Ilustrasi plagiarisme.
Sumber: google.com

Istilah kecurangan akademik sering kali menjadi pembicaraan serius di lingkup pendidikan. Para pelaku yang melakukan kecurangan akademik memiliki beragam alasan untuk melakukannya, dari mencapai keberhasilan akademik hingga menghindari kegagalan akademik. Tujuannya jelas, namun cara yang dipakai salah. Salah satu perilaku kecurangan akademik yang sampai saat ini sangat sering terjadi, terkhusus dalam dunia perkuliahan adalah perilaku plagiarisme karya ilmiah.

Saunders pada 1993 mengartikan tindakan plagiarisme atau plagiasi sendiri berasal dari bahasa latin yaitu plagiarus yang berarti penculik. Seperti penculik, para pelaku plagiarisme melakukan pelanggaran serius sebab mengambil karya orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri. Sebagai suatu kegiatan yang mengambil dan mengakui hak orang lain, plagiarisme bagi para penulis dan peneliti merupakan tindakan tercela bahkan bisa dikategorikan sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta yang sesungguhnya.

Di dunia perkuliahan, sering kali terjadi kegiatan ini dikarenakan tuntutan penugasan menulis makalah maupun karya ilmiah lainnya yang harus dikumpulkan dalam jangka waktu yang terbilang  cepat. Meski begitu, tidak semua mahasiswa merupakan pelaku dari kegiatan ini. Meski demikian, bukan berarti mereka yang tidak sadar dan tidak sengaja bukanlah pelaku dari kegiatan plagiarisme.

Selain tuntutan penugasan, mahasiswa juga dituntut untuk memiliki kompetensi menulis karya ilmiah dengan standar nilai tinggi. Pada umumnya, standar tersebut berdasarkan keaslian atau orisinilnya karya ilmiah yang dituliskan. Mulyana pada 2010 mengatakan bahwa makna ‘asli’ bukan berarti keseluruhan ide dan pengetahuan yang disampaikan berasal dari si penulis asli seutuhnya, melainkan juga kejujuran dalam mengekspresikan karyanya. Jika paragraf, kalimat, kata, atau bahkan ide yang muncul dalam tulisan mereka digunakan, maka etika ilmiahnya adalah memasukan sumber dengan jujur dan objektif di mana ia mendapatkan kutipan tersebut.

Hal ini tentu menjadi suatu permasalahan, karena sering kali para mahasiswa yang dikejar deadline pengumpulan tugas, luput memasukan sumber yang sesuai dengan isi karya ilmiahnya. Hal tersebut yang membuat mereka secara tidak sengaja dan tidak sadar telah melakukan tindakan plagiasi. Banyak yang tidak menyadari tindakan plagiasi dikarenakan ketidaktahuan mereka terhadap ciri-ciri tindakan plagiasi yang telah dilakukan. Menurut Felicia melalui buku “Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah” yang terbit pada 2007, terdapat tujuh ciri-ciri tindakan plagiarisme, yaitu;

1.     Karya kelompok diakui sebagai kepunyaan atau hasil sendiri,

2.     Menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa mengakui penulis sesungguhnya,

3.     Mengakui gagasan orang lain sebagai hasil pemikiran sendiri,

4.     Mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri,

5.     Mengakui tanpa menyebut asal-usulnya,

6.     Meringkas dan memparafrasekan tanpa menyebutkan sumbernya.

7.     Meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, namun rangkaian kalimat yang terbentuk masih memiliki kesamaan yang tinggi dengan kalimat asli.

Namun, patut diingat kembali. Bahwa tak hanya mahasiswa saja yang melakukan tindakan plagiarisme. Seperti judul dari artikel ini, dunia perkuliahan terdiri dari civitas akademika, yang di dalamnya juga terdapat kaum intelektual lain, salah satunya dosen. Lalu, bagaimana jika perilaku plagiasi tak hanya dilakukan oleh para pelajar, melainkan juga para pengajar yakni dosen?

Pada kenyataannya, dosen pun dapat dikatakan ‘suka’ menjiplak atau memplagiat hasil karya ilmiah orang lain. Melalui beberapa berita yang diterbitkan media online terhimpun beberapa kasus plagiarisme yang melibatkan para dosen, yakni:

1.     Pada akhir September 2008, MZ, Alumnus Program Doktoral STEI ITB kedapatan melakukan plagiasi ketika karya disertasinya diikutsertakan dalam The IEEE International Conferense Cybernetics and Intelligent Systems di Chengdu, Cina. Plagiasi yang dilakui oleh MZ tak diketahui oleh 3 pembimbingnya tersebut tergolong pada level 1 atau paling berat sehingga ia dikenakan sanksi pelarangan mempublikasikan karya apapun dalam semua bentuk publikasi IEEE sejak April 2009 hingga April 2012

2.     Tak sampai disitu, pada November 2009, BP, dosen Jurusan HI UNPAR melakukan plagiasi terhadap artikel yang berjudul ‘RIs Defense Transformation’  yang diterbitkan harian The Jakarta Post. Kasus ini terungkap ketika seorang pembaca melayangkan protes melalui telepon ke editor The Jakarta Post. Kasus ini berakhir dengan BP yang mengundurkan diri dari jabatannya di UNPAR.

