Aliansi orange menggugat tutupi jalan A.P. Pettarani saat aksi menuntut penurunan UKT pada Rabu (27/09).
Sumber: Dok. LPM Psikogenesis

Setiap warga Indonesia berhak mendapatkan pendidikan sesuai dengan pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang sekaligus juga merupakan amanat bagi setiap rezim untuk menjamin hak itu terwujud. Namun, fakta yang terlihat disekeliling nampaknya masih menjadi cita-cita saja. Terkhusus pada pendidikan tinggi yang nampaknya terlampau miris jika akses terhadap pendidikan masih sangat terbatas, apa lagi jika yang menjadi kendala adalah soal biaya.

Regulasi pendidikan sejak tahun 2012 diatur dalam UU No 12 tahun 2012, yakni Undang-undang Perguruan Tinggi (UUPT). Sejak awal, regulasi ini menjanjikan keadilan dalam segala aspek, terkhusus sistem pembiayaan, "yang mampu membiayai yang kurang mampu," kurang lebih seperti itu redaksi kata yang menjelaskan niatan hadirnya regulasi ini.

Aturan yang lebih teknis standar yaitu biaya operasional PTN diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 55 tahun 2013 tentang UKT dan BKT. Ada beberapa pasal yang mengatur akses masyarakat kurang mampu dalam mengenyam pendidikan. Contohnya pada pasal 4 point a dan b menjelaskan UKT sebagaimana yang dimaksud dalam lampiran paling sedikit 5% untuk kelompok I dan 5% kelompok II. Jadi paling tidak jika ada 1.000 jumlah penerimaan mahasiswa dan terdapat paling sedikit 100 mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi.

Mekanisme dalam menentukan UKT mahasiswa idealnya dilakukan melalui wawancara untuk mengetahui berapa kemampuan ekonomi orang tua atau pihak lain yang membiayai. Menurut data pembanding Universitas Soedirman, cara menghitung kemampuan ekonomi orang tua atau pihak lain yang membiayai adalah dengan menjumlahkan berapa penghasilan ekonomi orang tua per bulannya dibagi dengan jumlah tanggungan (saudara). Hasilnya kemudian dicocokkan sesuai Surat Keputusan (SK) pengelompokan nominal UKT ditiap program studi (prodi) dan kemudian dilihat pada lampiran pengelompokan UKT.

Jika prosedur ini berjalan ideal, tidak akan ada lagi mahasiswa yang keberatan dengan nominal UKT yang dibayarkan. Pertanyaan yang hadir kemudian ialah bagaimana jika masih banyak mahasiswa yang keberatan dengan penetapan nominal UKT? 

Menurut penulis, ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama soal kesalahan prosedur dalam wawancara penerimaan mahasiswa. Kesalahan disini maksudnya jika pewawancara tidak mampu mengarahkan dengan baik orang tua atau wali mahasiswa menerangkan dengan benar, seberapa besar kemampuan ekonomi perkapitanya (pendapatan dibagi tanggungan). Kekeliruan pewawancara biasanya dengan hadirnya pertanyaan "bisa ji kasih kuliah anak ta kalau begini ji penghasilan ta?" Tentu saja jika mendapat pertanyaan ini orang tua mahasiswa akan memaksakan untuk menaikkan penghasilan meskipun pada faktanya diawal ia telah menerangkan yang sejujurnya. Alasannya sederhana, ketakutakan akan anaknya yang tidak bisa melanjutkan perkuliahan jika tidak mampu berpenghasilan sesuai standar yang disebutkan. Padahal, meskipun penghasilannya minim calon mahasiswa tetap punya hak untuk lolos bahkan bisa menjadi pertimbangan untuk mendapatkan beasiswa.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika ternyata penetapan nominal UKT tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi (mahasiswa atau orang tua wali merasa keberatan dengan nominal UKT yang ditetapkan). Jika mengacu pada regulasi yang mengatur UKT dan BKT di Permenristekdikti No. 22 tahun 2015, sebenarnya telah diatur terkait permasalah tersebut. Dipasal 6 poin a dan b dijelaskan bahwa PTN dapat melakukan penyesuaian ulang UKT apabila terdapat ketidaksesuaian UKT dengan kemampuan ekonomi orang tua dan jika ada perubahan data kemampuan ekonomi orang tua. Pada Permenristekdikti No. 39 tahun 2017 (regulasi yang berlaku tahun 2017) pada pasal 5 poin a dan b juga dijelaskan hal serupa.

