Sukardi Weda, Eks WR III UNM.
Sumber: Google

Di siang cerah itu aku sedang dalam wajah semringah.

Betapa tidak aku baru saja meninggalkan BSI untuk menarik uang panai' putra saya.

Kebetulan di hari itu keluargaku akan mengantar putraku tercinta untuk mappettuada dengan perempuan yang ia kenal sejak hari pertama mereka bertemu di bangku SMA, saat PSB.

Sekonyong-konyong, HP-ku berdering dan mataku tertuju pada staf rektor UNM, Pak Mus, sapaan yang akrab saya sematkan kepadanya.

Pak Mus menyapaku dengan santun, 

"Pak Rektor memanggil kita' Prof."

Saya menjawabnya, 

"Iya segera aku ke ruangan Beliau."

Hati ini bercampur antara senang dan sedikit galau.

Senang karena setelah shalat Dzuhur akan kuantar putraku mappetuada, melamar wanita pujaannya.

Hatiku galau karena dipanggil oleh Rektor-ku yang sekonyong-konyong di siang bolong itu, 

"Ada apa?" gumamku.

Beberapa saat kemudian, aku tiba di Menara Pinisi. Menara yang 2 tahun 3 bulan bersamaku dalam suka dan duka.

Aku kemudian bergegas menemui Rektor-ku, aku titip tasku di pojok ruangan Pak Mus, staf Rektor-ku yang sangat santun ketika bercakap denganku.

Aku izin untuk menemui Pak Rektor, Pak Mus menyuruhku menunggu karena sedang ada tamu di ruang Rektor.

Setelah menunggu sesaat di ruang tunggu, sambil duduk entah apa yang kupikir karena pikiranku galau, antara bertemu Rektor-ku dan hajatan yang tinggal 3 jam. 

"Ada apa dengan diriku?"

Tibalah waktunya aku dipersilakan masuk oleh Pak Mus. Aku ketuk pintu ruang Rektor-ku, lalu wajahku kumasukkan sebagian dalam ruangan diikuti langkah tegapku. Aku duduk di kursi di depan meja Rektor-ku, sungguh bahagia diriku ini.

Di awal dari percakapanku dengan Rektor-ku aku sangat senang. Betapa tidak, raut wajah Rektor-ku begitu cerah dan bersemangat, beda dengan biasanya pada diriku gumamku dalam hati.

Maha Besar Allah, baru kali ini Rektor-ku memberikan ruang bagiku yang begitu indah, bak sedang dalam nirwana. Tawa, canda ria, dan semua plong, baru kali itu aku rasakan indahnya bersama dengan Rektor-ku.

Sekonyong-konyong Rektor-ku berkalimat,

"Pasti tersiksa ki' sebagai WR 3 toh."

Aduh, apa jawaban yang akan kuberikan merespon kalimat itu.

Akhirnya aku menyerah, aku tidak bisa berbuat banyak. Toh segalanya ada pada Rektor-ku, Rektor-ku kemudian berkalimat, 

"Saya akan mengganti Bapak (aku) esok hari."

Pengganti sudah dipersiapkan untukku, Rektor-ku sempat berkata, 

"Ada ruang-ruang yang menantimu."

Tapi aku tidak bisa berkalimat, aku tetap tegar menatap wajah Rektor-ku yang siang cerah itu bagaikan nirwana bagiku, tidak seperti biasanya.

Aku lalu keluar dari ruang Beliau, Rektor-ku yang tentu sangat aku sayang. 

Setiap kali saya katakan pada sahabat-sahabatku bahwa aku sangat menyayangi Rektor-ku. Bahkan aku sering berkata kalau aku siap mati untuk membela Rektor-ku kalau ada yang mencoba menyakitinya.

Tapi saya setiap saat termarjinalkan.

Tidak ada kuasa.

Lemah tak berdaya.

Aku keluar pintu depan ruang Rektor-ku lalu beranjak dengan tegar ke ruang Pak Mus. Kuambil tasku yang kutitip di pojok ruangan Pak Mus.

Aku pamit sambil bercanda, 

"Dalam tas ini ada uang panai' putraku."

Aku lalu pergi ke ruanganku di lantai 6. Aku bertemu putraku yang juga menyopiri aku saat itu, karena sopir yang selama ini bersamaku hilang tanpa kabar, bak ditelan bumi.

Dengan berupaya tegar kutelpon istriku tapi tidak diangkat. Kutelpon lagi juga tidak diangkat.

Lalu kutelpon putriku, tidak juga diangkat, kutelpon lagi juga tidak diangkat, karena di rumah sedang persiapan mappettuada, yang setelah itu tinggal sekitar 2 jam. 

