Ilustrasi "Alami KDRT, Berikut Alasan Perempuan Memilih Bertahan".
Sumber: Google

Salah satu publik figur Indonesia, Lesty Kejora menjadi sorotan media setelah mendapatkan perlakuan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dari suaminya Rizky Billar tetapi kemudian memilih untuk mencabut laporannya dan mengambil jalur damai. Hal ini memicu pro dan kontra dari masyarakat. Ada yang mendukung Lesty atas keputusannya dan ada juga yang menyayangkan keputusan Lesty tersebut. 

Kasus KDRT memang tidak ada habis-habisnya. Menurut data KemenPPA, hingga Oktober 2022 sudah ada sebanyak 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia, sebanyak 79,5% atau 16.745 korban adalah perempuan. Tidak sedikit dari perempuan yang menjadi korban KDRT memilih untuk bertahan dalam hubungan yang disertai kekerasan atau abusive relationship tersebut. 

Mengapa mereka memilih untuk tetap bertahan dalam hubungan abusive?

Dilansir dari pijarpsikologi.org kebanyakan perempuan yang berada dalam abusive relationship mengalami defisit motivasi kognitif yang menghalangi mereka untuk mencari bantuan atau informasi, serta mengakibatkan mereka kehilangan kontrol atas diri dan memercayai bahwa tidak ada satu hal pun yang dapat mereka lakukan untuk keluar dari abusive relationship. Misalnya beberapa perempuan merasa bahwa dirinyalah yang bersalah dan pantas mendapatkan kekerasan. Ada juga yang menganggap perilaku abusive yang ditunjukkan merupakan bentuk kepribadian tegas dari pasangannya.

Nah, menurut Ciciek (1999), penyebab perempuan bertahan dalam hubungan abusive antara lain karena: 
a. Takut pembalasan suami, banyak istri diancam dengan penganiayaan yang lebih kejam, bahkan sampai pembunuhan, jika mereka berupaya meninggalkan rumah.
b. Tidak ada tempat berlindung, banyak istri bergantung secara ekonomi kepada suaminya. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali mencoba bertahan dalam derita yang berkepanjangan.
c. Takut dicerca masyarakat, banyak perempuan takut dicap sebagai perempuan yang tidak baik karena diketahui sebagai korban kekerasan akibat didera suami, sebagian tidak siap dengan status sosial sebagai janda, karena masyarakat menganggap rendah.
d. Rasa percaya diri yang rendah akibat penganiayaan baik secara jasmani, rohani maupun seksual, istri merasa tidak berarti dan tidak percaya mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah.
e. Untuk kepentingan anak, istri khawatir anak-anaknya akan mengalami penderitaan yang lebih buruk, jika berpisah dengan ayah mereka.
f. Sebagai istri tetap mencintai suami mereka, mereka mendambakan berhentinya kekerasan bukan putusnya perkawinan, mereka berharap suaminya akan berubah menjadi baik kembali.
g. Mempertahankan perkawinan, banyak istri yang percaya bahwa perkawinan itu sesuatu yang luhur dan perceraian adalah sesuatu yang buruk, sehingga harus dihindari. Mereka beranggapan lebih baik tetap menderita dalam perkawinan dari pada bercerai karena tabu atau dilarang oleh agama.

Trauma Bonding

Korban akan kembali kepada pelaku, bahkan setelah berkali-kali mengalami kekerasan. Fenomena ini disebut dengan trauma bonding. Trauma bonding adalah ikatan emosional antara korban dan pelaku kekerasan. Ikatan tersebut tercipta karena adanya siklus kekerasan dan diikuti tindakan positif yang dilakukan pelaku. 

Trauma bonding bisa saja menciptakan perasaan yang kuat. Misalnya setelah melakukan kekerasan pelaku akan menyatakan cinta, penyesalan, dan membuat hubungan seolah baik-baik saja. Hal ini membuat korban kebingungan dan merasa terbebani saat ingin meninggalkan pelaku. (NE)

Referensi: 

Ciciek, Farha. (1999). Ihtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: The Asia Foundation

Hardiyanto, H. Pijarpsikologi.org. (2018, April 6). Abusive Relationship: Mengapa Perempuan Memilih Bertahan?. Diakses dari https://www.google.com/amp/s/pijarpsikologi.org/blog/abusive-relationship-mengapa-perempuan-memilih-ber…

Posting Komentar