMAS: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(2).

Hasan, S. H. (2019). Pendidikan Sejarah Untuk Kehidupan Abad Ke-21. HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, 2(2), 61-72.

Harari, Y. N. (2018). Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia. Pustaka Alvabet.


Penulis:

Agun Sesar, akrab disapa Agung/Agun. Seorang mahasiswa Psikologi juga suka membaca, bertanya, dan menuangkan hasil pikiran ke dalam bentuk tulisan.

Posting Komentar