Oleh :Ardiansyah Jasman

Mahasiswa, Ilmuwan Psikologi dan psikolog yang tergabung dalam HIMPSI telah lama berupaya membenahi pengembangan ilmu psikologi di Indonesia agar lebih maju. Hal ini sangat disadari sebab di berbagai kasus, ilmuwan psikologi dan psikolog kerap memiliki peran yang begitu penting dalam berbagai aspek kehidupan, sementara di sisi lain ilmu psikologi masih memiliki berbagai kekurangan yang cukup fatal jika tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Misalnya ketika seorang ilmuwan psikologi atau psikolog diminta menjadi saksi ahli dalam kasus kriminal (pembunuhan/ pemerkosaan) dan interpretasi hasil tes psikologi pada kasus seleksi kerja serta penerimaan PNS/POLRI/TNI menjadi posisi yang amat rawan terjadi pelanggaran kode etik profesi psikologi.

             Hal inilah yang membuat profesi psikologi agak keropos, karena tidak ada aturan hukum yang mengatur tentang pelanggaran kode etik profesi psikologi. Padahal realitas telah menggambarkan betapa krusialnya posisi ilmuwan psikologi dan psikolog dalam mengimplementasikan ilmu psikologi, apalagi tidak dapat dinafikkan telah banyak pelanggaran kode etik yang dilakukan ilmuwan psikologi dan psikolog yang berakhir merugikan masyarakat. Masalah itupun muncul sebab tidak ada kejelasan bagaimana bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap setiap pelanggaran keprofesian psikologi. Berbeda dengan profesi kedokteran yang diatur dalam undang-undang RI Nomor 29 Nomor 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dimana undang-undang tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat (pasien) terhadap pelanggaran etik dan moral profesi kedokteran.  Sedangkan untuk profesi ilmuwan hukum juga telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang bertujuan agar advokat menjalankan profesinya dengan selalu menjunjung tinggi kode etik profesi yang tertera dalam undang-undang.

              Dua profesi yang disebutkan di atas merupakan contoh dari beberapa disiplin ilmu lainnya yang telah mendapatkan kekuatan hukum oleh negara. Pada dasarnya undang-undang tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat Indonesia terhadap pelanggaran etika keprofesian disiplin ilmu tertentu yang sifatnya fatal, seperti malpraktek pada dokter atau manipulasi fakta persidangan pada advokat. Lalu bagaimana dengan profesi psikologi dalam kasus yang disebutkan sebelumnya. 

               Dapat dibayangkan jika saksi ahli yang seorang ilmuwan psikologi atau psikolog memberikan keterangan palsu pada kasus-kasus kriminal atau pada kasus seleksi kerja yang melakukan manipulasi hasil tes psikologi. Pertanyaannya siapakah yang berwenang memberikan hukuman pidana/perdata pada ilmuwan psikologi atau psikolog yang terbukti melanggar kode etik keprofesiannnya? Tentunya tidak ada satupun lembaga yang dapat memberinya sanksi atas pelanggaran yang dilakukan, bahkan HIMPSI pun sebagai organisasi profesi psikologi tidak memiliki wewenang menjatuhinya sanksi hukum, kecuali sanksi moral berupa teguran lisan/tertulis secara kelembagaan. Padahal jika dikaji lebih dalam efek yang ditimbulkan dari pelanggaran etika psikologi akan sama mudharatnya dengan malpraktek pada dokter dan manipulasi fakta persidangan pada advokat.

               Menyadari realitas penegakan etika keprofesian psikologi sangat keropos, maka seyogyanya tidak harus serta merta melimpahkan permasalahan ini kepada HIMPSI sebagai lembaga yang mewadahi ilmuwan psikologi dan psikolog, akan tetapi turut pula menjadi perhatian oleh institusi pendidikan dan pemerintah dalam memecahkan permasalahan ini. Bagi institusi pendidikan seyogyanya meramu vaksin pencegahan dini atas potensi terjadinya pelanggaran etika psikologi pada mahasiswa, misalnya melakukan sosialisasi besar-besaran tentang dampak dan konsekuensi moral yang akan diterima ketika seorang mahasiswa melakukan kode etik. Untuk lebih mempertegas, institusi pendidikan juga dapat memberlakukan kesepakatan hukum yang ditanda tangani dalam kertas bermaterai, apabila dikemudian hari seorang mahasiswa melakukan pelangaran etika psikologi, maka sanksi tegas yang diberikan adalah gelar ilmuwan (Sarjana, Magister, Doktor dan Profesor) psikologi akan dicabut oleh instansi pendidikan yang memberikannya sesuai dengan tingkat dan kadar pelanggaran yang dilakukan.

           Bagi pemerintah, tentunya harus pula menyadari bahwa permasalahan pelanggaran kode etik psikologi sangat krusial. Oleh karena itu tindakan paling konkret yang dapat dilakukan adalah mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk segera mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) profesi psikologi dalam meredam pelanggaran kode etik profesi psikologi agar penegakan atas pelanggaran kode etik psikologi dapat ditindak secara hukum. Namun, melihat kinerja wakil rakyat yang saat ini terlihat sibuk berpikir bagaimana menyelamatkan partainya yang dirundung kasus korupsi, penulis pesimis dalam waktu dekat ini akan terwujud.

Tulisan ini merupakan inti sari dan hasil diskusi penulis dari Matakuliah
Kode Etik Psikologi (Semester VII)

Penulis Adalah Mahasiswa Psikologi UNM
(Anggota Dewan Pembina LPM Psikogenesis UNM)