Ilustrasi Opini "Meningkatkan Partisipasi Mahasiswa dalam Pengawasan Isu Kekerasan Seksual"
Sumber: Pinterest


Opini ini ditulis oleh Muh. Riyadh Ma’Arif, Fakultas Psikologi UNM 

NIM. 1971042041

Pendahuluan

Akhir-akhir ini marak terjadi kasus kekerasan seksual di ruang publik seperti di lingkungan kampus dan lingkungan kerja. Tidak hanya dalam bentuk fisik, selama Pandemi Covid-19 ditemukan beberapa trend model baru yaitu perilaku pelecehan seksual berbasis digital yang paling marak terjadi adalah revenge porn, perilaku ini dicirikan dengan penyebaran gambar maupun video tidak senonoh secara daring dengan pemanfaatan jaringan tanpa persetujuan mantan atau kekasih dengan motif balas dendam.

Pada 19 November 2021, Media Tempo meletakkan isu kekerasan seksual sebagai isu “Top Nasional” yang berisikan penjelasan dari Akademisi Universitas Airlangga (Unair), Liestianingsih Dwi Dayanti, bahwa kekerasan seksual yang terjadi seperti di Universitas Riau (Unri) merupakan fenomena gunung es. "Angkanya cukup tinggi, namun tidak semua penyintas atau korban mau speak up," hal ini tentunya menggiring opini bahwa kasus kekerasan seksual masih marak terjadi dan belum tertanangi secara maksimal di Indonesia. Informasi dari Menteri P3A pada Data Catatan Tahunan 2020 juga menunjukkan selama 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat 792% (hampir 8 kali lipat). Selanjutnya, dalam laporan  Komnas HAM periode Januari – Juni 2021 mencatat sebanyak 2.592 terjadi kasus kekerasan seksual, mengalami peningkatan dibandingkan 2 tahun sebelumnya, sebanyak 1.419 kasus yang dilaporkan tahun 2019, sedangkan tahun 2020 terdapat 2.389 kasus. Bahkan, dalam penelitian terbaru Komnas HAM (2021) terdapat 1.011 kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi Islam. Argumen diatas juga diperkuat berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Kemendikbud-Ristek pada tahun 2020 yang menemukan 77% dosen di perguruan tinggi menyatakan pernah terjadi kasus kekerasan seksual di kampus mereka. 

Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi diperparah dengan tidak adanya keadilan dan pemulihan atas dampak yang mereka alami secara merata. Terdapat berbagai hambatan baik dari sisi peraturan perundang-undangan, cara kerja dan persfektif aparat penegak hukum, tidak terintegrasinya sistem hukum pidana dengan sistem pemulihan, dan budaya mempersalahkan yang masih kental terjadi di masyarakat Indonesia. Mengakibatkan korban takut atau enggan melaporkan ke pihak berwenang karena kurangnya pendampingan dan perlindungan hukum dari pemerintah, mereka lebih memilih untuk memendam sebagai bentuk defense mechanism mereka agar terhindar dari stigma buruk masyarakat dan tekanan dari para pelaku, sehingga memperparah kondisi psikologis korban yang dapat mengakibatkan trauma yang mendalam, selain itu stres yang dialami korban dapat menganggu fungsi belajar dan kualitas kerja yang menurun.

Kemudian, dampak fisik dari kekerasan dan pelecehan seksual juga dapat memicu penularan Penyakit Menular Seksual (PMS). Berdasarkan dampak yang diakibatkan, maka perlu disahkan suatu kebijakan sebagai pedoman utama yang memuat tentang pencegahan, perlindungan, pemberian sanksi tegas, dan pendampingan yang pro terhadap korban tindak pelecehan seksual.


Pembahasan

Menurut Freud kepribadian terdiri atas tiga sistem atau aspek yaitu: id (aspek biologis), ego (aspek psikologis) dan superego (aspek sosiologis). Id merupakan lapisan psikis yang paling dasar, yang dikuasai oleh eros dan thanos. Dalam id terdapat naluri-naluri bawaan biologis (seksual dan agresif, tidak ada pertimbangan akal atau etika, hanya pertimbangan kesenangan) serta keinginan-keinginan yang direpresi. Sedangkan naluri id merupakan prinsip kehidupan yang asli atau pertama, Freud menamakannya “prinsip kesenangan,” yang tujuannya adalah untuk membebaskan seseorang dari ketegangan atau mengurangi jumlah ketegangan sehinga menjadi lebih sedikit dan untuk menekannya sehingga sedapat mungkin menjadi tetap. Agar tidak terjadi konflik, maka dari itu ego diperlukan sebagai aktualisasi dari hasrat id. Ego merupakan sistem kepribadian yang didominasi kesadaran yang terbentuk pada struktur kepribadian individu yang mengontrol dan memerintahkan id dan superego. Menurut Freud, superego merupakan internalisasi individu tentang nilai masyarakat, karena pada bagian ini terdapat nilai moral yang memberiakan batasan baik dan buruk. Adapun fungsi pokok dari superego jika dilihat dari hubungan dengan ketiga aspek kepribadian adalah merintangi impuls-impuls ego terutama impuls-impuls seksual dan agresif yang pernyataannya sangat ditentang oleh masyarakat dan mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal yang moralistis daripada yang realistis serta mengejar kesempurnaan yang diserap individu dari lingkungannya.

