Ilustrasi Sastra "Bocah Idealis dari Kota Metropolis".
Sumber: Pinterest


Kuhampiri isak tangis seorang pemuda.

Bukan diriku jika tidak oportunis, tanpa pikir panjang kulayangkan pertanyaan seksis.

"Apa yang dapat membuat dirimu, seorang pemuda yang harusnya bergagah-gagahan, malah menangis?"

Tatapnya terpaku pesimis, sembari melontarkan kata-kata indah layaknya cerpenis. Menurutku mempermanis.

"Mengapa baru kusadari, aku hanya bocah idealis dari kota metropolis."

"Berusaha perfeksionis, di tengah orang-orang yang hedonis."

"Humanis, kata favorit mereka, kata manis pemauk hati-hati muda yang sinis."

"Bina, bina yang seharusnya mereka terima justru mendapatkan hina."

"Aman, aman yang harusnya dirasakan oleh mereka, menjadi rasa rawan."

"Bukan ilusionis, tapi yang dulunya harmonis kini berubah layaknya antagonis."

"Jabat tangan berubah menjadi panco, ironis."

Ia terdiam sejenak. Menunduk lebih dalam menekan pelipis.

"Ditawan oleh tautan jari kelingking, sebagaimana cincin pada jari manis."

Ia kembali terdiam, sepertinya tidak berniat bersuara lagi. Kuhembuskan nafas panjang.

"Fonis." jawabku.

Entah apa yang berusaha ia sampaikan, tapi menurutku wajar saja membuat seorang bocah idealis dari kota metropolis menangis.

- oleh Ahmad Ridha

Posting Komentar