Ilustrasi Victim Blaming.
(Sumber: The Breeze)

Dalam sebuah kasus pelecehan seksual, mungkin Anda pernah mendengar opini ataupun penghakiman yang kurang lebih seperti ini:

"Bagaimana pakaian yang ia kenakan sewaktu kejadian?" atau "Ya itu karena dia pulang malam sendirian," dan banyak ungkapan serupa lainnya.

Alih-alih menyalahkan pelaku, mereka justru membelanya dan menyalahkan korban. Hal seperti itu disebut dengan istilah victim blaming atau menyalahkan korban.

Dalam buku Blaming The Victim karya oleh William Ryan yang diterbitkan tahun 1976, menjelaskan bahwa konsep victim blaming ialah tentang pembenaran atas ketidakadilan dengan menemukan cacat atau kesalahan pada korban ketidakadilan. Sederhananya, konsep victim blaming adalah mencoba menemukan pembenaran dengan memanfaatkan cacat atau celah yang dibuat oleh korban. Sehingga, korban menjadi patut dipersalahkan atas bencana yang terjadi.

Walaupun sebenarnya tidak seorang pun korban menginginkan pelecehan seksual itu terjadi.

Namun, di Indonesia, tren untuk menyalahkan korban masih sangat kuat. Budaya patriarki yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia bisa jadi penyebab utama. Budaya yang menempatkan derajat laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, serta laki-laki berhak untuk menuntut banyak dari perempuan. Selain itu, peran media juga menjadi sentral dalam masalah seperti ini, media tak boleh ikut-ikutan menjadi pelaku victim blaming. Media seharusnya mendukung bahwa pelecehan seksual mesti dilawan, menempatkan korban pelecehan seksual bukan pada posisi yang lemah tapi menempatkannya pada posisi yang sedang berjuang melawan dan mencari keadilan atas apa yang dialaminya.

Victim blaming, tentu saja, mempunyai dampak yang besar terhadap korban. Perilaku tersebut selalu menjadi sumber ketakutan korban pelecehan seksual untuk angkat bicara terhadap apa yang dia alami. Korban merasa takut, setelah dilecehkan ia lalu disalahkan ketika mengungkapkan apa yang dialaminya.

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan membeberkan data bahwa pada 2018 terdapat 335.062 kasus pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia. Namun, sebenarnya banyak kasus serupa yang tidak dilaporkan akibat korban takut akan respon dan stigma negatif yang akan dialamatkan kepadanya jika diketahui menjadi korban pelecehan seksual.

Daripada menyalahkan korban, korban justru seharusnya dibela. Berangkat dari riset yang dilakukan oleh change.org bekerja sama dengan Hollaback! Jakarta, PerEMPUan, lentera.id dan Jakarta Feminist pun menunjukkan bahwa 92% korban pelecehan seksual merasa terbantu saat ia dibela.

Karena memang, semestinya respon pembelaan lah yang layak diberikan kepada korban pelecehan seksual, bukan malah menyalahkan korban yang akan membuat korban semakin tersudut dan bungkam. Respon menyalahkan korban akan membuat pelaku semakin leluasa, tak jera atas apa yang dia lakukan. (AL)

Posting Komentar