3.     Lalu pada Mei 2011, FK, Rektor Universitas Kristen Marahantha Bandung, ketahuan melakukan plagiarisme melalui tulisan yang di publikasikan pada suatu acara seminar akademis. Salah satu karya yang diplagiasi adalah skripsi AD yang diubah judul skripsinya. Kasus ini terungkap setelah sejumlah dosen universitas mengeluh soal informasi kenaikan jabatan para dosen dan staf.

4.     Pada 2013, melalui terbitan Tribunnews.com pada 4 Juni 2014, ditemukan bahwa berdasarkan data yang dimiliki Kemendikbud, pada 2013 terdapat 808 kasus plagiarisme yang melibatkan dosen. Kasus tersebut terungkap dikarenakan Kemendikbut memiliki data lengkap karya ilmiah, makalah, dan jurnal ilmiah. Utamanya dikarenakan adanya sistem yang bisa mengetahui ada tidaknya plagiarisme dalam suatu karya ilmiah.

5.     Tahun 2014, AA seorang dosen FEB UGM terungkap melakukan plagiarisme, pengungkapan ini berawal dari aduan seorang penulis di forum Penulis UGM. Lalu pada pertengahan Februari 2014, secara resmi AA mengaku telah melakukan kesalahan dalam pengutipan referensi dalam folder di komputernya.

Selain kasus diatas, melalui terbitan ayoyogya.com pada 14 Juli 2020, dalam salinan dokumen rekomendasi Dewan Kehormatan UGM, terdapat 4 poin kesimpulan terhadap dugaan plagiarisme yang dilakukan oleh Rektor Universitas Negeri Semarang. Kasus ini bermula ketika pencalonan diri FR selaku rektor pada 2018. Meski pada akhirnya dinyatakan tidak terbukti, namun ini sedikit menjadi kekhawatiran kaum akademisi lainnya bahwa bahkan pucuk pimpinan birokrasi kampus pun bisa saja menjadi pelaku.

Berdasarkan penelusuran tersebut bukan tidak mungkin bahwa masih terdapat banyak kasus plagiarisme yang melibatkan dosen yang tidak atau belum terungkap. Karena bisa saja, permasalahan yang ada disembunyikan oleh pihak birokrasi dengan dalih menjaga nama baik Perguruan Tinggi terkait. Permasalahan yang ada bisa saja diselesaikan secara internal dan disembunyikan dari khayalak ramai. Apabila demikian, bagaimana pengambilan sanksi yang akan diambil? Akankah adil? Utamanya bagaimana para penulis yang menjadi korbannya?

Pelanggaran serius ini tentu tak bisa dibiarkan begitu saja. Upaya membiarkan atau menyembunyikan fakta yang ada tentu menjadi pertanda buruk kedepannya. Hal ini tentu menjadi kejahatan sepihak bagi mahasiswa yang dituntut untuk terampil dan cekatan dalam menyusun serta menghasilkan karya ilmiah sendiri dengan gagasannya. Keterampilan tersebut tentu harus dimiliki oleh setiap mahasiswa agar dapat melakukan penalaran dan mengambil kesimpulan dari tulisan yang ia baca.

Keterampilan tersebut saya artikan sebagai seni berpikir dan dalam kesenian ini, dosen adalah guru seninya. Namun bagaimana bila birokarasi melindungi dosen yang plagiator? Bisakah ia mengajarkan kesenian tersebut? Sungguhkah tindakan plagiarisme yang diartikan seperti penculik dapat menjadi contoh bagi mahasiswa yang notabenenya akan menjadi generasi penerus bangsa? Mari berpikir.

Kebenaran yang pahit memang bisa disembunyikan, namun semakin ia disembunyikan maka semakin pahit rasanya saat terkuak nantinya. (BLU)


Referensi:

Kumparan (2018, Januari 30) 4 Akademisi Tanah Air Yang Terjerat Kasus Plagiarisme. Diakses pada 13 Desember 2020 melalui https://kumparan.com/kumparannews/4-akademisi-tanah-air-yang-terjerat-kasus-plagiarisme/full

Mulyana. (2010). Pencegahan Tindak Plagiarisme Dalam Penulisan Skripsi: Upaya Memperkuat Karakter Di Dunia Akademik. Jurnal Ilmiah Pendidikan.­ Cakrawala Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta. DOI: https://doi.org/10.21831/cp.v1i3.236

Regi Yanuar Widhia Dinnata. (2020, Juli 15) Kronologi Kasus Dugaan Plagiarisme Rektor Unnes  diakses pada 13 Desember 2020 melaluihttps://ayoyogya.com/read/2020/07/15/39827/kronologi-kasus-dugaan-plagiarisme-rektor-unne

Saunders, E. J. (1993) Confronting Academic Dishonesty. Journal of Social Work Education. 29(2): 224-31.https://doi.org/10.1080/10437797.1993.10778817

Tribunnews.com (2014, Juni 04) Dosen Lebih SUka Menjiplak, Tahun Lalu Ada 808 Kasus Plagiarisme. Diakses pada 12 Desember 2020 melalui https://www.tribunnews.com/nasional/2014/06/04/dosen-lebih-suka-menjiplak-tahun-lalu-ada-808-kasus-plagiarisme

Utorodewo, Felicia, dkk. (2007).Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.

Posting Komentar