Fakultas Psikologi UNM.
Sumber: Dok. LPM Psikogenesis

Muh. Riyadh Ma’arif

(Ketua Komisi III Maperwa Kema FPsi UNM)

"Jangan pernah berasumsi bahwa setiap kritikus adalah pembenci. Tidak semua orang membencimu. Beberapa orang menyayangimu dengan mengatakan yang sebenarnya."

Buku adalah kapal pesiar bagi siapa saja yang ingin mengarungi luasnya lautan ilmu”. Kiasan tersebut dapat dimaknai betapa pentingnya buku untuk para kaum intelektual dalam memperkaya khazanah keilmuannya. Dalam dunia kampus, mahasiswa idealnya diberikan fasilitas buku yang baik untuk mengasah nalar kritis, pemikiran yang logis, dan referensi demi menciptakan berbagai inovasi serta solusi untuk memecahkan masalah yang ia temui dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pentingnya buku bagi peradaban bangsa Indonesia yang merdeka merupakan ihwal dari para tokoh bangsa yang tidak melepaskan buku dan penanya dalam perjuangan untuk memerdekakan dan menyejahterakan masyarakat Indonesia. Sayangnya, kebiasaan membaca buku bukanlah kebudayaan masyarakat Indonesia secara umum, hal tersebut dapat kita lihat dari indeks literasi Indonesia yang masih berada pada peringkat ke-62 dari 70 negara di dunia Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019. Data tersebut menunjukkan adanya argumentasi pesimis untuk menyambut Indonesia Emas pada tahun 2024 kelak, yang bila mana pemerintah khususnya yang menaungi bidang pendidikan tidak meniscayakan kebebasan akses untuk memperoleh sumber pengetahuan sebagai dukungan mewujudkan pilar; Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan, Pemerataan Pembangunan, serta Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Pemerintahan, sebagai visi Indonesia Emas 2024. Berarti sama saja menyia-nyiakan bonus demografi dan meniscayakan terwujudnya petaka besar bagi Indonesia diakibatkan kualitas SDM yang kalah saing dengan negara lain, sehingga menjadikan Indonesia hanya sebagai penonton – bukan pelaku dalam membangun peradaban dunia.

Pentingnya literasi yang digaungkan oleh Deni Kurniadi sebagai Kepala Deputi Bidang Pengembangan Bahan Perpustakaan, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) menyebutkan bahwa literasi telah diadopsi sebagai salah satu indikator penting dalam pembangunan yang memiliki dampak sosial-ekonomi, dan literasi juga berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi yang membawa kesejahteraan. Selanjutnya menurut Deni, perguruan tinggi pun memiliki andil dalam mendukung penguatan budaya literasi karena Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten, unggul, dan produktif, dapat diciptakan jika perpustakaan bisa merangkul seluruh potensi. Dengan segala penelitian dan ilmu pengetahuan yang ada untuk disampaikan kepada masyarakat dan menjadi bekal untuk meningkatkan kualitas diri.

Agak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh birokrat Fakultas Psikologi UNM, alih-alih menghimbau atau menciptakan program agar mahasiswanya tertarik untuk meramaikan perpustakan agar budaya literasi kian tumbuh dan mengakar, malah menetapkan regulasi untuk menyuruh mahasiswanya menyumbangkan buku demi mendapatkan kartu akses ke perpustakaan yang menurut saya berpotensi membuat mahasiswa semakin enggan mengunjungi perpustakaan fakultas. Regulasi semacam ini menurut saya sangat melenceng dengan tujuan pemberadaan perpustakaan itu sendiri dan jauh dari perolehan manfaat perpustakaan yang dapat dirasakan oleh mahasiswa, walaupun diketahui bahwa itikad tersebut dilandasi dengan alasan mendisiplinkan mahasiswa agar segera membuat kartu akses dalam satu tahun awal masa kuliah. Namun, cara tersebut menurut saya tidak menggambarkan citra birokrat yang humanis, malah terpaku pada suatu teori yang mengharapkan dampak dari 'punishment' agar perilaku tersebut dapat diatasi, dalam hal ini kedisiplinan pembuatan kartu akses oleh mahasiswa. Selanjutnya, pernahkah kita berpikir, bahwasanya dalih tersebut bukan merupakan satu-satunya solusi? Bagaimana jika ada faktor lain yang membuat mahasiswa tidak mengurus kartu akses tersebut? Pernahkah pihak pengelola melakukan introspeksi? sehingga pertanyaan yang timbul adalah "Apakah selama ini sosialisasi pembuatan kartu akses oleh pengelola perpustakan tidak efektif? Atau dana yang seharusnya dialokasikan untuk pengadaan buku malah dialokasikan ke bagian lainnya, sehingga perpustakaan kekurangan dana?" Pertanyaan kritis ini perlu saya ajukan untuk memantik nalar kritis bagi mahasiswa khususnya aktivis mahasiswa Fakultas Psikologi UNM untuk memberantas kesenjangan yang terjadi di fakultas kita yang tercinta.

Pentingnya peran perpustakaan sebagai modal ataupun perkakas mahasiswa dalam mengulas persoalan-persoalan yang ditemuinya dan tujuan dari pengadaan perpustakaan itu sendiri sebagai koloseum untuk mengadu pemikiran demi melahirkan pemikir yang tangguh. Memotivasi saya untuk menyampaikan maksud tulisan yang saya buat sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas: “Bahwa secara tegas saya menentang regulasi tersebut untuk ditetapkan." Sebab dalam UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 8 bahwa pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi merupakan tanggung jawab pribadi civitas akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan perguruan tinggi. Selanjutnya, pada Pasal 13 menjelaskan bahwa mahasiswa sebagai insan yang dewasa secara aktif mengembangkan potensinya dengan melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan, dan pengamalan suatu cabang Ilmu pengetahuan dan/atau teknologi untuk menjadi ilmuwan, intelektual, praktisi, dan/atau profesional yang berbudaya. Dimana dalam perwujudannya membutuhkan peranan dari fakultas untuk menyediakan fasilitas dan prasarana yang memadai khususnya perpustakaan yang harus terbuka seluas-luasnya bagi mahasiswa itu sendiri!!!


Referensi

Bappenas. (2019). Indonesia 2045. Diakses 14 November melalui https://perpustakaan.kemendagri.go.id/?p=4661

Posting Komentar