Keterkaitan perilaku kekerasan seksual dengan teori psikoanalisa Freud dapat ditemukan akibat ketidakseimbangan hubungan antara Id, Ego dan Superego yang membuat manusia lemah imannya dan akibatnya melakukan perilaku menyimpang atau kejahatan. Freud menjelaskan kejahatan dari prinsip “kesenangan” sebagai naluri bawaan. Manusia memiliki naluri dasar biologis yang sifatnya mendesak dan bekerja untuk meraih kepuasan (prinsip kesenangan). Di dalamnya termasuk keinginan untuk makan, seks, dan kelangsungan hidup yang dikelola oleh Id. Freud percaya bahwa jika kebutuhan dasar tidak bisa diperoleh secara legal atau sesuai dengan aturan sosial, maka orang secara naluriah akan mencoba untuk melakukannya secara ilegal.

Sehingga dapat disimpulkan melalu pandangan teori ini kejahatan bukanlah hasil dari kepribadian kriminal, tapi dari kelemahan ego. Ego yang tidak mampu menjembatani kebutuhan superego dan id akan membuat manusia rentan melakukan penyimpangan. Maka diperlukan desain pembaharuan hukum tentang pengendalian kekerasan seksual yang bersifat Prefentif, Represif, dan Kuratif untuk meminimalisir perilaku-perilaku kekerasan seksual di Indonesia.

Salah satu bentuk perwujudlam modernisasi parlemen di Indonesia adalah peluncuran program Parlemen Terbuka atau Open Parliament Indonesia (OPI). OPI merupakan program yang dideklarasikan pada 29 Agustus 2018 untuk mendukung proses kerja lembaga legislatif menjadi terbuka, transparan, inklusif, dan akuntabel sehingga perumusan kebijakan dan kinerja Anggota Dewan dapat diakses dan menjawab kebutuhan publik. Open Parliament juga merupakan bagian dari inisiatif global Open Government Partnership (OGP), mendorong negara-negara anggotanya agar lebih terbuka dan membangun kolaborasi publik dalam melaksanakan pembangunan. 

Gagasan OPI merupakan bentuk realisasi dari ketetapan Pasal 28F UUD 1945 “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki dan menyimpan Informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Pasal 23 ayat 1 UUD 45 telah ditetapkan bahwa “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggurg jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mengatur penyediaan informasi oleh badan publik. Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik di DPR RI. Dalam pelaksanaan, landasan hukum OPI juga didukung dari keanggotaan Indonesia dalam Inter Parliamentary Union (IPU), Global Organization for Parliamentary Against Corruption (GOPAC) dan Open Government Partnership (OGP). 

Nilai-nilai OPI mendorong tata kelola parlemen yang bersih, efektif, dan terpercaya. Tujuan ini kemudian diterjemahkan dalam nilai-nilai: 

1) Transparansi, diwujudkan melalui pembukaan akses publik ke perangkat maupun kegiatan-kegiatan parlemen. Nilai transparansi bertujuan untuk melanjutkan konsolidasi demokrasi untuk memulihkan kepercayaan publik. 

2) Partisipasi, diwujudkan dengan mempromosikan partisipasi publik melalui pembukaan ruang-ruang publik. Hal ini dimaksudkan agar partisipasi publik menjadi bagian dari proses pengambilan kebijakan publik.

Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kemudahan dan akses publik terhadap parlemen. Akuntabilitas, dimaksudkan agar mekanisme pertanggungjawaban parlemen kepada publik dapat didorong. Inklusif, dimaksudkan agar kebijakan keterbukaan parlemen (open Parliament) dapat dirasakan langsung dampaknya kepada seluruh kelompok masyarakat.

Mahasiswa sangat berpotensi menciptakan ragam solusi dalam hal mengawal isu-isu yang terjadi di negeri kita, dengan keragaman disiplin ilmu mahasiswa bisa melakukan penjaringan skala regional (per-provinsi) untuk melakukan kolaborasi dalam penyelesaian persoalan-persoalan secara ilmiah, yang salah satunya adalah pengawalan isu kekerasan seksual. 

Zainuddin (2020), menyampaikan tiga alasan mengapa mahasiswa perlu dilibatkan dalam gerakan perubahan yang lebih baik terkait pelaksanaan fungsi DPR RI, diantaranya:

1) Sebagai Agen of Social Change and Social Control, mahasiswa berperan sebagai aset bangsa yang menentukan harapan dan masa depan bangsa, berperan sebagai generasi penerus yang akan melanjutkan perjuangan generasi sebelumnya, dan mahasiswa juga memiliki kontrol sosial terhadap kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. 