Saat kutatap jam di ruanganku yang setia nenemaniku selama dua tahun tiga bulan, aku sampaikan putraku yang kebetulan ada bersamaku.

Ia yang membawa mobil. Ia juga yang akan melamar perempuan yang ia ketemu di awal studi SMA-nya. Seorang perempuan yang telah ditinggal mati sang ayah beberapa bulan lalu yang akan menjadikan aku sebagai ayahnya.

Siang itu, aku melayani mahasiswaku seperti biasanya. Setelah tidak ada lagi mahasiswaku yang butuh nasehat, bimbingan dan tanda tanganku, saya pamit kepada stafku, namanya Syamsu Rijal, aku sering memanggilnya Dinda Rijal, 

"Dinda aku pulang dulu yah."

Aku akan mengantar putraku yang saat itu mengantarku ke menara Pinisi untuk mappettuada.

Kulirik jam dinding di ruanganku, pukul 11:50, aku bergegas pulang, karena mappettuada akan segera berlangsung ba'da shalat dhuhur dan rumahku begitu jauh dari tempat aku memberikan layanan kepada mahasiswaku, teman diskusiku.

Saat tiba di rumahku di Sudiang, sudah ada beberapa orang yang akan mengantar putraku untuk mappettuada. Jumlahnya tidak banyak, tidak sampai 20 orang.

Putra bungsuku yang kelas 6 SD lalu menghampiriku dan berkata,

"Diganti ki' Bapak?"

Aku bilang, 

"Siapa yang bilang?"

"Pung Elsa."

Rupanya putriku telah diberitahu tentang kabar pemberhentianku oleh putraku.

Aku bilang, 

"Diam nak, jangan bilang-bilang." 

Karena beberapa saat lagi kami akan mengantar putraku untuk melamar pujaan hatinya.

Aku lewati cobaan itu dengan berupaya tegar, tapi aku hanya manusia biasa, manusia kerdil, tak berdaya, tak kuasa, sempat juga aku labil.

Esok hari aku menuju menara Pinisi, yang lebih 2 tahun bersama denganku dalam teriknya mentari ketika anak-anakku berteriak, aksi kudampingi bersama dengan dinginnya rembulan, ketika tetap berteriak menyampaikan pesan-pesannya. Aku tidak marah ketika mereka berteriak, karena mereka adalah kontrol sosial, mengawasi segala gerak-gerik kami, termasuk mengontrol diriku.

Tapi aku sering berkalimat, jangan barbar ketika aksi, sampaikan dengan elok dan santun.

Esok harinya, Kamis, 3 November 2022, aku dan putriku serta dua putraku mengemas barang-barangku tak tersisa.

Kunci mobil turut kuserahkan, yang telah lama mengantarku siang dan malam. Hari terakhirku di menara Pinisi masih sibuk melayani mahasiswa, para Ketua Umum dan pengurus UKM silih berganti bertandang ke ruanganku minta tanda tangan.

Aku lalu bilang dalam keadaan tersedu, 

"Maaf dek yah, ini hari terakhir aku berikan pelayanan."

Salah seorang diantaranya berkata 

"Mau ki' keluar daerah Prof?" 

Aku bilang dalam tangis yang begitu dalam dengan air mata membasahi pipiku, padahal aku tidak pernah menangis. Tatkala datang berita penggantian diriku selaku WR 3, aku menangis ketika bersama dengan mahasiswa yang setiap saat butuh layanan dariku aku persilahkan mereka minum seadanya dan makan kue cap Khong Guan yang senantisa aku suguhkan ke mahasiswa saat bertandang ke ruanganku.

"Silahkan diminum tehnya Dinda, ini teh terakhir yang aku suguhkan sebagai WR 3."

Sesekali aku, mahasiswaku, meneteskan air mata atas berita terkait penggantianku yang datangnya tiba-tiba.

Untuk keluargaku, sahabatku, orang-orang di sekitarku, dan untuk mahasiswaku, yakin saya tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tupoksiku dan wewenangku.

Aku yang tidak lagi berdaya memohon maaf yang sangat kepada Rektor-ku yang sungguh aku mencintainya.

Aku memohon maaf kepada para Wakil Rektor, para Dekan dan Direktur, para Ketua Lembaga, para Kepala Biro, para staf ahli saya, staf khusus saya, para fungsionaris lembaga dari tingkat Himaprodi hingga universitas.

Maafkan diriku bila selama kuberikan layanan ada yang tidak sempurna, ada yang tersakiti dari tingkah dan tutur kataku yang tidak santun.

Maafkan aku dan dari lubuk hatiku yang paling dalam sekali lagi aku minta maaf.


Makassar, 5 November 2022

Sukardi Weda

Posting Komentar