Ilustrasi Psikologika "Self-Diagnose? Jangan Sok Ngerti".
Sumber: Pinterest

Self-diagnose menjadi salah satu tren di kalangan masyarakat Indonesia, terutama kaum muda. Dikutip dari Kompasiana, tren ini dibuka oleh penayangan film Joker (2019) yang banyak mengulas isu ini di film. Berangkat dari film Joker tidak sedikit penonton yang mengklaim sifat Joker adalah gambaran dirinya yang tersakit, orang jahat berasal dari orang baik yang tersakiti. Tren ini didukung dengan munculnya lagu-lagu yang mengangkat tema mental issues, seperti Kunto Aji dalam album Mantra-Mantra Lirik dan Hindia dengan lagu Secukupnya. Sehabis mendengar lagu-lagu tersebut, banyak yang merasa terwakilkan dan mengklaim dirinya mengidap gangguan mental.

Sebelum lebih lanjut, marilah kita menilik apa self-diagnose itu. Menurut Aaiz Ahmed dan Stephen S. (2017) mengemukakan self-diagnose adalah proses dimana individu mengamati dalam diri mereka sendiri, gejala patologi dan mengidentifikasi penyakit atau gangguan tanpa konsultasi medis. Di sini, seorang individu mungkin menyesuaikan perilaku atau sifat disposisional yang ditentukan secara kontekstual dengan gejala. Self-diagnose telah dipelajari secara beragam sebagai proses perilaku kognitif-perilaku atau emosi yang diinduksi, dibedakan dengan adanya tekanan emosional.

Berdasarkan hasil survei dari Millennial Mindset: The Worried Well pada tahun 2014, 37% responden Gen Y terkadang melakukan self-diagnose terkait masalah kesehatan mental yang sebenarnya tidak mereka miliki. Tren ini juga tidak lepas dari pengaruh dari internet, pencarian di internet untuk diagnosis dapat menciptakan siklus ‘pencarian dan stress’, dengan 44% dari Gen Y menyatakan bahwa melihat informasi kesehatan online menyebabkan mereka khawatir tentang kesehatan mereka. Informasi yang mereka terima tidak memiliki kevalidan, tidak memiliki referensi, dan tidak ada yang meregulasi informasi yang tersebar dengan cepat.

Menurut Ateev Mehrotra, Associate Professor Kebijakan Kesehatan dan Pengobatan di Harvard Medical School dan Beth Israel Deaconess Medical Center, hal ini mungkin berguna untuk pasien yang masih mencoba untuk memutuskan apakah mereka harus pergi ke dokter segera. Tetapi dalam banyak kasus, pengguna harus berhati-hati dan tidak mengambil informasi yang mereka terima dari pemeriksaan gejala online sebagai patokan utama.

Kamu mungkin pernah melakukan self-diagnose, ini terjadi karena mungkin kamu pernah membaca sekilas informasi tentang suatu mental health disorder, lalu dari informasi yang sekilas dan tidak jelas asal usulnya kamu cenderung merasionalisasi bahwa kamu sedang mengalami mental health disorder

Menurut American Psychology Association, manusia cenderung mencari informasi yang memperkuat keyakinannya yang sudah ada, hal ini disebut confirmation bias. Setelah proses itu kamu seolah-olah menderita mental health disorder yang kamu diagnosis sendiri, dari hal itu dapat menyebakan banyak masalah. 

Mengutip pernyataan Dr. Srini Pillay, M.D yang sudah berpengalaman selama 25 tahun sebagai psikiatri dan menjabat sebagai Asisten Profesor Psikiatri di Harvard Medical School, apa saja bahaya yang didapatkan ketika melakukan diagnosis terhadap diri sendiri?

1. Tidak dapat membedakan penyakit medis yang menyamar sebagai sindrom kejiwaan.

2. Meragukan kemampuan profesional (seperti dokter dan psikolog).

3. Kamu mampu melihat dan mengenal diri sendiri, tetapi kamu membutuhkan cermin untuk melihat diri kamu lebih jelas. Dalam hal ini, dokter dan psikolog lah yang berperan sebagai cermin.

4. Menganggap keadaan diri sendiri sangat buruk. Kenyataannya tidak seburuk itu atau bahkan baik-baik saja.

5. Menyangkal tentang gejala yang dialami (denial).

6. Apa yang dirasakan belum tentu menganggu produktifitas sehari-hari, sehingga tidak dapat diklasifikasikan sebagai masalah psikologis.

Lebih lanjut, Srini Pillay, M.D menulis artikel di Psychology Today mengungkapkan bahaya terbesar dari self-diagnose yakni orang yang melakukan self-diagnose mungkin akan melewatkan penyakit medis yang menyamar sebagai sindrom psikiatri. Misalnya, kamu mendiagnosis diri dengan gangguan panik atau depresi, kamu mungkin melewatkan diagnosis detak jantung yang tidak teratur atau hipertiroidisme. Bahkan lebih parah tumor otak dapat hadir dengan perubahan kepribadian, psikosis atau depresi.

Adapun cara mengatasi self-diagnose adalah sebagai berikut (Ahmed & Stephen, 2017): 

Cara mengatasinya pertama adalah lebih selektif dalam memilih informasi di internet, ingat manusia cenderung mencari informasi yang mendukung kepercayaannya, pastikan kamu mencari informasi dari banyak sumber yang jelas. Sumber yang jelas di sini adalah informasi yang memiliki referensi dan sumber yang dapat mempertanggungjawabkan informasinya. 

Selanjutnya setelah kamu mendapatkan informasi yang jelas dan masih merasa diri kamu mengalami gejala sama dengan salah satu penyakit yang informasinya didapatkan dari internet, maka sebaiknya kamu pergi ke ahlinya. Melalui ahli kamu dapat lebih mengetahui apa yang kamu alami. Kalau kamu melakukan self-diagnose itu seperti kamu berada dalam ruangan gelap, kamu ketahui ada barang di sana tetapi kamu tidak mengetahui bentuk, tekstur, rasa, berat, dan lain-lain. Untuk mengetahui bentuk, tekstur, dan lain-lain itulah kamu membutuhkan ahlinya yang lebih mengetahuinya. Solusi terbaik adalah pergi ke ahlinya. (TFR)


Referensi

Ahmed, A. & S, S. (2017). Self-diagnose in Psychology Students. The International Journal of Indian Psychology, 4(86), 120-139.

American Psychological Association. (n.d.). APA Dictionary of Psychology. https://dictionary.apa.org/confirmation-bias

Psychology Today. Diakses pada 2020. The Dangers of Self-Diagnosis

Kompasiana. Diakses pada 2022. Mendengarkan Lagu-lagu yang Mendukung Self Diagnosis Hanya Memperkeruh Otakmu

Posting Komentar