Jika saja aturan yang berlaku di seluruh PTN itu berjalan dengan ideal, tentu saja tidak akan ada lagi mahasiswa yang terbebani karena UKT. Pembayaran yang dilakukan akan berjalan seadil-adilnya, akses pendidikan untuk semua golongan secara bertahap bisa saja terwujud. Namun, pada prakteknya intitusi pendidikan kesulitan dalam mentransparansikan dan mengimplementasikan setiap regulasi yang ada. Di UNM, bisa saja kita berasumsi bahwa tidak pernah diadakan evaluasi terkait penetapan nominal UKT, karena belum pernah ada mahasiswa yang mengalami perubahan nominal UKT setiap tahunnya. Padahal secara tersirat di pasal 5 Permenrisekdikti 2017, PTN harusnya mengevaluasi pemberlakuan UKT terkhusus nominal UKT jika ingin semua golongan mendapat keadilan.

Jika kondisi tersebut terus berlanjut maka janji kuliah berkeadilan akan menjadi ilusi saja. Sementara Kementrian Riset dan Tekhnologi Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) yang membawahi PTN masih gagal dalam mengontrol pemberlakuan UKT serta menjamin hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. 

Langkah bijak yang seharusnya hadir dari pemangku kebijakan adalah lebih serius melihat fakta pemberlakuan UKT dan kemudian segera memberi solusi.

Di beberapa Universitas mengambil kebijakan dengan mengeluarkan format penurunan UKT bagi mahasiswa yang merasa berat dengan nominal UKT yang dibayarkan. Hal tersebut untuk memudahkan sekaligus antisipasi jika masih ada mahasiswa yang luput dalam evaluasi yang dilakukan Universitas ditiap semesternya. Langkah ini dipandang tepat karena semua civitas akademika bisa turut terlibat demi terwujudnya keadilan terkhusus dalam pembiyaan pendidikan. Misalnya Lembaga Kemahasiswaan (LK) yang lebih dekat dengan kondisi mahasiswa dilapangan bisa turut membantu dengan menjaring mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi namun berada pada kelompok pembayaran yang tinggi. Posisi lembaga kemahasiswaan yang berada ditengah-tengah mahasiswa akan bisa melihat dengan utuh kondisi mahasiswa. Selain mensosialisasikan format penurunan nominal UKT, LK juga bisa mengawal kepastian penurunannya sesuai dengan kondisi mahasiswa yang sebenar-benarnya. Jika sinergitas dapat dibangun demi terwujudnya keadilan dalam pembiyaan pendidikan sesuai dengan regulasi yang berlaku, maka UNM akan menegaskan posisi sebagai institusi pendidikan yang benar-benar mendidik.

Tanggung jawab kita bersama sebagai mahasiswa yang masih peduli dengan kondisi bangsa dan negara pada umumnya dan pendidikan pada khususnya untuk terus berupaya mengkritisi kondisi yang timpang. Jika kita bersepakat, tentu masih banyak yang harus dibenahi terkhusus kondisi almamater orange tercinta, baik dari segi kebijakan maupun sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Maka terlibat dalam setiap aktivitas untuk mengawal masalah tersebut adalah kewajiban kita bersama.

Sejarah orange adalah sejarah perlawanan terhadap penindasan. Satu-satunya pilihan adalah melanjutkan!

Makassar, 28 Mei 2018
AA.

Posting Komentar