Oleh: Ashari Ramahdana 
(Mahasiswa Psikologi UNM angkatan 2012)

        Siang itu, mengenakan seragam sekolah, kau berlalu di depanku. Kau hirau pada terik. Tak seperti teman-temanmu yang menunggu jemputan di bawah pohon atau payung-payung pedagang asongan. Aku duduk di punggung jalan—di bawah pohon sekolahmu yang menjulurkan dahan ke jalan raya—sembari mengangkat timba plastik ke udara. Berharap rupiah dijatuhkan ke dalamnya. Saat itulah kutangkap aroma parfummu. Aroma strawberry.

         Kau berlari ke tepi jalan lalu menarik-narik baju Pak Polisi. Pak Polisi yang kebingungan, menunduk dan mendekatkan telinga ke mulutmu. Selanjutnya, Pak Polisi membantumu membelah kemacetan. Jalan di depan sekolahmu kerap disesaki deru mesin-mesin bergerak, pekik klakson, dan gerobak pedagang asongan. Tapi kau menghiraukannya. Memegang tangan Pak Polisi, kau berlari kecil menyejajarkan langkah. Membuat rambut kepang dua dan tasmu bergoyang-goyang seperti tangan yang melambai.

Mengapa anak kecil sepertimu tidak dijemput orangtua?

Kini, kita berseberangan. Tapi aku tetap mencarimu di sela-sela kemacetan jalan.Kau mendekati seekor kucing yang pincang. Kucing berbulu putih dengan belang kuning itu basah dan ringkih. Kau mengelusnya dengan ujung rok merahmu lalu mendekapnya hangat sekali. Kau tidak menyadari; di sepanjang punggung jalan tempatmu berjongkok, tidak dapat kau temui pohon untuk berteduh. Kau pun tidak lagi bisa menyeberang jalan. Pak Polisi sudah beranjak sedaritadi. Aku tidak tahu mengapa orang-orang begitu ringan menebang pohon-pohon. Dan akhir-akhir ini, aku juga tidak mengerti tabiat langit. Tiba-tiba saja mendung. Entah ke mana perginya matahari. Dan seandainya turun hujan… . Ah, aku jadi khawatir padamu. Kuputuskan menyusulmu.

        Kuselip tubuhku di antara kendaraan-kendaraan sambil terus memaku pandanganku padamu. Kau masih memeluk kucing itu. Tapi kini, tangan kananmu merapatkan ponsel ke telinga. Dari dekat, aku dapat melihat empat tahi lalatmu yang lucu. Tahi lalat itu bersilangan di bawah matamu, membentuk sudut-sudut wajik.

“Halo,” katamu gelisah.

Namun, yang terdengar hanyalah bunyi klakson kendaraan yang memekikkan telinga. Lalu hujan turun. “Halo, Ibu!”Hujan turun.

Deras sekali. Lalu kau menyetujui ajakanku berteduh di depan sekolah dengan syarat; kau boleh membawa kucing itu. Kau, aku, dan kucing itu berteduh di bawah pohon. Kau mengelusnya dan tidak berkata apapun. Maka aku hanya mengambil selembar Koran lalu menjadikannya alas duduk untukmu.

       Namun, sebelum koran itu sempat kugelar, kau meraihnya. Kau melihat wajah ibumu di dalam opininya yang menyetujui penebangan pohon di berbagai ruas-ruas jalan kota.
 “Ibuku hebat,” katamu menatapku.

        Lalu aku mengangguk seolah-olah mengingkari nuraniku sendiri. Pada kolom yang lain, matamu tanpa sengaja menangkap sebaris kalimat; buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

      “Apa maksud kalimat itu?” Pertanyaanmu lugu sekali. Sebelum aku sempat memikirkan jawabannya, mobil berwarna silver berhenti di depan sekolah. Kau berlari ke arah mobil itu. Meninggalkanku dan menghilang begitu saja setelah ditelan pintu mobil dan tikungan.

        Sejak hari itu, aku tidak pernah lagi melihatmu. Ibumu yang kaya itu mungkin telah memilih sekolah yang lebih baik untukmu agar ia tak perlu meninggalkan pekerjaan untuk sekadar menjemput. Setiap hari, aku menunggu jam pelajaran sekolah berakhir, tapi kau tidak lagi datang menarik-narik baju Pak Polisi. Padahal aku hendak menjawab pertanyaanmu itu. Entah apa yang tejadi padamu, juga aku yang merindukanmu. Aneh memang. Aku bahkan belum tahu namamu.

***
          Dari hari ke hari. Bulan ke bulan. Tahun ke tahun. Aku masih menunggu. Jalan di depan sekolah kian disesaki polusi dan gambar wajah-wajah politisi yang menempeli dan melukai badan pohon tersisa. Kau mungkin telah tumbuh menjadi gadis dewasa dan cantik. Aku semakin tua dan ringkih seperti kucing yang kau peluk di seberang jalan siang itu. Aku berlalu di depan sekolah sembari bertanya; apa kau sudah tahu maksud kalimat di koran itu? Lalu aku melewati kerumunan orang-orang yang memandangi pepohonan dari depan sekolah sampai ke arah jauh.


       Sayup-sayup kudengar mereka membicarakan perihal pelebaran jalan yang akan mengorbankan pohon-pohon besar dan tua itu. Tiba-tiba saja penciumanku yang lemah menangkap aroma parfum strawberry. Aku berbalik sebelum melewati kerumunan itu lalu berkata dengan suara serak;

“buah jatuh tidak jauh dari pohonnya!” Tiba-tiba saja, seorang perempuan berwajah tirus di antara mereka berbalik dan, oh! Ada empat tahi lalat bersilangan yang membentuk sudut-sudut wajik di bawah mata perempuan itu. (AR)