Sumber : dlmchale.files.wordpress.com

Dua puluh menit berlalu sejak ia meringkuk di sana, di atas kursi besi yang mulai berkarat, kaki dan tangannya merapat di balik selimut biru muda tanpa corak. Sepasang manik hitam yang terhalang surai tipis enggan beralih dari uap-uap air yang mengepul sedikit-sedikit dari sebuah tembikar porselen di hadapannya,

Angin barat mengantar gerimis ke penghujung sore, dimana seharusnya ruas-ruas jingga menghampar indah di atas sana, melatari suluhan putih awan membentuk bujur sangkar, atau kuda poni tanpa kaki. Meski sisa-sisa terik telah hilang oleh gigil angin petang, kedua jalanya tetap menikmati benturan bulir air di tepi daun Serikaya.

Dilonggarkannya sedikit kain penghangat yang membungkus tubuh mungilnya, membiarkan sejuk menerobos di celahnya, menambah dingin yang kian membekukan sisi-sisi wajahnya.

Jarum merah dalam lingkaran bersusur angka di balik jendela memastikan bahwa waktu telah berhilir cepat, memberitahukan lewat dentang agar bergeming dari sana, mencari sudut lain yang lebih hangat.

Namun, bayang-bayang wajah jelita seorang teman berkelebat di sekeliling kepalanya. Wajah dengan rona menyenangkan, pipi berisi yang sering kali mendorong lesung kecil. Mereka tak pernah melewatkan satu sore tanpa menghitung rintik hujan yang menyulut basah di tanah dan bersalur ke sudut yang lebih rendah, menggenang di sana.

Yang tersisa dari teduh tadi siang adalah serakan kelopak ‘Pukul Sembilan’ yang kini tergeletak di samping perdu Dahlianya yang belum berbunga. Mereka memetik di dekat jembatan, dimana tangkai-tangkai mungil itu menghampar dengan kuncup yang merekah-rekah.

Kemarin, mereka hampir melewatkan gerimis ketika harus terperangkap kelas tambahan hingga menjelang malam, namun begitu menghilang dari gerbang, hujan mengejar dari barat, seketika menguyupkan mereka berdua. Maka tidak ada yang lebih menyenangkan selain melambatkan langkah pulang, berhenti lama-lama di sebuah perempatan, mengeratkan tautan tangan lalu berlari-lari kecil menyeberangi jalan beraspal yang tepinya penuh genangan.

Kepul asap dari gelas berisi coklat panasnya pelan-pelan menghilang, diminumnya seteguk lalu disingkirkannya ke sudut meja. Hujan kecil yang tadi singgah tak menyulut basah seluruh tanah di halaman rumahnya. Tapi anginnya meliuk-liuk, hilang timbul dari barat, menguarkan suhu rendah hingga memakunya di atas kursi besi itu, meringkuk kedinginan. Masih ada 30 menit sebelum benar-benar malam. Ia dan temannya akan menghabiskan sisa sore dengan bercerita keras-keras di tengah bising hujan, lalu melepaskan penghangat untuk merasakan dingin yang menusuk-nusuk, menarik nafas panjang di bawah rimbun pohon Serikaya sebelum air laut yang terhimpun padat di gumpal awan gugur dan menebarkan bau harum tanah basah.

Ia menyingkirkan surai yang tergerai menutupi sebelah maniknya, melirik berulang-ulang ke samping kanannya, ada jalan setapak di sana, dibatasi pagar berduri yang karatan, menghubungkan teras rumahnya dengan rumah di belakangnya. Masih belum datang.

Membunuh waktu, ia melepas penghangat yang sedari tadi membungkusnya, berjalan ke deretan pot di sebelah selatan teras, mengamati tanamannya yang lebih banyak tak berbunga.

Ia sering bercerita bahwa ia penyuka Aster, orang mengenalnya sebagai bunga tunggal padahal sebetulnya bukan. Ada juga bunga asoka. Ia senang bersandar dirimbunnya, mencari kelopak enam lalu menunjukkannya pada orang-orang. Namun sayangnya, kedua bunga itu tidak ada di deretan koleksinya.

Ia kembali ke tempat semula, melewati kursi besinya, berdiri di ujung teras, mengamati ruang ksosong yang meremang.

Di belahan dunia lain, orang-orang menantikan musim gugur, dimana daun maple akan mencapai puncak keindahannya dengan warna kemerahan, kemudian menghasilkan benih bersayap yang bergerak seperti helikopter ketika jatuh dari pohon. Berserakan, menutup hampir separuh jalan beraspal.

Di sini, ia hanya senang menikmati musimnya. Ia tak pernah membenci terik siang dan penatnya malam kemarau, ia hanya kadang mengadu ketika musim itu merampas jatah, dimana harusnya giliran yang lain merintik.

Dentang jam kembali memberitahunya bahwa petang nyaris berlalu, dan hujan turun dengan halus, bak salju-salju tipis di ujung pergantian musim. Ia hendak berbalik ketika seseorang memanggil namanya.

Teman yang ditunggunya ada di sana, melambai kuat-kuat padanya dari balik pagar berkawat, menyibakkan daun kembang sepatu yang menghalangi pandangannya, berlari-lari kecil menyusuri jalan setapak yang tak terlalu panjang.

Mereka menengadah ketika gerimis makin deras, tidak menyisakan ruas apapun di atas sana. Hanya gumpalan awan yang bahkan tak berarak.

Satu…dua…tiga…

Mereka menarik nafas panjang ketika air membentur tanah, membaui dalam-dalam aroma harum yang manebar, mengakhiri petang yang baru saja menuntaskan jatahnya.

Tak ada Aster atau kumpulan Maple di sini, angin yang menyambar pun tidak sehangat summer breeze. Ia hanya senang berdamai dengan musim, menikmati apapun yang mekar saat itu, menghirup apapun aroma kesejukan yang tercipta saat itu.


Prtrikor: Aroma harum tanah kering saat terkena hujan.

Posting Komentar