2) Sebagai Moral Force and Guardian of Value, Mahasiswa mampu menciptakan gerakan yang bertumpu pada nurani luhur dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, dan mempunyai peran untuk menjaga agar nilai-nilai luhur yang menjadi legasi dan jati diri bangsa tetap lestari, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.

3) Sebagai Iron Stock, Mahasiswa dianggap punya akses yang lebih mudah terhadap ilmu pengetahuan. Ketika mahasiswa mampu melihat secara kritis kondisi sosial yang ada maka ia bisa mengupayakan perubahan agar masyarakat hidup dalam kondisi yang jauh lebih baik.

Dalam hal modernisasi parlemen, mahasiswa bisa memanfaatkan salah satu layanan website https://openparliament.id/ pada kolom "Contribution" untuk berbagi gagasan ilmiah sebagai masukan bagi DPR RI untuk menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan terkait penyelesaian kasus kekerasan seksual. Melalui OPI, memudahkan mahasiswa melakukan pemantauan produk legislasi DPR RI tentang UU TPKS, mahasiswa bisa memanfaatkan website DPR RI (www.dpr.go.id) untuk mengetahui perkembangan pembahasan RUU, dengan melihat laporan singkat, dan risalah rapat agar mahasiswa mengetahui dinamika pembahasan RUU tersebut. Sehingga kesalahpahaman antara DPR RI dengan para Mahasiswa dapat diminimalisir.

Selanjutnya, terkait dengan mobilisasi massa pergerakan mahasiswa. Mahasiswa bisa membentuk forum/organisasi untuk menampung aspirasi-aspirasi terkait kasus kekerasan seksual, sebaiknya didirikan di setiap perguruan tinggi dan jika perlu didirikan per-fakultas dengan pembagian topoksi ranah kerja. Per-fakultas membuka layanan pengaduan untuk mahasiswa dengan fakultas yang sama, sedangkan di tingkat perguruan tinggi membendung keluhan-keluhan mahasiswa dengan kasus berkomplikasi, dan masyarakat sekitar terkait kasus kekerasan seksual. Gerakan ini perlu pembimbingan dari dosen, namun tetap memberikan independensi kepada mahasiswa agar mereka bebas mengawasi tindak kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Dalam menjalankan program pos pengaduan ini, mahasiswa perlu melakukan evaluasi, pembuatan narasi ilmiah, dan kampanye untuk mengatasi maraknya kejadian kasus kekerasan seksual.


Kesimpulan

Menurut teori Psikoanalisa Freud pelecehan seksual terjadi karena pelaku gagal dalam mengendalikan ego untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Selanjutnya berdasarkan penelitian Komnas Perempuan, kekerasan seksual terjadi karena pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih dari pada korban. Kasus kekerasan seksual tidak bisa disamakan dengan tindakan kriminal lainnya, sebab ranah seksual menyinggung kebutuhan mendasar bagi manusia dan dampak yang diakibatkan bukan hanya fisik namun kondisi mental juga. Sehingga hanya dengan pemberian sanksi akan tidak efektif tetapi perlu adanya pencegahan, penindakan, dan pemulihan bagi korban hingga pelaku. 


Rujukan

Buku

A. Thahir. (2016). Psikologi Kriminal. Jakarta: RajaGrafindo Perkasa

Joseph R, Judith, William. (1995). Procrastination and Task Avoidance Theory, Research, and Treatment. New York: Plenum Press

Lexy J Moleong. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Penerbit Remadja Rosdakarya. 2004

Dokumen

Naskah Akademik RUU PKS (2020).

Regulasi dan Booklet OPI 2021.

Berita dan Artikel

Delvira. “Alasan RUU TPKS Gagal Dibawa ke Paripurna DPR”. https://www.liputan6.com/news/read/4767185/alasan-ruu-tpks-gagal-dibawa-ke-paripurna-dpr. dipublikasikan pada 16 Desember 2021

CNN. “Ada 2.500 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Sepanjang 2021”. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210819042140-20-682186/ada-2500-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-sepanjang-2021. dipublikasikan pada 19 Agustus 2021

Kominfo. “Tetaskan Solusi Cegah Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi”. https://www.kominfo.go.id/content/detail/38072/tetaskan-solusi-cegah-kekerasan-seksual-di-perguruan-tinggi/0/berita. dipublikasikan pada 11 November 2021

Tempo. “Top Nasional: Kekerasan Seksual di Kampus”. https://nasional.tempo.co/read/1530527/top-nasional-kekerasan-seksual-di-kampus-dan-pembubaran-mui. dipublikasikan pada 20 November 2021

Zainuddin. 2020. "Peta Gerakan Mahasiswa Indonesia".https://www.uin-malang.ac.id/r/ 201001/peta-gerakan-mahasiswaindonesia.html. Dipublikasikan pada 23 Oktober 2020

Posting Komentar